Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Terhadap Tafsir Al-Manar Karya : Prof. Quraish Shihab, MA. (1)*
Ari Susanto
Pegiat MIM Indigenous School;
Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam
A.
Latar
Belakang Masalah
Masyarakat
Mesir (abad 19 M) digambarkan oleh Sayyid Quthbpada saat itu dengan ungkapan “
suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peran akal dalam memahami syariat Allah,… mereka telah merasa
berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup pada masa
kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurafat. Sementara itu di Eropa
hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemua
ilmiah yang sangat mengagumkan itu”.[1]
Sedangkan
Abduh merasakannya atmosfir masyarakat Mesir seperti itu saat ia memasuki pintu
gerbang al-Azhar, lembaga pependidikan tinggi yang terbelah ulamanya menjadi
dua kelompok yaitu mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas, menganut pola
taqlid,
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafat, tanpa mengantarkannya kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.Sedangkan kelompok yang kedua, menganut pola tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan uaraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[2]
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafat, tanpa mengantarkannya kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.Sedangkan kelompok yang kedua, menganut pola tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan uaraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[2]
Kondisi
diatas yang telah berabad-abad menghantui sebagian besar masyarkat muslim, secara
langsung memberikan pengaruh —tidak sedikit—terhadap corak pemikiran para
mufasir terdahulu. Oleh sebab itu, Muhammad ‘Abduh melayangkan kritikan terhadap
kitab-kitab tafsir terdahulu tafsir tersebut masih jauh dari tujuan
diturunkannya al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut dinilainya sedemikian
gersang dan kaku, dikarenakan penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada
pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan
lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat
al-Qur’an, adapun pengecualian yaitu tafsir al-kasyaf
karya al-Zamakhsyari, serta juga ada mufasir terdahulu yang berusaha melepaskan
diri dari belenggu taqlid seperti
at-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, dan al-Qurthubi.[3]
Kritik
itulah yang kemudian mengilhami Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an
mengoptimalkan kerja akal (rasio) dan peranan kondisi sosial (ilmu) sebagai
jalan untuk mencari petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Walaupun wahyu harus dipahami
dengan akal, namun disini Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan
manusia akan bimbingan Nabi (wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika
atau dalam beberapa masalah ibadah.
Sedangkan terkait peran sosial Abduh membatasi pada wilayah yang umum
dalam artian prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabarannya
dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.Bukan, yang rinci yang sekumpulan
ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau
perkembangan.[4]
Salah
satu kitab tafsir yang popular adalah Tafsir
Al-Qur’an Al-Hakim al-Syahir bi Tafsir Al-manar karya Muhammad ‘Abduh
(al-fatihah – An-Nisa’ ayat 126) dan Sayyid Muhammad Rashid Ridha (an-Nisa’ 126
-Juz ‘Amma) yang terdiri dari 12 jilid.Tafsir ini dilahirkan sebagai jawaban
atas realitas kehidupan keagamaan, sosial, politik dan kebudayaan.
Muhammad
‘Abduh (1848-1905 M) dikenal sebagai mufasir dengan nuansa rasional (akal).
Kerasionalitasan itu dapat dilihat ketika ia berhujah bahwa ilmu dan iman tidak
mungkin bertentangan, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman
yang benar (al-iman al-shahih) dan
sempurna. Inilah salah satu karakteristikpemikiran Abduh yaitu membebaskan akal
pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan
agama sebagaimana salaf al-ummaah
(ulama sebelum abad ketiga Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni
memahami langsung dari sumbernya yaitu al-Qur’an.(h.19)
Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha (1282–1354 H) merupakan murid dari Syikh Muhammad Abduh
yang setia mendokumentasikan hasil kuliah tafsir Al-Qur’an yang diterbitkan
dalam majalah al-Mannar yang dikelolah secara pribadi olehnya. Sehingga secara
langsung Rasyid Ridha mewarisi corak penafsiran yang dikembangakan oleh
Muhammad Abduh, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pandangan
terhadap gurunya melalui tafsir al-Qur’an Al-Hakim, Rasyid Ridha berupaya
mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan bahwa Islam
adalah agama universal dan abadi, sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap
zamannya.[5]
Dari
keterangan-keterangan diatas, bagaimana pemaparan diawali dengan pengungkapan
kondisi masyarakat Mesir yang diselimuti oleh kebiasaan taqlid (ikut-ikutan tanpa menganalisa), kurangnya peran akal serta
meutup pintu Ijtihad (merasa puas
dengan pendapat terdahulu).Kondisi tersebut ternyata mempengaruhi—tidak
sedikit—para mufasir terdahulu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an (terkesan
tafsir yang kaku dan gersang) di akibatkannya kurangnya peran akal dan ijtihad
yang tertutup.Kemudian muncul pembaharu dalam dunia tafsir yaitu Muhammad Abduh
dan Muhammad Rasyid Ridha dengan mengedepankan corak tafsir dengan metode
analisis (rasioa) yang mengoptimalkan kerja akal dengan pendekatan sosial
kemasyarakatan (adabi al-ijtima’i).sehingga
menarik untuk di kaji tafsir al-Manar tersebut di karenakan alasan bahwa
penulis tafsir al-Manar menggunakan kerja akal dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an disertai dengan menggunakan pendekatan budaya kemasyarakatan.
B.
Rumusan
Masalah
1) Bagaimana Syiekh Muhammad ‘Abduh dan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengoptimalkan kerja akal (rasionalitas) dalam
penafsiran al-Qur’an al-Hakim (al-Manar)?
2)
Apametode dan prinsip-prinsip penafsiran
Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridhadalamtafsir al-Manar?
C.
Telaah
Studi Terdahulu
Telaah
pustaka pertama karya Rif’at Syauqi Nawawi “Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat”.Nawawi merumuskan
masalah, bagaimana corak rasional tafsir Muhammad ‘Abduh, khususnya dalam
akidah dan ibadat?.Sedangkan metode yang digunakan adalah studi pustaka (library research), dengan mencari dan
mengumpulkan bahan literatur yang terkait dengan pembahasan — disini
menggunakan Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Juz ‘Amma, kemudian di deskripsikan dan
dianalisa hingga menarik kesimpulan.
Kesimpulan
dari telaah pustaka pertama ini yaitu, Muhammad Abduh merupakan seorang mufasir
mandiri (al-mufassir al-munfarid), dengan
corak pemikiran yang mengedepankan metode ilmiah (l-manhaj al-‘ilm) dan kebebasan akal (hurriyat al-‘aql) dalam menafsirkan al-Qur’an. Dapat terlihat bahwa
penafsiran Abduh dalam bidang akidah ternyata sarat dengan pemikiran atau
wawasan kefilsafatan dan penakwilan (bukan makna harfi’ahnya tapi makna
metaforismenya), yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional, sedangkan
dalam bidang ibadat yaitu sarat dengan uraian-uraian tentang hikmah dan
pesan-pesan moral yang terkandung dalam syariat ibadat.[6]
Telaah
pustaka yang kedua adalah karya A. Athaillah “Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar”.
Rumusan masalah yang dimunculkan oleh Athaillah adalah bagaimana sebenarnya
pemikiran teologi Islam dari Rasyid Ridha?. Athaillah menggunakan pendekatan
dalam penelitiannya yaitu kajian kepustakaan (library research), dengan metode analisa komparatif analisis kritis
(perbadingan dengan aliran-aliran teologi Islam lain) dan menuangkannya dengan
deskriptif kritis analisis sebagai upaya untuk manarik sesimpulan.
Kesimpulan atas telaah pustaka kedua yaitu, Rasyid
Ridha di suatu sisi pemikirannya identik atau sejalan dengan pendirian kaum
Salaffiyah di sisi lain juga sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan
pendiri Maturudiyah. Corak pemikiran teologi Islam Rasyid Ridha bercirikan dan
bercorak rasional (dibuktikan dengan pengakuannya terhadap kemampuan akal dalam
mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan meskipun wahyu belum turun
menjelaskannya dan rasul Allah belum datang menyampaikannya, kebebasan manusia
dalam berkehendak dan berbuat, keniscayaan sunatullah atau hukum kausalitas dan
keberaniannya dalam menakwilkan nas-nas dengan pengertian majasi apabila
terdapat kesan pertentangan antara lahir nas dengan akal atau apabila terdapat
kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nas) meskipun tidak setingkat
dengan rasional Mu’tazillah.[7]
D.
Metodologi
Buku
yang di sajikan Quraish Shihab ini merupakan kajian tentang tokoh (Mufassir) yang menggali keluasan dan
kedalaman keilmuan Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang
tafsir al-Qur’an. Metodologi yang digunakan untuk membantu dalam menggali
informasi dan mencari temuan tentang kedua tokoh diatas ialah dengan studi
kepustakaan (library recearch), yaitu
dengan menghadirkan data primer dalam artian karya yang ditulis langsung oleh
kedua tokoh tersebut dan juga data sekunder dalam artian karya yang ditulis
oleh pihak lain tentang kedua tokoh tersebut, kemudian dilakukan
analitis-kritis terhadap karya dua tokoh tersebut melalui data primer maupun
sekunder tersebut.
E.
Ruang
Lingkup Penelitian
1)
Metode dan Corak Pemikiran Muhammad ‘Abduh[8]
Metode
dan corak penafsiran Syeikh Muhammad ‘Abduh ialah dengan metode analisis dengan
corak pendekatan adabi ijtima’i
(budaya kemasyarakatan). Corak penafsiran dengan pendekatan ini menitik
beratkan penjelasan ayat al-Qur’an dari segi ketelitian redaksionalnya, kemudia
menyusun (kontruksi) kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah
dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam
kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan
istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat di
butuhkan. (Qurais Shihab, 1994 : 25).
Prinsip-prinsip
(ciri-ciri) Muhammad ‘Abduh dalam penggunaan peran akal dan peran adabi al-ijtima’i untuk menafsirkan
al-Qur’an dapat terlihat sebagai berikut;
a) Penggunaan
akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut
Abduh wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan. Penafsiran ayat yang
menggunakan akal tercerminkan hal tersebut (al-Baqarah ayat 255), Abduh berkesimpulan
bahwaالْقَيُّومُ الْحَيُّ هُوَ
إِلَّا إِلَٰهَلَااللَّهُ“tiada
Tuhan selain Dia”bahwa tiada dalam wujud ini pemilik
kekuasaan yang sebenarnya terhadap jiwa (kecuali Dia) sehingga jiwa terdorong
untuk mengagungkan dan tunduk kepada-Nya, serta meyakini bahwa dalam genggaman
kekuasaan-Nyalah penganugrahan kebajikan atau keterhindaran dan keburukan. الْحَيُّAl-Hayy
(Maha Hidup) berarti Dia pemilik hidup dan sumber rasa, pengetahuan, gerak dan
pertumbuhan. Abduh menolak pengertian hidup bagi Tuhan dalam arti Yang Hidup
terus-menerus, tetapi arti “hidup” bagi-Nya adalah bahwa dia sumber
pengetahuan, kekuasaan.
Keluasan
penggunaan akal serta meniadakan taqlid ini tercermin pula dari anggapan Syaikh
Muhammad ‘Abduh bahwa kisah penciptaan Adam, dialog Tuhan dengan malaikat,
keengganan iblis untuk sujud merupakan ‘kisah simbolik’ bukan cerita yang
terjadi sebenarnya. ‘Abduh menafsirkan; a) pemberitahuan Tuhan kepada malaikat
tentang rencana-Nya menciptakan khalifah, berarti: bahwa bumi dengan segala
hukum yang menjadi ruh inti serta sumber ketergantungan telah disiapkan Tuhan
dihuni oleh Manusia yang dapat mengelolahnya, sehingga akan tercapai
kesempurnaannya. b) pertanyaan malaikat merupakan gambaran adanya potensi
manusia untuk melakukan hal itu (merusak dan menumpahkan darah), walaupun
potensi itu tidak bertentangan dengan arti kekhalifaan diatas. c) pengajaran
Tuhan tentang nama-nama kepada Adam yaitu gambaran kemampuan manusia mengetahui
segala sesuatu dalam alam ini, mampu mengelolahnya serta memanfaatkannya. d)
pemaparan pertanyaan-pertanyaan kepada malaikat dan ketiadaan jawaban mereka
menunjukan keerbatasan ruh-ruh yang mengatur alam ini (hukum-hukum alam). e)
sujudnya malaikat kepada manusia menunjukan kemampuan manusia untuk
memanfaatkan hukum-hukum alam, demi mengambangkan alam ini melalui pengetahuan
sunatullah. f) keengganan iblis untuk bersujud, menunjukan kelemahan manusia
dan ketidakmampuannya untuk menundukan jiwa kejahatan atau menghilangkan
bisikan-bisikan kotor yang mengantakan kepada perselisihan, perpechan, agresi
dan permusuhan.
b) Sangat
kritis dalam menerima hadits-hadits nabi saw.
Sikap
Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang
meriwayatkan/pengantar suatu teks) belum tentu di pertanggung jawabkan.Dapat
kita lihat pengantar Syaikh Mustafa Abdur Razik dalam majalah al-Urwah al-wusqa “Sumber ajaran agama
menurut Abduh adalah Al-Qur’an dan sedikit dari sunnah yang bersifat ‘amaliah”.Abduh mengajak bahwa manusia
harus berpedoman (berimam) kepada al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Disini
terlihat bahwa ‘abduh tidak menghiraukan segi-segi ma’tsur (riwayat), tidak pula memperhatikan cara pen-tarjih-an,
serta sejarah yang menyangkut al-Qur’an. Didalam tafsirnya, banyak hadits –
yang dinilai oleh ulama terknal sebagai hadits-hadits shahih – ditolak atau
diabaikan oleh abduh karena dinilainya tidak sesuai dengan pemikiran logis atau
tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an.Sebaliknya, yang dianggap oleh ulama dha’if (lemah) – justru dikukuhkan oleh
Abduh, hanya karena kandungannya (redaksi matan) dinilai dengan pemikiran
logis. Seperti misalnya penolakan terhadap hadis Bukhari dan Muslim terkait
wahyu pertama turun (iqra’), dan
pengukuhannya terhadap riwayat dha’if
yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan al-Fatihah adalah
wahyu pertama.
c) Mengaitkan
penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama menilai
Muhammad ‘Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang bercorak adâbi ijtimâ’i (budaya dan
kemasyarakatan).Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan
masyarakat dalam usaha mendorong kearah kemajuan dan pembangunan.selain itu,
mengarahkan pada perbaikan gaya bahasa arab—kemampuan bahasa bukan dinilai dari
pengetahuan tata bahasa atau istilah-istilah ilmu bahasa, tetapi dinilai dari
‘rasa bahasa’ yang telah meresap kedalam jiwa seseorang—hal ini yang kemudian
akan menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi bahkan mengasah
penalaran.
* Tulisan ini merupakan bahan diskusi berkala dua-mingguan MIM Indigenous School #1: Seri Pemikiran Keislaman.
NB: Gambar utama diambil dari sini
[1][1] Quraish
Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar.
(Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 17
[2]Ibid. h. 17
[3]Quraish Shihab. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas
Tafsir Al-manar. (Jakarta:Lentera Hati, 2006) h.20
[4]Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. (Bandung :
Pustaka hidayah, 1994) h. 22-24
[5] A. Athaillah. Rasyid Ridha’, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir
Al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 1-3
[6]A. Athaillah. Rasyid Ridha’, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir
Al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 203-215
[7] A. Athaillah. Rasyid Ridha, Konsep
teologi rasional dalam Tafsir al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 390-391
[8]
Quraish Shihab. Studi Kritis
Tafsir Al-Manar. (Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 26-57
0 komentar: