Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 1 komentar

Rasionalitas Al-Qur’an (Bagian-2)





Ari Susanto
Pegiat MIM Indigenous School; 

Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam

 


2)     Corak Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha[1]
Metode dan corak penafsiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pada dasarnya secara garis besar mengikuti ‘metode dan ciri-ciri pokok’ Syeikh Muhammad ‘Abduh.Adapun peran akal yang digunakan dalam penafsiran Rasyid Ridha dapat kita lihat dari beberapa keterangan dibawah ini:


a)      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.

Ridha menolak Pandangan ulama-ulama yang menyatakan firman Allah tentang jin adalah surah al-A’raf : 27
تَرَوْنَهُمْلَاحَيْثُمِنْوَقَبِيلُهُهُوَيَرَاكُمْإِنَّهُ“ sesungguhnya ia (jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka”. Setelah melihat penjelasan mutakkalimin tentang jin, ridha mengutarakan pandangannya, bahwa orang yang mengaku melihat jin, itu hanyalah khayalan semata. Kemudian Ridha menganggap bahwa ‘bakteri’ yang tak terlihat dan hanya mampu terlihat menggunakan microskop merupakan bagian dari jin karena telah terbukti bakteri-bakteri merupakan penyebab banyak penyakit.
b)      Bersikap hati-hati terhadap hadits
Rasyid Ridha menolak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang penciptaan alam semesta (kosmologi)  yang berlangsung selama tujuh hari, sedangkan Allah berfirman al-A’raf 54 menciptakan dalam waktuأَيَّامٍ سِتَّةِ فِي   (enam hari).


3)            Corak Rasionalitas al-Qur’an

Rasionalitas Al-Qur’an dapat kita lihat melalui dua contoh dibawah ini, pertama, terkait dengan Penafsiran surah al-Baqarah ayat 255, Abduh berkesimpulan bahwa الْقَيُّومُ الْحَيُّ هُوَ إِلَّا إِلَٰهَ لَااللَّهُ“tiada Tuhan selain Dia” bahwa tiada dalam wujud ini pemilik kekuasaan yang sebenarnya terhadap jiwa (kecuali Dia) sehingga jiwa terdorong untuk mengagungkan dan tunduk kepada-Nya, serta meyakini bahwa dalam genggaman kekuasaan-Nyalah penganugrahan kebajikan atau keterhindaran dan keburukan.الْحَيُّ Al-Hayy (Maha Hidup) berarti Dia pemilik hidup dan sumber rasa, pengetahuan, gerak dan pertumbuhan. Abduh menolak pengertian hidup bagi Tuhan dalam arti Yang Hidup terus-menerus, tetapi arti “hidup” bagi-Nya adalah bahwa dia sumber pengetahuan, kekuasaan.

Kedua, penolakan/pengabaian hadits(hahih/dhaif) yang tidak dapat ditangkap atau bertentangan dengan akal atau tidak sejalan dengan ayat al-Qur’an.Walaupun paraulama mazhab telah sepakat kehujahan hadits ahad yang shahih sebagai takwil dalam penafsiran dan mengambil istimbath hukum, jikalau bertentangan dengan akal maka tertolak.Ini berlainan dengan kesepakatan para ulama bahwa mengedepankan hujah hadits yang shahih dibandingkan peran akal. Contoh penolakan Abduh terhadap hadits shahih tentang wahyu yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait wahyu yang pertama (iqra’), dan menerima hadits dha’if yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa al-Fathihah adalah wahyu yang pertama.

            Disinilah nampak bagaimana penggunaan peran akal manusia dalam menggali makna tekstual ayat sehingga pemaknaannya dapat dirasakan langsung oleh manusia.Wahyu sebagai pesan dari langgit mencoba untuk mampu membumi berdasarkan realitas kondisi social masyarakat saat itu. Penggalian makna wahyu yang seperti ini akan menghantarkan bahwa wahyu akan terus sejalan dengan perkembangan dan perubahan kondisi masyarakat.




4)            Pandangan Rasyid Ridha terhadap para Mufassir terdahulu[2]

Kritik yang pertama terhadap gurunya melalui karyanya Tarikh al-Ustadz al-Imam yang menyatakan secara tegas kekaguman terhadap Muhammad Abduh, baik menyangkut Ilmu pengetahuan maupun sikap, budi pekerti, serta keteguhan beragama. Kekaguman itu tiada mengaburkan sikap kritis Ridha terhadap gurunya dengan pendapat yang dinyatakannya “ disini beliau berkekurangan dalam bidang ilmu-ilmu hadits dari segi riwayat, hafalan, dan kritik al-jarh wa at-ta’dilsebagaimana halnya ulama-ulama al-Azhar”.

Sedangkan sikap terhadap Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H) pengarang tafsir jami’ al Bayan fii tafsiir al-Qur’an, diakui Ridha sebagai seorang ahli di bidang at-tafsir bi al-ma’sur. Namun Ridha mengkritik dengan pedas dan ‘tidak halus’ terhadap mufasir ini yang menyatakan bahwa setan telah membuat nabi Zakaria as ragu terhadap panggilan malaikat dengan membisikan dalam jiwanya bahwa hal tersebut dari setan, sehingga Nabi Zakaria bermohon kepada Tuhan untuk diberi tanda kebenaran (Ali-Imran : 41). Ridha menanggapi dengan pernyataan “dari kebodohan sementara mufasir yang telah kami singgung sebelum ini ialah menganggap mereka bahwa Nabi Zakaria as. Tidak dapat membedakan antara wahyu dan panggilan malaikat dengan panggilan setan, dan karena itu dia bertanya dengan pertanyaan yang mengandung rasa takjub kemudian dian meminta pembuktian”

Sikapnya terhadap Fakharuddin ar-Razi (554-606H) pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib, ar-Razi menjafi mufasir yang banyak disoroti oleh Ridha seperti yang di tulisnya dalam al-manar sebagai berikut; “ketahuilah bahwa Fakhruddin ar-Razi adalah imam (pemimpin) para ahli fikir, muttakalim (teolog) Ushuluddin pada masanya hingga mereka mengakui kepemimpinannya tersebut sesudah wafatnya. Namun, dia termasuk  salah seorang diantara mereka yang paling kurang pengetahuannya menyangkut as-Sunnah, pendapat-pendapat sahabat, pendapat tabi’in serta tokoh-tokoh salaf dibidang tafsir dan hadits”

Sikpnya terhadap al-Baidhawi (658 H) pengarang tafsir al-anwar at-Tanzil wa asrar at-Ta’wil, kritiknya terhadap tafsir surah al-maidah ayat 51, Baidhawi mengartikan al-wilayah adalah persahabatan, perlakuan baik, serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama dengan alasan hadis (kedua api tidak saling melihat). Ridha berkesimpulan tentang ayat 51 surah al-Maidah yaitu dikarenakan orang-orang Yahudi dan Nasrani memusuhi/memerangi kaum muslim, bukan disebabkan perbedaan agama. Ini terbukti bahwa nabi saw, ketika mengadakan perjanjian dengan orangorang Yahudi, beliau mencantumkan kata-kata “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim agama mereka”.

Sikap terhadap Mahmud al-Alusi (1217-1270 H) pengarang tafsir Ruh al-ma’ani, Ridha mengakui keluasan pengetahuan al-Alusi, namun Ridha menuduhnya sebagai penjiplak pendapat redaksi-redaksi ulama-ulama terdahulu, bahkan tanpa menyebutkan sumber rujukan  dan mengubah redaksi yang di jiplaknya.

Sikap terhadap Jalaluddin as-Sayuthi (849-991 H) pengarang tafsir ad-Duur al-Mantsuur, beliau banyak pula disoroti oleh Rasyid Ridha, Ridha mengungkapkan bahwa as-Sayuthi telah men-tarjih-kan suatu riwayat menyangkut usia dunia ini yang menurutnya mencapai 7000 tahun (saja) dan bahwa umat Islam tidak akan mencapai usia 1500 tahun. Dan Ridha pula menuduh as-Sayuthi sebagai fanatik buta yang menyoroti terhadap hadits “ziarah rasul saw ke makam ibunda beliau” yang dianggap olehnya sebagai ma’lul.



F.          Sumbangan dalam Keilmuan

Melalui tafsir al-Manar buah karya Syeikh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan juga tafsir juz ‘ammaMuhammad ‘Abduh secara langsung memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia penafsiran al-Qur’an.Terutama dalam mewarnai penafsiran al-Qur’an dengan kemampuan kerja akal pikiran (rasionalitas) dengan pendekatan yang digunakan budaya kemasyarakatan (‘adabi ijtima’i).Paradigma tafsir yang digunakan oleh kedua tokoh diatas dapat digolongkan sebagai corak penafsiran baru diluar pakem kebiasaan para mufassir terdahulu.

Dari kajian yang mendalam oleh Quraish Shihab sesungguhnya menginformasikan tafsir al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha memiliki paradigma Petunjuk al-Qur’an yaitu memposisikan al-Qur’an sebagai sumber utama sebagai petunjuk yang dapat di pahami oleh masyarakat masa kini (dinamis) sehingga mampu mengerakan laku masyarakat untuk kebaikan didunia maupun diakhirat nantinya. Dengan kata lain, tafsir ini mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan sosial kemasyarakatan, kehidupan kekinian serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap zamannya.

Muhammad ‘Abduh memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ilmu tafsir, berkat kedalaman ilmunya, jasa-jasanya dalam memperbaharui interprestasi ajaran Islam. Terbukti bahwa metode penafsiran Muhammad ‘Abduh kini diikuti dan diterapkan oleh sekian banyak mufasir sesudahnya, sepeti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Maraghi, Abdullah Darraz, Abdul Zalil Isa dan sebagainya.


G.           Kesimpulan

Dari kajian kritis terhadap tafsir al-Mannar setidaknya Quraish Shihab mencatat temuannya bahwa Kitab tafsir ini dihadirkan dari upaya untuk menghadirkan kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya—Abduh menilai tafsir terdahulu terkesan kaku dan gersang—sehingga beliau mencoba menghadirkan tafsir dengan metode analisis dan corak pendekatan budaya kemasyarakatan, yang mengoptimalkan peran dan kerja akal fikiran sehingga interprestasi ajaran Islam terlihat sangat dinamis.Walaupun penulis tafsir ini (al-Manar), mengupayaakan untuk menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah sumber ajaran, sedang pendapat akidah dan mashab harus bersumber dari al-Qur’an, namun pada kenyataannya penafsiran mereka hal tersebut masih dirasakan.

Tafsir ini pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta memberi jalan keluar bagi problematika umat manusia.Tafsir ini – khususnya yang di tulis Rasyid Ridha – berusaha untuk menampilkan al-Qur’an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat.







 Daftar Pustaka
 
A. Athaillah. 2006. Rasyid Ridha’, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar. Jakarta : Erlangga.

Hadikusumo, Djarnawi. Aliran-Aliran Pembaharu Islam.Yogyakarta : Suara Muhammadiyah.

Rahman, Fazlur. 1995. Tema pokok al-Qur’an. Bandung : Pustaka, penerjemah Annas Mahyuddin.

Nawawi, Rif’at Syauqi. 2002.Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. Jakarta : Paramadina.

Shihab, Quraish. 2006. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-manar. Jakarta : Lentera Hati.

-------------------. 1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar.Bandung : Pustaka Hidayah.

Shihab, Quraish. 2003. Wawasan Al-Qur’an. Bandung : Mizan,. Cet. XIII




[1]Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. (Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 77; 85

[2]Quraish Shihab. Studi Kritis atas Tafsir Al-manar. (Bndung : Pustaka Hidayah) h. 113-141

1 komentar:

  1. The Wizard of Poker at CasinoDaddy
    In a nutshell, casinoDaddy 오산 출장마사지 can't tell you the best 용인 출장안마 slots, but they can tell 오산 출장마사지 you that 구리 출장샵 they are the best to play. They'll tell you that the jackpot will 인천광역 출장샵 go

    BalasHapus