IMM dan Kepemimpinan Intelektual
Makhrus Ahmadi*)
“Seorang intelektual bagaikan
direktur film, ia harus mengetahui dan memahami dan mengenal baik masyarakatnya.
Apa yang ia katakana ada sangkut pautnya dengan massa masyarakat. Dengan demikian
tanggung jawab cendikiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat… bila
masyarakat di bangun secara benar, ia akan melahirkan pahlawan-pahlawan yang
cukup tangguh untuk memerintah dan
membimbing masyarakat. Tanggung jawab pokok cendikiawan adalah menanamkan dalam
akal berfikir puplik semua konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada dalam
masyarakat” (Ali Syariati)
PENDAHULUAN
Allah pada awalnya memang
menciptakan manusia sebagai pemimpin (khalifah) dimuka bumi (QS. Al Baqarah:30). Ia ditugaskan
untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Artinya, harus membawa diri
dan masyarakat pada sebuah kondisi dimana nilai-nilai agama menjadi tolak ukur
dalam segala hal. Sebagai seorang pemimpin yang mendapat mandat langsung dari Allah, manusia dikaruniakan akal untuk berfikir
bagaimana mengolah segala yang ada di bumi untuk kemaslahatan bersama. Selain
itu, turunnya ayat pertama (QS. Al Alaq : 1-5) yang ditirunkan Allah terhadap semua manusia
melalui Muhammad menegaskan bahwa membaca “Iqra’” merupakan sebuah proses
risalah intelektualitas.
Kepemimpinan manusia dimuka bumi
haruslah ditopang oleh sebuah budaya dan sistem intelektual yang mapan, sebab
islam sangat menghargai akal sebagai sebuah karunia yang harus dijaga
keberadaannya (maqasid as syariah). Islam menganjurkan bagaimana seorang pemimpin kelompok maupun
individu mengajak pada sebuah kebajikan dan menjauhi kemungkaran tanpa harus
menanggalkan sifat keintelektualannya. Agama-lah yang kemudian menjadi pemandu
terhadap segala hal yang ada di bumi melalui kitabullah sebagai sebuah panduan. Nabi Muhammad mencontohkan bagaimana
seorang pemimpin bertindak, meski beliau sendiri tidak bisa membaca (ummi). Namun, kekuatan beliau
dalam membaca realitas sosial melintasi batas membaca secara retorika. Islam juga sangat menjunjung tinggi orang yang beriman dan
berfikir (menuntut ilmu) ketingkat derajat yang lebih tinggi. Bahkan setelah
nabi meninggal budaya intelektual dilanjutkan oleh para sahabatnya. Sehingga islam
melintasi batas jamannya, islam hadir sebagai sebuah agama yang menentramkan.
Mengusir budaya jaihiliyyah kemudian menganti dengan budaya yang penuh dengan
rahmati-Nya.
PEMBAHASAN
Kepemimpinan merupakan sebuah
kegiatan manusia dalam lingkungan masyarakat. Kepemimpinan dalam arti gejala
social yang berlangsung sebagai sebuah interaksi manusia dalam sebuah kelompok
besar yang melibatkan banyak orang ataupun sedikit. Pandangan normatif-filosofis dalam Islam seorang pemimpin hendaknya meneladani kepemimpinan
Nabi dan sifat-sifatnya: pertama, siddiq artinya jujur, benar, mempunyai integritas tinggi dan terjaga dari
kesalahan. Kedua, fathonah artnya, cerdas, memiliki
intelektualitas yang tinggi dan professional. Ketiga, amanah artinya dapat di percaya memiliki legitimasi dan akuntabel. Keempat, Tabligh artinya menyampaikan risalah kebenaran,
tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan.
Dari keempat sifat nabi inilah
kemudian diadakanlah transformasi pemikiran oleh kaum intelektual bahwa hal
tersebut harus segera dibumikan dan digerakkan. Pada saat kejayaan Islam misalnya banyak tokoh yang menyebutkan bahwa kejayaan Islam lahir karena kebangkitan para kaum
intelektual. Satu
hentakan nafas dengan hal tersebut, maka kepemimpinan dan budaya
intelektual merupakan dua sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Seorang pemimpin
bisa jadi merupakan roda penggerak dan
eksekutor dari sebuah pergumulan pemikiran. Sikap kaum intelektual yang tidak terikat dengan
sebuah sistem yang kaku merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar kembali. Posisi
kaum intelektual, baik sebagai pemimpin ataupun tidak harus berada ditengah, ia
tidak terlalu gemilau dengan rayuan kekuasaan. Namun ia tidak menuntup telianga
terhadap keluhan dan jeritan kaum minuritas (baca; kaum tertindas). Kuntowijoyo
menyebut kaum intelektual merupakan seorang sosok yang berjalan diatas mega,
pemikirannya melangit, tinggal diatas minara gading yang menginjakkan kaki di
bumi dan memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosialnya untuk memusnahkan
kejahatan, kepedulian terhadap kaum mustad’afin yang dilemahkan oleh struktur
kekuasaan yang dhalim atau sengaja dipinggirkan sistem yang tidak adil.
Sehingga tugas utama seorang intelektual adalah membangkitkan kesadaran dan
tanggung jawab masyarakat. Kemudian memberikan arah atau mentransformasikan intelektualannya
terhadap masyarakat.
Keberpihakan pada dasarnya memang
tak dapat dipisahkan dari paradigma ataupun iman seseorang. Semakin tinggi iman
seseorang, maka secara tidak langsung narani sosialnya juga akan meluap. Sehingga transformasi
keimanan inilah yang diharapkan mampu menjawab persoalan yang ada dalam
masyarakat. Ali Syariati menyebut orang bahwa seorang intelektual yang
mempunyai kesadaran sosial disebut sebagai
rausyan
fikr. Bagi Ali Syariat—para pemikir modern (rausyan fikr) yang sadar dan ingin mengabdi
kepada masyarakat dengan gagasan yang cemerlang untuk masanya dapat menempuh
seperti yang telah ia
lalui. Tidak mempersoalkan agama dalam
masyarakat atas dasar keagamaan. Dengan harapan mendapat dukungan dari para
pemikir modern diluar kalangan agama dapat mengikuti pandangannya yaitu dukungan untuk mendapatkan keyakinan dan
tanggung jawab sosial. Sedangkan rausyan
fikr bekerja sama dengannya untuk mendapatkan tanggung jawab social (Sarbini, 87-88). Pandangan Ali Syariati ini
sebenarnya ingin mengajarkan tanggung jawab yang harus diemban oleh para kaum
intelektual. Karenanya,
dengan adanya rausyan fkir ini mampu menciptakan manusia ideal untuk memimpin massa masyarakat.
Ali Syariati menggaris bawahi rausyan
fikr ini harus menjadi pemimpin
revolusi sebab, pertama, orang yang sadar akan keadaan masyarakatnya sekaligus mengetahui kondisi
kesejarahannya. Kedua, para pemimpin untuk memperbaiki struktural yang mendasar dimasa lampau sebagaimana di contohkan oleh nabi.
Mereka di hadir ditengah massa rakyat dengan pemikiran dan ide yang
revolusioner. Ketiga, golongan ilmuan yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk
menghasilkan lompatan besar. Ia mampu menyadarkan masyarakat untuk lebih
menaknai moralitas hidup dan memupuk kepekaan diri akan realitas sosialnya. Untuk memahami tugasnya yang sangat mulia
ini kaum intelektual biasanya selalu memberikan sebuah pemikiran konstruktif
yang lebih diterima oleh semua golongan sehingga jebakan eklusivitas terhadap
dunia luar tidak menjadi sesuatu yang sangat
tabu dan menakutkan. Pemaknaan ini harus berjalan secara terus menerus untuk
menjaga konsistensi sebuah paham yang sudah mengakar dalam diri.
Perbedaan pandangan (pemikiran) mengenai sesuatu hal bukan justru menambah sebuah persoalan baru, yang akhirnya terjadi ketidakjelasan diri seorang
kaum intelektual. Terkadang perdebatan yang sifat ideologis tak mampu ditafsirkan
oleh para pengikutnya yang hanya mengenal dan memahami dirinya dari luarnya
saja. Sehingga segala
hal yang dilakukannya justru menjadi sesuatu yang subjektif. Jebakan ini justru
semakin menjauhkan dari tugas yang sesungguhnya. Contohnya, seorang kaum intelektual yang
berasal satu golongan sebut saja Muhammadiyah dengan NU, jika terjadi
perselisihan pahan dan tidak dijelaskan
akar permasalahannya akan menciptakan penafsiran baru dan kesalahpahaman dalam
menafsirkan. Sehingga mengakibatkan terjadinya persilishan ditingkat akar rumput yang akhirnya
berujung pada anarkisme massa dan bentuk pelebelan.
Kesadaraan kaum intelektual dalam
memahami kondisi masyarakat dapat menjadi kunci untuk melakukan perubahan
social. Sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan sosial salah satunya mengubah paradigma masyarakat
terhadap agama yang ia yakini selama ini. Maksudnya apakah agama hanya dijadikan sebuah rentetan shalat dan
untaian doa. Jika agama hanya menjadi sebuah
ritual belaka, maka inilah tugas seorang yang
tercerah mengembalikan kembali pemahaman keagamaan pada jalur yang sebenaranya.
Sebuah keyakinan yang mampu diyakini dengan kesadaran diri sehingga dampak dari
keberimanan tersebut dapat menjawab permasalahan social yang sedang menyayat.
Islam
Abu Dzar
|
|
1.
Islam keadilan dan kepemimpinan
2.
Islam kebebasan dan kemajuan
3.
Islam kaum mujahid
4. Islam kebajikan dan tanggung jawab pribadi
5.
Islam perjuangan untuk keimanan.
6.
Islam pengetahuan ilmiah
|
1. Islam penguasa, aristocrat dan elit
2. Islam perbudakan dan penangkapan
3. Islam kaum ulama
4. Islam wasilah ulama dan campur tangan Tuhan
5. Islam yang mengandalkan pasrah
|
Perbedaan pandangan Islam Abu Dzar ini yang kemudian menjadikannya
melangalami pengasingan, saat harus
mengalami penentangan terhadap kekhalifahan yang sudah mulai silau dengan
kehidupan materi. Sedangkan rakyat
dalam keadaan yang sengsara, beliau berteriak didepan pintu gerbang istana
menentang kemapanan yang menindas. Hidup Abu Dzar seperti sebuah kehidupan yang
harus penuh dengan perlawanan. Seorang yang
miskin dan penuh cinta dan meninggal dalam kesunyian disebuah gurun tandus. Persis dengan
yang pernah diramalkan Nabi. Sekali lagi, kematangan keintelektualan seseorang
tak hanya bisa diukur oleh sejauhmana ia dapat menanggapi permasalah-permasalah
kontemporer. Melainkan juga
ia harus memahami betul hakikat dan
tanggung jawab seorang kaum intelektual. Yang kemudian di tranformasikan dalam bersikap dan
menjawab segala hal yang bersinggungan dengan realitas social yang menindas. Bahkan setiap madzhab (ideology) yang tak
mampu mendaratkan diri ditengah-tengah masyarakat. Maka dapat dipastikan sebuah kumpulan teori yang kaku dan kehilangan
pengikut. Sebuah paham ditentukan oleh adanya sebuah pengikut. Semakin kecil
pengikutnya, maka dapat dipastikan ajarannya
begitu sulit untuk diterima. Namun hal ini bukanlah menjadi
tolak ukur untuk memberikan sebuah penilaian terhadap madzhab yang ada. Yang jelas untuk
mengukurnya bagaimana madzhab tersebut menjawab permasalahan sosial.
Posisi kaum intelektual dan ulama
merupakan posisi yang begitu mudah diterima oleh kalangan masyarakat terutama
di negeri ini. Sebab pola pikir
masyarakat yang kadang lebih mengutamakan sifat kesosokan menjadi langkah awal
untuk menyadarkan mereka. Kadang masyarakat awam khususnya lebih mengikuti apa
yang dikatakan kalangan intelektual dan ulama tanpa harus memikirkan salah-benarnya.
Modal kepercayaan yang menjadi modal kaum awam untuk mengikuti para kaum
intelektual dan ulama, meski hal ini mengandung efek negatif jika terlalu
berlebihan yakni pengkultusan. Keberadaan kaum intelektual dan ulama ditengah
masyarakat yang didhalimi secara structural akan menjawab sebuah kondisi
kondisi umat yang sesungguhnya. Dimana kedhaliman terkadang hanya menjadi lantunan dan propaganda naïf
tentang sabar tanpa bertindak. Kondisi inilah yang mewajibkan kaum intelektual
dan ulama untuk mengajarkan bagaimana umat melawan. Iman bukan lagi
diartikan sebagai sesuatu yang patuh dan pasrah. Melainkan juga melawan—sehingga masyarakat dapat memahami Islam sebagai sebuah agama pembebas. Pembebas
terhadap diri dan masyarakat. Tepatnya, inilah ajaran agama islam yang
sesungguhnya.
Kesadaran Sebagai Sebuah Fondasi
Sebagai kaum yang mempunyai
tanggung jawab besar. Kaum intelektual diharapkan sadar akan atas sebuah kondisi diri dan
masyarakat yang sesungguhnya. Kesadaran yang
diharapakan disini adalah kesadaran transformatif yang mampu memberi jawaban
terhadap segala permasalahan yang ada. Inti dari kesadaran ini adalah tidak berpangkunya seseorang terhadap
takdir Tuhan yang memang pada dasarnya dia sendiri pun tidak mengetahui: apakah benar-benar takdir ataukah ada sistem yang
sengaja menjauhkan dirinya dari realitas. Kesadaran terhadap adanya sebuah realitas
sebenarnya adalah bukti bahwa kesadaran seseorang yang mempunyai kesadaran
independen. Sumber kesadaran yang ia dapatkan
berasal dari sebuah permugulan panjangan dan keyakinan yang mendalam. Ia tak
lagi mengangap bahwa segala yang terjadi selama ini, bukan hanya atas dasar sebuah cobaan. Sehingga
membuatnya menjadi seseorang yang pasrah dan menganggap sebagai sebuah takdir
yang layak dijalani.
Murtadha Muthahhari (2007:169) menyatakan
bahwa manusia haruslah sadar atas dirinya dan dunia. Sebab seseorang
biasanya mempuyai kecenderungan akan sadar akan kedirian dan keduniaannya.
Harus diakui, tidak mudah menentukan kesadaran diri atau kesadaran dunia yang
lebih utama. Misalnya, berkenanan
dengan jenis pendekatan yang diambil akan timbil sebuah perbedaan yang kadang
mengarah pada kultur pola pemikiran timur dan barat. Satu segi pengetahuan dan
agama dapat pula muncul akibat sebuah fakta bahwa pengetahuan merupakan sebuah
alat untuk kesadaran duniawi seseorang. Akan tetapi meski pengetahuan bertujuan
untuk membentuk sebuah kesadaran diri, kesadaran yang diciptakan oleh
pengetahuan bersifat tidak memiliki ruh dan mati. Kesadaran ini tidak bisa
membangkitkan emosi seseorang melainkan hanya membangunkan dari tidurnya yang
lelap, jelas hal ini sangat berbeda dengan kesadaran yang didasarkan atas
keyakinan dan agama, ini yang kemudian disebut sebagai kesadaran religious yang
menentukan eksistensi manusia yang seutuhnya. Saat kesadaran yang mempunyai nafas agama, maka akan mempunyai efek domino terhadap
lingkungan sekitar. Artinya, kesadaran ini kemudian menafsirkan bahwa segala
hal yang tidak sesuai dengan norma ajaran agama harus segera diperbaiki.
Disamping itu adanya pemikiran dan penafsiran terhadap ajaran agama terus
menerus diselami dan menggurita sehingga sebuah agama tak lagi ditafsirkan
sebagai sesuatu kaku. Misalnya zakat, ia harus membebaskan mereka yang
sedangkan mengalami kesulitan (tertindas), pemaknaan zakat ini bukan lagi
sebagai sebuah rutinitas atuaran yang wajib, melain mengajarkan bagaimana menanggakat derajat kaum tertindas dari
lingkaran keras sistem ekonomi yang gila. Kaitan kesadaran ini dengan kepemimpinan
intelektual adalah bagaimana sebuah kepemimpinan yang mampu mengajarkan sikap
membawa massa pada tingkat kesadaran transformatif bukan malah membiarkan
mereka tidur nyenyak dengan kesadaran naifnya.
Sebuah kepemimpinan yang
mempunyai massa dengan tingkat kesadaran transformastif, dapat dipastikan bahwa dentungan
revolusi atas rezim yang menindas menjadi darah yang terus mengalir deras dalam
diri, maka biasanya kaum intelektual pasti ada dibalik semua hal yang sifatnya
revolusioner. Sebab hampir sesuatu yang mustahil bahwa perubahan tanpa adanya actor
intelektual sebagai penyusun konsep. Misalnya, Revolusi iran terjadi karena
dibelakangnya orang kaum intelektual seperti Ali Syariati, Ayatullah Homeini,
reformasi 1998 dibelakangnya juga ada Amien Rais, Gus Dur dll. Keberadaan kaum intelektual
sebagai sebagian kecil masyarakat yang sadar terlebih dahulu berkewajiban untuk
membawa massa masyarakat yang sedang lunglai tanpa arah agar duduk dengan
barisan mereka. Disadari atau tidak, keberadaan kaum intelektual ini sebenarnya juga tidak terlepas dari
ideologi yang membentuknya. Namun hal ini
bukanlah menjadi sebuah permasalahan yang harus diperdebatkan sebab hanya akan
membawa pada konflik antar kelompok dan keeklusivisan gerakan.
Adanya sebuah kesadaran dalam
proses pembentukan kepemimpinan intelektual menjadi sesuatu yang sifatnya
mutlak. Sehingga massa dapat memahami
secara lebih utuh mengenai segala hal
yang berada dalam dirinya maupun yang selayaknya ia kerjakan sesuai dengan
kaidah yang sudah ditentukan.
Sebuah Realitas dan Kritik : Gen pemikiran sebagai langkah awal kepemimpinan intelektual IMM
Pergumulan pemikiran dalam dunia
gerakan bukan sesuatu yang tabu. Sebab hal
tersebut sudah menjadi watak dari dunia pergerakan itu sendiri. Sebuah gerakan tanpa adanya khas pemikiran yang melatar belakanginya merupakan
sesuatu yang mengada-ada dan cenderung hanya ikut-ikutan. Artinya, pemikiran merupakan sebuah ihwal dari sebuah gerakan maupun tindakan
yang dilakukan.
Sebuah kritik pedas yang
dilayangkan kadar PC IMM AR. Fakhruddin terhadap tubuh
Ikatan sendiri yakni tidak adanya
sebuah kerangka berfikir yang sama diantara masing-masing kader (gen pemikiran)
selama beberapa tahun terakhir ini. Disparitas
pemikiran kader yang ada di IMM selama ini patut menjadi kegelisahan bersama,
sebab disadari atau tidak hal ini tak dapat dihindari dalam merekayasa kader
ikatan dan dalam melakukan pemetaan terhadap kemampuan masing-masing kader.
Dalam sebuah buku yang coba ditorehkan oleh kader IMM AR. Fakhruddin, tenyata
ada sebuah kegelisahan yang mendalam dalam diri seorang kader terhadap gerakan
ikatan ini. “ditengah-tengah kuatnya basis massanya disetiap Perguruan Tinggi
Muhammadiyah dan Perguruan Tinggi Negeri, disetiap perkembangannya yang begitu
pesat Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) tidak begitu populer dan kurang
memberikan kontribusi yang nyata terhadap perubahan yang terjadi ditangah
masyarakat. IMM tak lagi menjadi agent of social change ditengah peningkatan kadernya
dan fokus pada urusan internal kadernya, lebih sibuk dengan persoalan
konsolidasinya yang membuat IMM cenderung tidak bisa melepaskan diri untuk
mandiri dari Muhammdiyah sehingga pada akhirnya mengabaikan persoalan-persoalan
subtansial yang menjadi tujuannya sendiri...jebakan eklusivitas akan membuat
kita menjadi lemah..” (MIM, 2009: 35-36). Akhirnya, Harus disadari bahwa kelemahan IMM sekarang ini hanya sibuk
memikirkan hal-hal yang sifatnya administratif, kemudian diperparah dengan perbutan kekuasan (sebut kasus Muktamar IMM
lampung yang sampai ada pelemparan kursi) yang malah justru menelanjangi
ketidakdewasaan kader Ikatan ini dalam
berpolitik secara sehat, tepatnya sulit menerima perbedaan (Ahmadi, 2014: 4). Sialnya lagi, ada sebagian
kader IMM ada yang tidak tahu apa ideology IMM itu sendiri.
Ada satu catatan yang mampu
menyatukan IMM dalam beberapa hal, dalam beberapa agenda perkaderan (sebut ; DAM) yang pernah diselenggarakan
PC IMM AR. Fakhruddin dan PC IMM Kabupaten Sleman rentang 2008-2010 selalu mengusung tema yang hampir sama
yakni tentang gerakan intelektual/gerakan budaya ilmu dan mungkin saja juga
dilakukan oleh cabang IMM yang lain. Oleh karena itu DPP selayaknya anggota
dewan yang kedudukannya berada ditingkat pusat, mampu menganalisis secara lebih mendalam mengenai masalah ini. Memang hal ini membutuhkan waktu yang lama, sebagai solusi, sehingga alangkah baiknya IMM melakukan
rembug nasional yang secara khusus membahas masalah gen pemikiran ini. Kalau pun hal tersebut memang tidak
memungkinkan, maka bisa dilakukan dengan cara mengadakan survei terhadap
pemikiran dan gerakan kader diseluruh Indonesia. Apakah ada perbedaan atau
persamaannya, atau bahkan mengalami kegamangan yang tidak saja digelisahkan
oleh masing-masing kader. Melainkan juga secara kolektif-struktural disemua
level pimpinan IMM se-Indonesia. Inilah yang patut kita jawab bersama.
Sebuah pekerjaan besar terhadap
IMM kedepan untuk membuat fomulasi “gen pemikiran” yang tepat dijalankan oleh
IMM. Hal ini sudah selayaknya menjadi sebuah agenda dan kegelisahan bersama, sehingga tidak ada lagi disparitas
pemahaman/pemikiran kader terhadap segala hal. Tepatnya IMM akan menjadi sebuah
gerakan yang mampu memahami dari dataran teori sampai dengan praksisnya dan
secara tidak langsung masalah harapan kepemimpinan intelektual dapat dicapai. Hadirnya, buku Genealogi Kaum Merah yang ditebitkan oleh MIM Indinegous School beberapa waktu lalu, mencoba
memberikan sedikit gambaran bagaimana mengurai dan mengkonsep mengenai penting
gen pemikiran. Baik secara filosofis maupun praksis gerakan. Meskipun buku ini masih
belum banyak diakses oleh para kader IMM secara nasional, namun memberikan
dampak positif terhadap pola gerakan beberapa daerah. Jadi, hal yang juga tidak
kalah penting adalah bagaimana semua kader IMM dapat diberikan banyak akses
dalam mengembangkan pemikiran dan gerakannya. Baik secara kolektif ataupun
individu.
PENUTUP
Sebuah kepemimpinan intelektual
harus mampu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat, sehingga wujud dan tugas sebagai intelektual dapat
dipertanggung jawabkan. Kesadaran yang ada disetiap lapisan masyarakat haruslah
terus menjadi perhatian bersama agar kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi
sesuatu yang sudah lazim dan dipahami. IMM sebagai bagian dari dunia gerakan diperlukan gerakan pemikiran baru dengan kerangka teori yang cukup
mapan. Sehingga gerakan
yang dilakukan, bukanlah sebuah ritual yang
berjalan secara terus menerus tanpa adanya koreksi dan evaluasi. Selain itu, gerakan pastilah dilatar belakangi dengan wacana yang matang, karenanya
sangat ironis bergerak tanpa adanya sebuah pemahaman bersama. Tugas IMM kedepan
adalah melahirkan gen pemikiran yang mampu menjawab masalah segala hal yang
berkaitan dengan disparitas pemikiran kader.
Memberikan banyak peluang dan
kesempatan bagi semua kader, untuk bisa berkembang sesuai dengan spealisasi dan
basic keilmuannya pada tahap tertentu senantiasa memberikan angin segar bagi
tumbuh kreativitas berpikir dan bergerak para kader dalam masing-masing level
pimpinan. Sebab dengan adanya pola seperti ini juga akan memudahkan para kader
untuk bisa sama-sama merasakan payung besar keluarga—Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, tidak saja secara stuktural melainkan pula secara personal.
Yakni, sosok intelektual yang humanis yang siap memimpin dalam level mana dan
kapanpun saat ia melakukan diaspora pada bidang tertentu. Semoga!
REFERENSI
Sarbini. Islam Ditepian Revolusi Idelogi
Pemikiran dan Harapan. Yogyakarta. Pilar Media.2005
Eko Prasetyo. Jadilah
Intelektual Progresif. Yogyakarta. Resist Book. 2007
___________, Islam Kiri
Jalan Menuju Revolusi Sosial. Yogyakarta. Insist Press. 2003
Murtadha Muthahhari. Membumikan
Kitab Suci Manusia dan Agama. Jakarta. Mizan. 2007
Donny Gahral Adian. Percik
Pemikiran Kontemporer, sebuah pengantar komprehensif. Yogayakarta. Jalasutra. 2002
Ali Syariati. Tugas
Cendekiawan Muslim. Jakarta.
Rajawali Pers. 1984
MIM Indeginous School. Rahim Perjuangan Catatan Kecil Mahasiswa Yang Rindu
Perubahan. Yogyakarta.
MIM Press. 2009
Majalah Isra’ edisi 5 Februari 2009
Makhrus Ahmadi dan Aminuddin Anwar,
Genealogi Kaum Merah, MIM Indigenous School, 2014.
*) Pegiat MIM Indigenous
School dan penulis buku Genealogi Kaum Merah. Tulisan ini merupakan
makalah penulis untuk DAP Yogyakarta tahun 2010 dan ada sedikit revisi.
0 komentar: