Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Islam, Sains dan Masyarakat *



Apri Tri Nugroho
Pegiat MIM Indigenous School; 
Founder LIBAS (Profil)


Sains dan Perkembangannya
Penguasaan atas pengetahuan akan teknologi akan menjadi indikator bagi suatu bangsa untuk dikatakan maju atau tidak. Jikapun pernyataan tersebut ditolak, maka kita dapat berkaca pada negara-negara pemain globalisasi di kawasan Asia. Negara-negara yang dimaksud adalah India, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Malaysia.[1] Masing-masing negara tersebut begitu memperhatikan sains dan pengembangan teknologi. Maka tak perlu terkejut apabila dalam produk-produk elektronik yang digunakan dalam keseharian terdapat nama-nama negara tersebut dalam kemasannya.
Kemudian kita akan mengakui bahwa negara tersebut maju, karena penguasaannya dalam bidang sains dan teknologi.


Penguasaan dalam bidang sains dan teknologi tak hanya sebatas dalam pengembangan barang-barang elektronik semata. Amerika, Iran atau Rusia dan beberapa negara maju lainnya, karena kemampuannya dalam bidang teknologi, mereka mampu mengembangkan teknologi di bidang pengembangan nuklir. Sesuatu yang membutuhkan regulasi ketat, dan negara seperti Indonesia belum mampu memenuhinya. Namun terlepas dari berbagai penguasaan dan pengembangan terhadap sains dan teknologi, seberapa jauh manfaat dari penguasaan akan teknologi tersebut bagi kehidupan masyarakat secara luas? Pertanyaan dan sikap ini harus dijawab secara serius oleh setiap ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan sains dan teknologi.


Penemuan dan pengembangan teknologi atom pada awal abad 20 telah melahirkan bom atom yang telah meluluh lantakkan dua kota di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki) pada penghujung perang dunia ke dua. Hingga saat ini produksi akan senjata nuklir belum berhenti, umat manusia selalu dalam ancaman kepunahan akibat pengembangan teknologi oleh manusia lainnya. Dalam wilayah yang lebih familiar pun teknologi juga mempunyai dampak serius terhadap ancaman kemanusiaan. Produksi baterai smartphone yang berbahan dasar kobalt (Co) terindikasi mengakibatkan eksploitasi terhadap para pekerja usia anak di negara Kongo.[2] Dari sedikit paparan tersebut –selain menjadi indikator kemajuan suatu bangsa –teknologi menjadi penyebab dari sejumlah bencana kemanusiaan pada beberapa dekade ke belakang. Kasus tersebut belum termasuk berbagai bencana ekologi atau lingkungan yang disebabkan oleh limbah hasil pengolahan industri.


Pengembangan sains dan teknologi juga berdampak negatif, bahkan menimbulkan bencana kemanusiaan dan ekologi. Adalah suatu kenyataan yang menyakitkan, bahwa ilmuwan dan akademisi menjadi pelopor kemajuan pengembangan sains, namun di sisi lain mereka menjadi indikator kemunduran pada kualitas kemanusiaan. Sains seakan terpisah dan tidak berpihak kepada kemanusiaan. Kenyataan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas sempit yang tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar pada zaman kita.[3] Jika cara berpikir yang demikian adalah yang diajarkan pada ribuan siswa di perguruan tinggi, maka bersiaplah untuk tetap menjumpai hal yang demikian pada masa 10-20th mendatang. 


Suatu pandangan parsial (sebagian-sebagian) seperti ini harus dipahami sebagai sebuah ancaman akan masa depan kemanusiaan. Karena dari pemahaman yang tidak utuh akan mempunyai dampak jangka panjang, yaitu pandangan yang bersifat dikotomis (membedakan). Bermula dari anggapan bahwa sains terpisah dari politik dan ekonomi, dalam jangka panjang akan muncul anggapan bahwa sains berbeda dengan politik dan ekonomi. Sains tak mampu mempengaruhi suatu kebijakan politik atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sains tak mampu untuk berpihak kepada masyarakat dan kemanusiaan. Sains yang terpisah dari politik, atau bahkan malah didikte oleh politik dan ekonomi akan menjadi destruktif. Hal demikian sejalan dengan ungkapan Capra (1981):

Pemisahan antara pikiran dan materi membawa kita pada pandangan alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan semesta Cartesian semacam ini kemudian dikembagkan lebih jauh hingga pada organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin yang dibangun di atas bagian-bagian yang terpisah. Kita akan melihat bahwa konsep dunia mekanis semacam ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu kita dan tetap memiliki pengaruh yang luar biasa pada banyak aspek kehidupa kita. Konsep ini telah menimbulkan pemisahan yang begitu terkenal dalam disiplin akademik dan system pemerintahan kita dan telah berfungsi sebagai dasar pemikiran untuk memberlakukan lingkungan alam seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah untuk dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan.[4]

Bahkan menurut Capra bahwa cara pandang parsial telah terjadi sejak lama, dan berakar pada cara pandang Descartes yang mekanistis. Pemisahan-pemisahan dalam disiplin akademik pun sangat bisa kita rasakan. Entah sengaja atau tidak cara pandang yang demikian berdampak buruk pada kemanusiaan. Jika pemisahan adalah dalam kerangka membentuk ahli dalam setiap disiplin ilmu, hal ini tidak perlu diingkari. Karena setiap ahli diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah sesuai dengan spesialisasinya. Namun perlu menjadi catatan kritis apabila pemisahan di sini berdampak lebih jauh daripada sekedar spesialisasi, yaitu hingga pada penyempitan pemahaman terhadap hakikat ilmu itu sendiri yang bersifat holistik (menyeluruh). Hal yang demikian akan mengakibatkan akademisi tercerabut dari akar masyarakat, sehingga tidak lagi mampu menyelesaikan permasalahan mendesak yang muncul di tengah masyarakat, yang sebenarnya masih di dalam bidang keahlian mereka.[5] Kita harus menyadari bahwa ilmu –baik itu sains, seni, sosial atau ilmu lainnya –merupakan bagian-bagian dari entitas yang utuh. Bahkan pada kenyataannya kita akan mengetahui bahwa istilah bagian dan keseluruhan dalam pengertian yang mutlak tidak ada sama sekali.[6]



Pandangan Islam

Kesadaran terhadap ilmu yang bersifat holistik harus dimiliki oleh akademisi atau ilmuwan. Bahwa adil harus dimiliki sejak dalam pikiran, terutama dalam berilmu. Capra secara terbuka mengkritik cara berpikir mekanistis yang selama ini telah menjadi arus utama para akademisi. Dari gejala sosial hingga ekologis, Capra percaya bahwa cara berpikir mekanistis –yang menganggap bahwa alam semesta terdiri dari balok-balok parsial yang tersusun sebagai sebuah sistem –tidak relevan. Maka secara teologis buah pikiran Capra ini selaras dengan ajaran Islam, bahwa Islam adalah agama yang paripurna (sempurna). Cermati potongan Q.S. Al-Maidah:3 di bawah ini:


“…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”


Islam sebagai agama yang diridhai, pun telah disempurnakan. Karena kesempurnaan dalam ajarannya, Islam memberikan panduan yang utuh (holistik) atau mencakup keseluruhan (politik, ekonomi, bahkan sains).


Keadaan bahwa sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam tertinggal –dalam ekonomi dan sains –dibandingkan dengan negara-negara dengan penduduk non-muslim, adalah kenyataan yang harus kita terima. Hal yang demikian tentu bertentangan dengan anggapan bahwa ajaran Islam adalah paripurna. Pertanyaan sekaligus jawaban untuk menanggapi pernyataan tersebut adalah, sudahkah ajaran Islam benar-benar diamalkan oleh umatnya? Ajaran Islam adalah suatu standar pelaksanaan yang harus ditaati, apabila ingin diperoleh hasil minimal atau standar. Maka apabila didapati hasil yang di bawah standar, maka lakukan evaluasi sesuai untuk membandingkan realisasi pelaksanaan dengan petunjuk pelaksanaannya.


Sebagai ajaran yang utuh Islam juga mengatur masalah-masalah keduniaan yang berkaitan dengan sains. Hal yang demikian diindikasikan kepada banyaknya ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat yang membahas tentang alam semesta. Menurut Syaikh Jauhar Thanthawi –di dalam tafsirnya Al-Jawahir –di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah.[7] Bahkan menurut Agus Purwanto setelah melalui observasinya terhadap Al-Qur’an, terdapat 800 ayat kauniyah.[8] Kenyataan bahwa jumlah ayat kauniyah lebih banyak dari ayat-ayat fikih –yang berjumlah sekitar 150 ayat –menjelaskan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk memperhatikan fenomena atau gejala di alam semesta. Memperhatikan di sini adalah usaha untuk melakukan observasi, meneliti, mengembangkan dan memanfaatkan. Kemudaian keberadaan ayat fikih ini mengisyaratkan bahwa usaha tersebut harus dengan ‘memperhatikan’ batasan-batasan yang wajar atau tidak berlebihan, seperti pada Q.S. Al-An’am:(141)  “… dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Karena tidak boleh berlebihan maka harus ‘memperhatikan’ fenomena lain mengenai dampak aktifitas sains tersebut terhadap sosial dan ekologi. Itulah ajaran Islam yang komprehensif, berbeda dengan pandangan mekanistis yang mengakibatkan pada bencana kemanusiaan dan lingkungan.


Buah pemikiran Capra adalah ‘isyarat’ bagi akademisi dan institusi pendidikan Islam, bahwa ar ruju’ ila al-Qur’an adalah sebuah gerakan yang harus disegerakan. Merujuk kepada al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan, apabila rujukan tersebut dapat dipahami secara komprehensif. Komprehensif harus ditekankan, karena institusi ataupun instansi berlabel Islam sekalipun kini tak banyak yang benar-benar mampu melakukannya. Islam hanya sebuah label untuk memberikan nilai tambahan, semisal dalam politik ada ‘partai islam’ yang menjadikan nama label Islam sebagai komoditas politik. Ada juga sekolah Islam, guna penegasan –yang bersifat dikotomis –bahwa sekolah tersebut memiliki sistem pembelajaran Islam, padahal Islam sendiri sudah memerintahkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah, tanpa harus melabeli bahwa itu adalah sistem Islam atau bukan. Selain yang bersifat institusi seperti di atas, pelabelan Islam juga masuk ke ranah jargon atau semboyan semisal ‘Unggul dan Islami’, jargon tersebut seakan menyiratkan bahwa terdapat keunggulan yang tidak Islami, atau Islam itu sendiri tidak unggul. Hal yang saya contohkan di atas adalah berbagai bukti bahwa cara berpikir mekanistis telah menjangkit di berbagai aspek kehidupan kita. Maka terbukti benarlah pernyataan Agus Purwanto (2008): “Islam kita yakini sebagai ajaran yang komprehensif dan sempurna, tetapi kita juga yang selama ini telah mereduksi ke satu-dua aspek tertentu sehingga misi Islam yang rahmat hanya eksis dalam bentuk jargon”.[9]


Sebagai penutup, seperti sudah saya tegaskan sebelumnya bahwa ajaran Islam adalah menyeluruh. Ajaran Islam telah secara sengaja disiapkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kini melanda dunia modern. Namun sebagaimana kita ketahui, diferensiasi (pembedaan) ilmu pengetahuan yang kini menjadi praktik awam dalam dunia pendidikan, telah menyempitkan cara kita memandang berbagai persoalan kekinian. Karenanya dengan menjadikan Islam sebagai basis filsafat untuk menghadapi dunia modern, cara pandang dikotomis harus mulai disingkirkan, setidaknya dari umat Islam itu sendiri. Cara berpikir atau paradigma islam –jika menurut pada terminologi Kuntowijoyo –akan mampu untuk menjelaskan dan menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan lingkungan[10].



Pun demikian Capra (1981) juga telah mewanti-wanti para akademisi atau ilmuwan untuk tak perlu khawatir dengan cara berpikir yang holistik tersebut: “Para ilmuwan tidak perlu enggan untuk mengambil kerangka holistik, sebagaimana yang banyak dilakukan dewasa ini, karena takut disebut tidak ilmiah. Fisika Modern bisa menunjukkan pada mereka bahwa kerangka semacam itu tidak hanya ilmiah tetapi juga sesuai dengan teori-teori ilmiah yang maju tentang realitas fisik”.[11] Sehingga cara berpikir yang elaboratif –mampu memadukan pemahaman politik, sains, ekonomi dan ilmu lainnya –adalah wujud pemahaman terhadap hakikat ilmu yang bersifat holistik. Cara berpikir yang demikianlah yang telah ditunjukkan oleh Islam.



Pada akhirnya ketika sains menjadi bagian integral dari sebuah ilmu bersama dengan ilmu politik, seni, ekonomi dan ilmu lainya, ke depan sains bukan hanya menjadi ‘balok’ indikator sebuah kemajuan, namun juga sebagai alat kontrol bagi perkembangan dan peradaban suatu bangsa.


*Tulisan ini merupakan bahan diskusi berkala dua-mingguan MIM Indigenous School #2: Seri Integrasi Ilmu.

 NB; Gambar utama diambil dari sini





[1] Purwanto, Agus., Ayat-ayat semesta, “Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan”., Mizan, Bandung, 2013.

[2] http://tekno.kompas.com/read/2016/01/20/20090057/Derita.Pekerja.Anak.di.Tambang.Bahan.Baku.Smartphone

[3] Capra, Fritjof., Titik Balik Peradaban, “Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan”., Pustaka Promethea, Bantul, 2014.

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Purwanto, Agus., Ayat-ayat semesta, “Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan”., Mizan, Bandung, 2013.

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Kuntowijoyo., Islam Sebagai Ilmu, “Epistemologi, Metodologi, dan Etika”., Tiara Wacana, Sleman, 2006.


[11] Capra, Fritjof., Titik Balik Peradaban, “Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan”., Pustaka Promethea, Bantul, 2014.

0 komentar: