Perspektif IMM dalam Rekonstruksi Pemikiran Politik Muhammadiyah Abad Kedua
Oleh : Arif Widodo [2]
Menolak
upaya-upaya untuk mendirikan
Parpol yang
memakai atau menggunakan nama
atau
simbol-simbol Persyarikatan Muhammadiyah[3]
Pendahuluan
Memasuki usia
yang tidak muda lagi, Muhammadiyah telah mengalami banyak perubahan tidak hanya
dalam masalah kuantitas tapi juga dalam masalah kualitas, dalam beberapa hal.
Paruh abad pertama Muhammadiyah dengan sangat gemilang telah menjadi salah satu
organisasi social-kemasyarakatan yang banyak “membantu” peran Negara dalam
mencerdaskan dan meningkatkan harkat-martabat, kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat Indonesia. Melalui sekolah, kelompok bermain hingga Perguruan Tinggi
(baik Sekolah Tinggi maupun Universitas) yang tersebar di seluruh penjuru
Nusantara, Muhammadiyah turut membayar hutang-hutang kemerdekaan Republik ini.
Tidak hanya itu, rumah sakit dan balai-balai pengobatan Muhammadiyah juga
menjamur di segala tempat begitu halnya dengan panti-panti asuhan Muhammadiyah
dan ‘Aisyiyah. Akhirnya, banyak orang sekarang menyebut ketiga peran penting
itu dengan istilah schooling, healing dan feeding. Itulah yang penulis
sebut peran Muhammadiyah sebagai gerakan civil society; yang
memposisikan dirinya di luar Negara dan Pasar. Dalam posisi inilah Muhammadiyah
bertahan hingga satu abad, meskipun dalam babakan sejarahnya, organisasi ini
pernah beberapa kali, baik secara formal-organisatoris maupun personal, menjadi
bagian dari Partai Politik.[4]
Membuka abad
Kedua Muhammadiyah, banyak kalangan intern Muhammadiyah mulai memberikan
saran dan masukan bagi Muhammadiyah dalam berbagai ranah; dari hal pemikiran
sampai ke wilayah kekuasaan (real politics). Kita akan membatasi bahasan
dalam wilayah Politik. Telah banyak seminar dan workshop yang diadakan dalam
rangka menampung dan mensosialisasikan gagasan politik Muhammadiyah di abad
Kedua ini. Banyak kalangan Muhammadiyah, baik yang sudah terjun ke gelanggang real
politics atau bahkan akademisi, yang ingin merumuskan peimikiran politik
Muhammadiyah abad Kedua. Hal itu tentu saja dilatar belakangi oleh absennya
Muhammadiyah dalam mengisi kursi-kursi kekuasaan—paling tidak sepuluh tahun
terkahir ini.
Islam
Berkemajuan yang akan dibawa Muhammadiyah di Abad Keduanya ini mempunyai
dimensi gerak yang maju, progress di semua bidang kehidupan. Karena
muhammadiyah memandang Islam sebagai دين التنوير agama yang mencerahkan; memberikan cahaya. Maka,
cahaya yang mampu memberikan penerangan ke tempat yang gelap gulita, meskipun
melalui lubang yang amat kecil. Hal semacam itulah yang seharusnya dilakukan
Muhammdiyah dalam bidang politik, yang notabene-nya adalah tempat yang penuh dzulumat.
Sampai pada titik ini, tulisan ini berusaha untuk melihat hubungan
Muhammadiyah dengan Politik, sejak masa awal berdirinya hingga tahun-tahun
selanjutnya. Bagaimana hubungan Muhammdiyah dengan politik praktis di masa
lalu? Apa pola yang digunakan Muhammadiyah dalam hubungannya dengan politik?
Bagaimana strategi Muhammadiyah dalam merumuskannya hubungannya dengan politik
di Abad Kedua?
Hubungan
Muhammadiyah dan Politik: tinjauan historis
Politik,
sebagaimana didefinisikan oleh Giddens adalah “the means whereby power is
used to affect the scope and content of governmental activities…..concept and
the sphere of the ‘political’ may range well beyond that of government itself”.[5]
Dari penejelasan politik menurut Giddens paling tidak ada dua hal yang menjadi
point: pertama bahwa politik merupakan kekuatan untuk mempengaruhi
kegiatan pemerintahan dan kedua, politik juga berhubungan dengan
kegiatan kelompok-kelompok di luar pemerintahan.
Mengenai
hubungan Muhammadiyah dengan politik, dalam hal ini adalah low politics—dalam
istilah Amien Rais, ternyata mempunyai sejarah yang dinamis. Karena beberapa
kali Muhammadiyah pernah menjadi anggota istimewa Masyumi dan bahkan pernah
menjadi motor pendiri dari partai Parmusi, yang memnag pada akhirnya sejarah
telah membuktikan Muhammadiyah banyak menelan pil pahit dengan dunia politik
praktis. Maka, tidak heran sebagian besar warga Muhammadiyah bahkan Pimpinan
(pusat hingg ranting) yang ‘trauma’ dengan politik. Politik praktis selalu
dianggap negative, kotor, najis dsb., hal itu tidak bisa lepas dari kenangan
pahit di masa lalu, yang secara ringkas akan dibahas dalam tulisan ini.
Haedar Nashir
menggambarkan bahwa Muhammadiyah mempunyai paradoks dalam hubungannya dengan
politik bisa dilihat dari dokumen resmi Muhammadiyah[6]:
Kepribadian Muhammadiyah yang menyatakan bahwa “Muhammadiyah tidak buta
politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik….”[7],
satu sisi Muhammadiyah adalah gerakan social-keagamaan non-politik tapi pernah
juga bergumul dengan politik, sangat paradoks. Meskipun demikian, seyogyanya
kita tinjau juga latar belakang sosiologis dari situasi yang paradoks itu.
Lebih lanjut, Nashir dalam Dinamika Politik Muhammadiyah (2006)
menjelaskan dengan baik perihal hubungan multivariasi Muhammadiyah dengan
politik yang dibagi menjadi tiga:[8]
Pertama, hubungan formal dan langsung. Hubungan ini diartikan
sebagai hubungan antara Muhammadiyah secara formal-organisatoris dan hubungan
langsung, dimana Muhammadiyah terlibat dalam aktivitas konkret politik. Sejarah
telat mencatat bahwa pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
pada 7 November 1945 di Yogyakarta tidak bisa lepas dari peran langsung
Muhammadiyah di dalamnya sebagai pilar dan anggota istimewanya. Oleh sebab itu,
barangkali alasa mengapa Muhammadiyah tetap setia dengan Masyumi meskipun
golongan yang lain, pada waktu itu, mulai keluar, sebut saja Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) dan NU. Namun, kesetiaan itu harus putus bersamaan dengan
bubarnya Masyumi. Tidak bisa dipungkiri, peran kader Muhammadiyah pada masa ini
sangat terasa, baik di kursi pimpinan Masyumi maupun di berbagai posisi dalam
cabinet pemerintahan. Tokoh Muhammadiyah seperti KH Faqih Usman, Mr H Kasmat,
A.R Sutan Mansur, K.R.H Hadjid dan masih ada beberapa nama lagi yang duduk
dalam posisi elit. Kalau dibandingkan dengan masa sekarang ini, tentu sangat
berbeda. Karena strategi politiknya pun jauh berbeda.
Kedua, hubungan personal dan tidak langsung. Hubungan ini
ditandai dengan adanya tokoh-tokoh pucuk Muhammadiyah yang dengan dukungan dari
anggotanya ikut membidani dalam melahirkan partai politik tertentu, hubungan
ini tidak langsung secara organisatoris. Misalnya pada periode awal organisasi
ini, KH Ahmad Dahlan mempunyai hubungan yang dekat dengan Sarekat Islam yang
merupakan gerakan politik, yang pada 1924 berubah menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), yang karena ketegangan kepentingan antara keduanya hubungan
Muhammadiyah putus. Selain KH Ahmad Dahlan ada pula KH Mas Mansur yang tidak
bisa dilepaskan dari pembentukan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Partai
Islam Indonesia (PII) bersama KH Wahab Hasbullah, persitiwa ini terjadi tahun
1937-8. Begitu juga kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang
merupakan hasil lobi KH Ahmad Badawi kepada presiden Soeharto waktu itu, tidak
boleh menghidupkan Masyumi tapi menyarankan membetuk partai baru pada7 April
1967. Meskipun akhirnya Parmusi adalah eksperimen politik yang gagal, karena
tidak mampu berkembang menjadi partai politik alternative di masanya.
Satu tokoh lagi
yang masuk dalam hubungan muhammadiyah dengan politik secara personal ini
adalah Amien Rais. Pada tahun 1998 yang bertepatan dengan momentum reformasi,
Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), meskipun dalam pendirian itu
terdapat perdebatan yang dinamis sesama anggota Muhamadiyah; apakah PAN
merupakan hasil ijtihad politik Muhammadiyah atau memang hasil usaha
personal seorang Amien Rais. Singkat kata, Amien akhirnya lepas dari Ketua Umum
PP Muhammadiyah dan memilih beruang di partai yang didirikan oleh banyak
aktivis Muhammadiyah itu. Namun, sama seperti Parmusi, PAN tidak begitu
berhasil dalam pemilihan umum, karena berada di bawah PDI, PPP, PKB.
Hubungan ketiga,
hubungan netral yang lebih murni. Setelah melihat dua hubungan sebelumnya
yang cenderung sangat dekat dengan politik, hubungan netral inilah yang menjadi
pijakan Muhammadiyah selanjutnya; hubungan yang “menjaga jarak” dengan partai
politik dan lebih menfokuskan geraknya ke ranah social-kemanusiaan. Kebijakan
untuk menjaga jarak dari parpol atau netral ini diresmikan dalam pada
mukatamar ke 38 tahun 1971 di Ujung Pandang dengan menuliskan khittah yang
menyatakan bahwa Muhammadiyah: “….tidak mempunyai hubungan organisatoris dan
tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau orgniasasi manapun”.[9]
Realita Politik
Kekinian: civil society, interest group dan pressure group
Sejarah
Muhammadiyah dengan partai politik yang penuh haru-biru itu akhirnya menjadikan
Muhammadiyah belajar akan rumitnya jika organisasi harus melebur-berjibaku ke
dalam riel politics. Ada ungkapan-uangkapan yang sering dikatakan oleh
pimpinan Persyarikatan yang berkitan dengan parpol: “menjaga jarak yang sama”,
artinya Muhammadiyah berada ‘jauh’ dan tidak masuk dalam parpol tertentu,
“menjaga kedekatan yang sama”, pernyataan yang membingungkan, bagaimana bentuk
kedekatannya, pola komunikasinya dsb. Ada satu ungkapan yang agaknya sangat
menarik, yaitu “mendirikan amal usaha politik” tentu ini banyak menimbulkan
kontroversi dan perdebatan. Politik akan disejajarkan dengan amal usahanya yang
lain seperti pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.[10]
Lepas dari
perdebatan mengenai ungkapan-ungkapan itu, Muhammadiyah saat ini absen dari
panggung politik Nasional, sejak dari pemerintahan SBY (periode pertama dan
kedua) ditambah lagi dengan cabinet Jokowi-JK yang tidak satupu menterinya
berasal dari warga (anggota) Muhammadiyah. Apa posisi Muhammadiyah? Dalam
kaitannya dengan realita sekarang ini, menarik untuk menyimak pernyataan yang
optimis dari Ayumardi Azra dalam Seminar Pra-Mukatamar ke 47 di UMY, menyatakan
bahwa Muhammadiyah sebaiknya tetap menjadi civil society dan interest
group untuk tetap bisa menjadi kekuatan moral dan penekan kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi. Di sini Muhammadiyah bersikap
akomodatif terhadap Negara, artinya tetap menerima Negara tetapi dalam
kebijakan tertentu sangat keras (seperti tercermin dalam Jihad Konstitusi).
Lebih lanjut Azra menambahkan bahwa peran Muhammadiyah sebagai non-state
actor—meminjam istilah Azra, telah membantu dan menjadi tulang punggung Negara
dalam berbagai bidang baik keagamaan maupun kemasyarakatan.[11]
Inilah yang dimaksud sebagai civil society a la Muhamadiyah yang
telah dilakukannya sejak berdiri hingga abad kedua ini.
Baru-baru ini
ada istilah Trisula Baru Muhammadiyah, yang terermin dalam MDMC, MPM dan
LAZISMU sebagai kekuatan social-kemanusiaan Muhammadiyah abad kedua. Sedangkan feeding,
schooling dan healing dimasukkan dalam Trisula lama. Keluar dari
kategori-kategori itu, bagaimanapun Muhammadiyah telah menjadi sebuah kekuatan
social yang patut diperhitugnkan. Dengan segala bentuk pengabdian yang telah
dijalankan, Muhammadiyah bisa menjadi interest group; kelompok
kepentingan dalam memajukan mutu amal usaha Muhammadiyah, SDM dan lembaga
kemanusiaan lain. Interest group lebih dominan untuk membela
kepentingannya sendiri, meskipun tidak secara langsung akan berdampak kepada
masyarakat luas, sedangkan Muhammadiyah juga perlu untuk membela masyarakat
luas dengan memposisikan dari sebagai Pressure group yang cukup
diperhitungkan. Jihad konstitusi yang menjadi gerakan Muhammadiyah dalam
posisinya sebagai kelompok penekan.
Strategi
Politik Berkemajuan: Perspektif IMM
Sebelum
membicarakan startegi, ada persoalan penting yang menjadi perlu diperhatikan
untuk memahami kehidupan politik yang rasional, paling tidak ada hal yang harus
dilakukan sebagai modal Muhammadiyah dalam merumuskan strategi politik abad
kedua. Pertama, bebasnya Muhammadiyah dari mistifikasi politik,[12]
seperti yang terjadi pada Sarekat Islam dan Partai Kebangkitan Bangsa. Bukan
untuk menyamaratakan Muhammadiyah dengan parpol, hanya ingin menggaris-bawahi
bahwa sepanjang Muhammadiyah mesra dengan politik praktis tidak pernah
“tertular” mistifikasi politik. Mistifikasi politik bisa diartikan menjadikan
politik sebagai semacam daya mistis yang diimani, seperti kasus “Ratu Adil”
yang disematkan pada HOS Cokroaminoto ketika memimpin Sarekat Islam (SI), bisa
juga terwujud dalam a patron-clients politics yang dulu pernah terjadi
di NU. Muhammadiyah, sejauh ini tidak pernah secara organisatoris
menjalankan—apa yang disebut Kunto, sebagai mistifikasi politik, tetapi lebih
mengedepankan rasionalitas dan (seharusnya) juga objektivikasi.
Kedua, objektivikasi,
“the act of objectifying”berlaku secara objektif.[13]
Artinya, dalam perdebatan Islam sebagai ideology atau nilai substansial, itu
haruslah dilihat melalui objektivikasi, sehingga tidak lagi berdebat
panjang mengenai Politik Islam vis a vis sekuler, Negara islam vs Negara
sekuler, dengan begitu bisa memahami lebih dalam mengenai realitas ke-Partaian,
bahwa partai juga merupakan gejala objektif.[14]
Memasuki abad
kedua Muhammadiyah tidak mungkin bisa terhindari dari kekuatan politk prakris
yang akan mendekat, paling tidak hal ini dirasakan hanya, dan hanya jika kita
berada di puncak tampun Pimpinan Muhammadiyah. Maka, perlu sekali untuk
mencermati strategi politik yang harus dibuat Muhammadiyah. Sebagai organisasi
kader, Muhammadiyah juga membebaskan kader-kader potensialnya untuk masuk dalam
parpol manapun dengan berlatar belakang ideology mana pun, agar mampu menyuarakan
aspirasi ummat Islam. Namun, ada hal yang harus dijawab Muhammadoyah, bagaimana
jika kader tersebut membutuhkan dukungan dari Muhammadiyah, apa masih akan
tetap netral? Pertanyaan yang sulit untuk dipecahkan.
Belajar dari
berbagai pengalaman yang telah lalu, maka paling tidak ada beberapa strategi
yang harus diajukan IMM dalam membangun strategi politik Muhammadiyah ke depan.
Pertama, strategi structural. Startegi ini lebih diarahkan kepada
pendidikan kader potensialnya yang concern dalam politik praktik. Setahu
penulis, ada PTM yang mendidik kader-kadernya mulai dini untuk dipersiapkan
menjadi politisi bermoral, kalau tidak salah UMM. Ini salah satu taktik, untuk
memasukkan kader dalam berbagai lini structural pemerintahan, komisi dan
lembaga tinggi Negara. Tentu saja, dengan waktu yang tidak singkat. Posisi
structural penting perlu dikuasai dalam rangka ber-amar ma’ruf nahi munkar melalui
struktur pemerintahan langsung,. Seperti yang sudah dan sedang dilakukan oleh
saudara kita di Nahdhatul ‘Ulama. Strategi ini tidak mengahruskan Muhammadiyah
untuk membetuk parpol, hanya saja perlu melakukan pendidikan politik, bisa
dilakukan melalui PTM di seluruh Indonesia. Startegi ini lebih bersifat jangka
pendek, meskipun prosesnya tidak pendek.
Kedua, strategi cultural. Kata kunci dari strategi ini adalah moral
force. Artinya, pekerjaan yang telah lama berhasil dikerjakan Muhammadiyah
melalui amal usahanya harus ditingkatkan dan dikembangkan lahan garapnya. Dalam
strategi ini, selain Muhammadiyah melanjutkan misis kemanusiaan, strategi ini
juga bertujuan merubah paradigm dari dalam mengenai pandangan terhadap politik
praktis, akibat dari sejarah masa lalu yang kelam, seperti sudah dijelaskan di
muka. Merubah pandangan warga Muhammadiyah terhadap politik harus dilakukan
dengan cultural, dengan rasionalisasi, bukan pemaksaan politik yang pragmatis.
Ketika
Muhammadiyah tidak ada yang duduk di kursi pemerintahan, banyak warga yang
mengeluh “mengapa kader Muhammdiyah tidak ada satupun yang jadi DPR, DPRD
dst?”. Adanya ungkapan itu juga karena banyak warga Muhammadiyah yang malah
tidak memilih kadernya sendiri, dengan berbagai alasan, salah satunya;
menganggap kader yang masuk politik tidak lagi bisa dipercaya dan pandangan
negative lainnya. Paradoks? Ya, karena di satu sisi mereka menginginkan ada
kader yang masuk ke dalam kekuasaan tapi sisi lain enggan memberikan suaranya.
Hal ini tentu saja, membutuhkan penyadaran cultural kepada warga
Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya.
Ketiga, Stategi mobilitas social, menjadi kerangka jangka
panjang, yang bertujuan supaya ummat Islam naik dalam tangga social. Dilakukan
dengan pendidikan Sumber Daya Manusia yang mumpuni, sehingga secara individu
maupun kolektif ummat Islam terangkat. Hal ini seiring dengan tafsir bahwa
politik Muhammadiyah tidak hanya memahami politik sebagai politik praktis (real
politics; low politics) saja, tetapi juga politik adi-luhung; high
politics.
Dalam strategi
mobilitas social ini juga membuka kesempatan bagi semua kader Aisyiyah untuk
memberikan kontribusi yang positif dalam kancah politik. Hal ini tentu saja
sesuai dengan kapasitas dan capability yang bersangkutan, bukan hanya untuk
mengisi 30 persen porsi perempuan. Peningkatan kelas social dalam hal ini juga
harus diperuntukkan kepada semua perempuan, agar ‘keserasian’ dalam berpolitik
juga dapat terwujud. Dan, harus menjauhkan dari women’s objectification (bukan
objektivikasi ala Kunto), yang memandang perempuan hanya sebatas objek, lebih
tepanya body , tubuhnya.[15]
Pemenuhan Porsi 30 persen yang dipaksakan, tidak berbeda dengan women’s
objectification tadi karena hanya menjadikan perempuan “alat” untuk
memenuhi kuota. Wallahu A’lam Bis-shawab
[1] Disampaikan
dalam acara Darul Arqam Madya (DAM) yang diselenggarakan PC IMM Abdul Rozaq
Fakhrudin Kota Yogyakarta, Rabu 9 September 2015 di Pondok Pemuda Ambarbinagun,
Kasihan, Bantul.
[3] Lihat PP Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah:
Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-45 di Malang, (Yogyakarta: PP
Muhammadiyah, 2005), hal. 9.
[4] Lebih jauh lihat Deliar Noer, Partai Islam Di
Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, (Bandung:
Penerbit Mizan, 2000).
[9] Isi lengkap dari Khittah Muhammadiyah pada
Muktamar ke -38 adalah: (1) Muhamadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal
dengan segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik
atau organisai manapun; (2) setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak
asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak
menyimpang dari Anggararan Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah”.
[10] Lihat misalnya tulisan Hajriyanto Y Thohari,
“Meletakkan Muhammadiyah dalam Dinamika Politik: Upaya Merumuskan Kembali
Ijtihad Politik Muhammadiyah”, dan Bahtiar Effendy, “Lingkungan Sejarah dan
Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah” hal. 10-11. Makalah ini disampaikan
dalam Seminar Nasional “Muhammadiyah Civil Society dan Negara: Arah Pemikiran
dan Gerakan Abad Kedua, yang diselenggarakan Panitia Muktamar Muhammadiyah
ke-47, 25 April 2015, di UMY.
[11] Azyumardi Azra, ”Muhammadiyah, Civil Society dan
Politik”, Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Muhammadiyah Civil
Society dan Negara: Arah Pemikiran dan Gerakan Abad Kedua, yang diselenggarakan
Panitia Muktamar Muhammadiyah ke-47, 25 April 2015, di UMY.
[12] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama,
Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung:
Penerbit Mizan, 2001), hal. 343-8.
[13] Ibid., hal 301. Kunto membedakan ekternalisasi
dengan objektivikasi, yang pertama berkaitan dengan pengamalan keyakinan seseorang
menjadi usaha kongkret, karena perintah agama. Sedangkan yang terakhir,
perintah agama yang sudah di-kongkret-kan dengan amalan tsb bisa memberi mashlahah
bagi manusia apapun agamanya.
[14] Lihat penjelasan lebih lanjut Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hal. 76.
[15] Lihat Shaista
Malik, “Women’s Objectification by Consumer Culture”, International Journal
of Gender and Women’s Studies, Vol. 2, No. 4, Desember 2014, p. 88. Objectification
bisa berupa “…treating a person as a tool for someone else’s purposes”, p.
90.
Sumber: repost dari blog penulis (klik)
Sumber: repost dari blog penulis (klik)
0 komentar: