Islam, Sains dan Masyarakat *
Apri Tri Nugroho
Pegiat MIM Indigenous School;
Sains dan Perkembangannya
Penguasaan
atas pengetahuan akan teknologi akan menjadi indikator bagi suatu bangsa untuk
dikatakan maju atau tidak. Jikapun pernyataan tersebut ditolak, maka kita dapat
berkaca pada negara-negara pemain globalisasi di kawasan Asia. Negara-negara
yang dimaksud adalah India, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan
Malaysia.[1] Masing-masing negara
tersebut begitu memperhatikan sains dan pengembangan teknologi. Maka tak perlu
terkejut apabila dalam produk-produk elektronik yang digunakan dalam keseharian
terdapat nama-nama negara tersebut dalam kemasannya.
Kemudian kita akan
mengakui bahwa negara tersebut maju, karena penguasaannya dalam bidang sains
dan teknologi.
Penguasaan
dalam bidang sains dan teknologi tak hanya sebatas dalam pengembangan
barang-barang elektronik semata. Amerika, Iran atau Rusia dan beberapa negara
maju lainnya, karena kemampuannya dalam bidang teknologi, mereka mampu
mengembangkan teknologi di bidang pengembangan nuklir. Sesuatu yang membutuhkan
regulasi ketat, dan negara seperti Indonesia belum mampu memenuhinya. Namun
terlepas dari berbagai penguasaan dan pengembangan terhadap sains dan
teknologi, seberapa jauh manfaat dari penguasaan akan teknologi tersebut bagi
kehidupan masyarakat secara luas? Pertanyaan dan sikap ini harus dijawab secara
serius oleh setiap ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan sains dan
teknologi.
Penemuan
dan pengembangan teknologi atom pada awal abad 20 telah melahirkan bom atom
yang telah meluluh lantakkan dua kota di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki) pada
penghujung perang dunia ke dua. Hingga saat ini produksi akan senjata nuklir
belum berhenti, umat manusia selalu dalam ancaman kepunahan akibat pengembangan
teknologi oleh manusia lainnya. Dalam wilayah yang lebih familiar pun teknologi
juga mempunyai dampak serius terhadap ancaman kemanusiaan. Produksi baterai smartphone yang berbahan dasar kobalt
(Co) terindikasi mengakibatkan eksploitasi terhadap para pekerja usia anak di
negara Kongo.[2]
Dari sedikit paparan tersebut –selain menjadi indikator kemajuan suatu bangsa
–teknologi menjadi penyebab dari sejumlah bencana kemanusiaan pada beberapa
dekade ke belakang. Kasus tersebut belum termasuk berbagai bencana ekologi atau
lingkungan yang disebabkan oleh limbah hasil pengolahan industri.
Pengembangan
sains dan teknologi juga berdampak negatif, bahkan menimbulkan bencana
kemanusiaan dan ekologi. Adalah suatu kenyataan yang menyakitkan, bahwa ilmuwan
dan akademisi menjadi pelopor kemajuan pengembangan sains, namun di sisi lain
mereka menjadi indikator kemunduran pada kualitas kemanusiaan. Sains seakan
terpisah dan tidak berpihak kepada kemanusiaan. Kenyataan bahwa sebagian besar
akademisi menganut persepsi-persepsi realitas sempit yang tidak memadai untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan besar pada zaman kita.[3] Jika cara berpikir yang
demikian adalah yang diajarkan pada ribuan siswa di perguruan tinggi, maka
bersiaplah untuk tetap menjumpai hal yang demikian pada masa 10-20th
mendatang.
Suatu
pandangan parsial (sebagian-sebagian) seperti ini harus dipahami sebagai sebuah
ancaman akan masa depan kemanusiaan. Karena dari pemahaman yang tidak utuh akan
mempunyai dampak jangka panjang, yaitu pandangan yang bersifat dikotomis
(membedakan). Bermula dari anggapan bahwa sains terpisah dari politik dan
ekonomi, dalam jangka panjang akan muncul anggapan bahwa sains berbeda dengan
politik dan ekonomi. Sains tak mampu mempengaruhi suatu kebijakan politik atau
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sains tak mampu untuk berpihak kepada
masyarakat dan kemanusiaan. Sains yang terpisah dari politik, atau bahkan malah
didikte oleh politik dan ekonomi akan menjadi destruktif. Hal demikian sejalan
dengan ungkapan Capra (1981):
Pemisahan antara pikiran dan materi membawa kita pada pandangan alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan semesta Cartesian semacam ini kemudian dikembagkan lebih jauh hingga pada organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin yang dibangun di atas bagian-bagian yang terpisah. Kita akan melihat bahwa konsep dunia mekanis semacam ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu kita dan tetap memiliki pengaruh yang luar biasa pada banyak aspek kehidupa kita. Konsep ini telah menimbulkan pemisahan yang begitu terkenal dalam disiplin akademik dan system pemerintahan kita dan telah berfungsi sebagai dasar pemikiran untuk memberlakukan lingkungan alam seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah untuk dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan.[4]
Bahkan
menurut Capra bahwa cara pandang parsial telah terjadi sejak lama, dan berakar
pada cara pandang Descartes yang mekanistis. Pemisahan-pemisahan dalam disiplin
akademik pun sangat bisa kita rasakan. Entah sengaja atau tidak cara pandang
yang demikian berdampak buruk pada kemanusiaan. Jika pemisahan adalah dalam
kerangka membentuk ahli dalam setiap disiplin ilmu, hal ini tidak perlu
diingkari. Karena setiap ahli diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah
sesuai dengan spesialisasinya. Namun perlu menjadi catatan kritis apabila
pemisahan di sini berdampak lebih jauh daripada sekedar spesialisasi, yaitu hingga
pada penyempitan pemahaman terhadap hakikat ilmu itu sendiri yang bersifat
holistik (menyeluruh). Hal yang demikian akan mengakibatkan akademisi
tercerabut dari akar masyarakat, sehingga tidak lagi mampu menyelesaikan
permasalahan mendesak yang muncul di tengah masyarakat, yang sebenarnya masih
di dalam bidang keahlian mereka.[5] Kita harus menyadari bahwa
ilmu –baik itu sains, seni, sosial atau ilmu lainnya –merupakan bagian-bagian
dari entitas yang utuh. Bahkan pada kenyataannya kita akan mengetahui bahwa
istilah bagian dan keseluruhan dalam pengertian yang mutlak tidak ada sama
sekali.[6]
Pandangan
Islam
Kesadaran
terhadap ilmu yang bersifat holistik harus dimiliki oleh akademisi atau
ilmuwan. Bahwa adil harus dimiliki sejak dalam pikiran, terutama dalam berilmu.
Capra secara terbuka mengkritik cara berpikir mekanistis yang selama ini telah
menjadi arus utama para akademisi. Dari gejala sosial hingga ekologis, Capra
percaya bahwa cara berpikir mekanistis –yang menganggap bahwa alam semesta
terdiri dari balok-balok parsial yang tersusun sebagai sebuah sistem –tidak
relevan. Maka secara teologis buah pikiran Capra ini selaras dengan ajaran
Islam, bahwa Islam adalah agama yang paripurna (sempurna). Cermati potongan
Q.S. Al-Maidah:3 di bawah ini:
“…pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”
Islam
sebagai agama yang diridhai, pun telah disempurnakan. Karena kesempurnaan dalam
ajarannya, Islam memberikan panduan yang utuh (holistik) atau mencakup
keseluruhan (politik, ekonomi, bahkan sains).
Keadaan
bahwa sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam tertinggal
–dalam ekonomi dan sains –dibandingkan dengan negara-negara dengan penduduk non-muslim,
adalah kenyataan yang harus kita terima. Hal yang demikian tentu bertentangan
dengan anggapan bahwa ajaran Islam adalah paripurna. Pertanyaan sekaligus
jawaban untuk menanggapi pernyataan tersebut adalah, sudahkah ajaran Islam
benar-benar diamalkan oleh umatnya? Ajaran Islam adalah suatu standar
pelaksanaan yang harus ditaati, apabila ingin diperoleh hasil minimal atau
standar. Maka apabila didapati hasil yang di bawah standar, maka lakukan
evaluasi sesuai untuk membandingkan realisasi pelaksanaan dengan petunjuk
pelaksanaannya.
Sebagai
ajaran yang utuh Islam juga mengatur masalah-masalah keduniaan yang berkaitan
dengan sains. Hal yang demikian diindikasikan kepada banyaknya ayat-ayat
kauniyah, yaitu ayat-ayat yang membahas tentang alam semesta. Menurut Syaikh
Jauhar Thanthawi –di dalam tafsirnya Al-Jawahir
–di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah.[7] Bahkan menurut Agus
Purwanto setelah melalui observasinya terhadap Al-Qur’an, terdapat 800 ayat
kauniyah.[8] Kenyataan bahwa jumlah
ayat kauniyah lebih banyak dari ayat-ayat fikih –yang berjumlah sekitar 150
ayat –menjelaskan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk memperhatikan fenomena
atau gejala di alam semesta. Memperhatikan di sini adalah usaha untuk melakukan
observasi, meneliti, mengembangkan dan memanfaatkan. Kemudaian keberadaan ayat
fikih ini mengisyaratkan bahwa usaha tersebut harus dengan ‘memperhatikan’
batasan-batasan yang wajar atau tidak berlebihan, seperti pada Q.S. Al-An’am:(141) “… dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. Karena tidak boleh berlebihan
maka harus ‘memperhatikan’ fenomena lain mengenai dampak aktifitas sains
tersebut terhadap sosial dan ekologi. Itulah ajaran Islam yang komprehensif,
berbeda dengan pandangan mekanistis yang mengakibatkan pada bencana kemanusiaan
dan lingkungan.
Buah
pemikiran Capra adalah ‘isyarat’ bagi akademisi dan institusi pendidikan Islam,
bahwa ar ruju’ ila al-Qur’an adalah
sebuah gerakan yang harus disegerakan. Merujuk kepada al-Qur’an adalah sebuah
keniscayaan, apabila rujukan tersebut dapat dipahami secara komprehensif.
Komprehensif harus ditekankan, karena institusi ataupun instansi berlabel Islam
sekalipun kini tak banyak yang benar-benar mampu melakukannya. Islam hanya
sebuah label untuk memberikan nilai tambahan, semisal dalam politik ada ‘partai
islam’ yang menjadikan nama label Islam sebagai komoditas politik. Ada juga
sekolah Islam, guna penegasan –yang bersifat dikotomis –bahwa sekolah tersebut
memiliki sistem pembelajaran Islam, padahal Islam sendiri sudah memerintahkan
kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah, tanpa harus melabeli bahwa
itu adalah sistem Islam atau bukan. Selain yang bersifat institusi seperti di
atas, pelabelan Islam juga masuk ke ranah jargon atau semboyan semisal ‘Unggul
dan Islami’, jargon tersebut seakan menyiratkan bahwa terdapat keunggulan yang
tidak Islami, atau Islam itu sendiri tidak unggul. Hal yang saya contohkan di
atas adalah berbagai bukti bahwa cara berpikir mekanistis telah menjangkit di
berbagai aspek kehidupan kita. Maka terbukti benarlah pernyataan Agus Purwanto
(2008): “Islam kita yakini sebagai ajaran
yang komprehensif dan sempurna, tetapi kita juga yang selama ini telah
mereduksi ke satu-dua aspek tertentu sehingga misi Islam yang rahmat hanya
eksis dalam bentuk jargon”.[9]
Sebagai penutup, seperti sudah saya
tegaskan sebelumnya bahwa ajaran Islam adalah menyeluruh. Ajaran Islam telah
secara sengaja disiapkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kini
melanda dunia modern. Namun sebagaimana kita ketahui, diferensiasi (pembedaan)
ilmu pengetahuan yang kini menjadi praktik awam dalam dunia pendidikan, telah
menyempitkan cara kita memandang berbagai persoalan kekinian. Karenanya dengan
menjadikan Islam sebagai basis filsafat untuk menghadapi dunia modern, cara
pandang dikotomis harus mulai disingkirkan, setidaknya dari umat Islam itu
sendiri. Cara berpikir atau paradigma islam –jika menurut pada terminologi
Kuntowijoyo –akan mampu untuk menjelaskan dan menyelesaikan berbagai persoalan
sosial dan lingkungan[10].
Pun demikian Capra (1981) juga telah
mewanti-wanti para akademisi atau ilmuwan untuk tak perlu khawatir dengan cara
berpikir yang holistik tersebut: “Para
ilmuwan tidak perlu enggan untuk mengambil kerangka holistik, sebagaimana yang
banyak dilakukan dewasa ini, karena takut disebut tidak ilmiah. Fisika Modern
bisa menunjukkan pada mereka bahwa kerangka semacam itu tidak hanya ilmiah
tetapi juga sesuai dengan teori-teori ilmiah yang maju tentang realitas fisik”.[11] Sehingga cara berpikir
yang elaboratif –mampu memadukan pemahaman politik, sains, ekonomi dan ilmu
lainnya –adalah wujud pemahaman terhadap hakikat ilmu yang bersifat holistik.
Cara berpikir yang demikianlah yang telah ditunjukkan oleh Islam.
Pada akhirnya ketika sains menjadi bagian
integral dari sebuah ilmu bersama dengan ilmu politik, seni, ekonomi dan ilmu
lainya, ke depan sains bukan hanya menjadi ‘balok’ indikator sebuah kemajuan,
namun juga sebagai alat kontrol bagi perkembangan dan peradaban suatu bangsa.
*Tulisan ini merupakan bahan diskusi berkala dua-mingguan MIM Indigenous School #2: Seri Integrasi Ilmu.
NB; Gambar utama diambil dari sini
[1] Purwanto, Agus., Ayat-ayat semesta,
“Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan”.,
Mizan, Bandung, 2013.
[2] http://tekno.kompas.com/read/2016/01/20/20090057/Derita.Pekerja.Anak.di.Tambang.Bahan.Baku.Smartphone
[3] Capra, Fritjof., Titik Balik
Peradaban, “Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan”., Pustaka Promethea, Bantul, 2014.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Purwanto, Agus., Ayat-ayat semesta,
“Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan”.,
Mizan, Bandung, 2013.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Kuntowijoyo., Islam Sebagai Ilmu, “Epistemologi, Metodologi, dan Etika”.,
Tiara Wacana, Sleman, 2006.
[11] Capra, Fritjof., Titik Balik
Peradaban, “Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan”., Pustaka Promethea, Bantul, 2014.
0 komentar: