Tajdid Abad ke-2 Muhammadiyah ?*
Ari Susanto
Pegiat MIM Indigenous School;
Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam
Muhammadiyah
sejak terhitung kelahirannya 12 November 1912 M atau 08 Dzulhijah 1330 H, kini
telah memasuki usianya yang ke 104 hitungan Masehi dan 107 hitungan Hijriyah. Menjalani
usianya pada abad yang ke-2 ini, dengan berbagai torehan prestasi di berbagai
bidang kehidupan bagi bangsa Indonesia, kiranya Muhammadiyah perlu mempertajam
kembali gerakan tajdid-nya, sebagai
formulasi gerakan abad ke-2 Muhammadiyah.
Menurut
beberapa pengamat, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di
Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Pengamatan itu ada benarnya, jika
merujuk perkembangan Muhammadiyah dari 1912 hingga kini. Muhammadiyah secara
struktur organisasi telah tersebar di 34 provinsi di Indonesia, tercatat ada 34
PWM, 488 PDM, 3655 PCM, 8107 PRM. Selain itu juga di dukung oleh 7 organisasi
otonom Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah,
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci dan
Hizbul Wathon.
Sedangkan,
jika dilihat dari berbagai bidang garapan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM),
sebanyak 384 bidang sosial, sebanyak 461 bidang kesehatan, lebih dari 10.382
bidang pendidikan mulai Pendidikan Anak Usia Dini - Perguruan Tinggi, sebanyak
11.198 bangunan rumah ibadah dan 20.945.504 M2 aset tanah Muhammadiyah
(Muhammadiyah.or.id). Dengan predikat itu, tentulah Muhammadiyah sangat bangga,
namun sematan predikat itu tidak boleh ‘meninabobokan’ dan membuat terlena Muhammadiyah
atas kebesarannya. Kejumudan terkadang hadir dari keterlenaan, sehingga lupa
akan realitas dan tantangan yang harus dihadapi dan dipersiapakan untuk
pembangun peradaban masa depan.
Membaca Ulang
Kebesaran
Muhammadiyah diatas, tidak bisa terlepas dari gerakan Muhammadiyah masa lalu.
Menilik kembali sejarah, menjadi sebuah keniscayaan sesuatu yang harus
dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah agar kita mampu membaca dinamika
kehidupan terhadap setting masyarakat
pada saat itu, untuk kemudian menginspirasi pemikiran dan gerakan untuk
kemajuan peradaban yang akan datang. Singkatnya, menilik sejarah sebagai sebuah
upaya perfikir visioner dan futuristik dalam membangun peradaban.
Kiai
Ahmad Dahlan dan rekan seperjuangannya, merupakan pelopor gerakan tajdid (pembaharu) pada gerakan
Muhammadiyah. Beribu AUM dan Organisasi Otonom Muhammadiyah, merupakan dampak
dari pemikiran terdahulu. Hal ini dapat kita lacak melalui dokumen
persyarikatan Muhammadiyah, bahwa pada tahun 1920 diresmikan pengurus Muhammadiyah
dengan empat bidang bagian yaitu; a) Muhammadiyah Bagian Sekolah diketua oleh
H.M Hisjam; b) Bagian Tabligh diketua oleh H.M Fachruddin; c) Bagian Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO), diketuai oleh H.M Soedja’ dan d) Bagian Taman
Pustaka di ketuai oleh H.M Mochtar. Disini ada sifat istikomah (konsisten) dalam perjuangan serta kegigihan dalam
beramal. Ini yang membuktikan Muhammadiyah tetap kokoh eksis di negara ini.
Pemahaman
teologis KHA Dahlan dan rekannya, membuahkan gerakan praksis (nyata) dalam keseharian
bermasyarakat. Istilah Amien Rais yaitu tauhid sosial, bahwa kesholehan
individu harus memancarkan kesholehan sosial. Maka disini nampak bahwa Islam
membawa misi kemajuan dalam kehidupan. Tajdid
direproduksi dari pemikiran dan perenungan keagamaan untuk membangun sebuah
peradaban. Berfikir visioner dan futuristik mencaji corak gerakan tajdid ini. Yang menarik, gerakan yang
dilakukan KHA Dahlan dan rekannya tempo dulu bersifat akomodatif yang pada saat
itu dibawah pemerintahan belanda. Inilah kelebihan gerakan Muhammadiyah tempo
dulu.
Tajdid Abad ke-2
Di
abad ke-2-nya, Muhammadiyah harus berfikir keras untuk merumuskan gerakan tajdid kembali, sebagai formulasi
perjuangan membangun peradaban. Rumusan tajdid
baru inilah yang kemudian di abad kedua menjadi fokus perjuangan Muhammadiyah
dalam tataran nasional dan masyarakat global. Oleh sebab itu, mungkin yang
perlu dipertimbangakan dalam menyusun agenda tajdid abad ke-2 ini yaitu;
Pertama,
penegasan kebangsaan bahwa Indonesia sebagai darul ahdi wa syahadah pada Muktamar ke-47 di Makasar lalu harus
disistematisasikan. Hal ini menimbang bahwa, konsep demokrasi di Indonesia
tidak sepenuhnya berjalan baik. bahwa sesungguhnya kehidupan di dunia ini, kita
tidak benar-benar bebas dari cengkraman dan target ‘kaum fir’aun’ dan ‘abu
lahab’. Sependapat dengan buya Syafii maarif, bahwa Muhammadiyah harus menjadi
penentu dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Langkah untuk menjadi penentu
perjalanan bangsa harus mensisematiskan gerakan tajdid baik dalam bidang politik dan ekonomi, sebagai formulasi
perjuangan Muahammadiyah abad ke-2.
Kedua,
dalam dunia Internasional, Muhammadiyah harus menggaungkan suaranya untuk
peradaban dunia yang lebih baik lagi. Misalnya khusus untuk umat muslim di
dunia, untuk mempersatukan kalender hijriyah, Muhammadiyah telah tampil
menawarkan konsep hisab dalam
penetapan kalender hijriyah internasional. Secara umum dalam dunia
Internasional Muhammadiyah agaknya perlu merumuskan agenda tajdid-nya dalam bersuara di dunia Internasional. Apa yang
dilakukan pak Din Syamsudin agaknya patut diteruskan membuka forum dialog
perdamaian antar umat agama di dunia internasional. Jika kedua agenda tajdid
Muhammadiyah abad ke-2 ini berjalan, maka dapat dibenarkan pandangan pengamat
bahwa Muhammadiyah organisasi terbesar yang membawa pengaruh di tingkat
nasional maupun Internasional. Wa’allahu
‘alam bishawab
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bernas Jogja (23/11/2016), dan dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.
0 komentar: