Menggugat Tuan Presiden
Catatan Kurir Surat
Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar
suara ini
Suara yang keluar
dari dalam goa
Goa yang penuh lumut
kebosanan
Walau hidup adalah
permainan
Walau hidup adalah
hiburan
Tetapi kami tak mau
dipermainkan
Dan kami juga bukan
hiburan
Turunkan harga
secepatnya
Berikan kami
pekerjaan
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia
setengah dewa
Masalah moral masalah
akhlak
Biar kami cari
sendiri
Urus saja moralmu
urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat
yang kami mau
Tegakkan hukum
setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak
pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia
setengah dewa
Lagu “Manusia Setengah Dewa” yang
dinyanyikan oleh Iwan Fals (2004) diatas merupakan salah satu ekspresi
masyarakat dalam mengungkapkan isi hatinya sebagai warga negara. Bentuk
ekspresi sebagai ungkapan hati untuk mewakilkan perasaan yang menggelayut dalam
bathin dengan cara ekspresif terasa lebih jujur dan apa adanya. Barangkali,
dengan ragam ekspresi masyarakat dalam mengutarakan pendapat (aspirasi) tidak
perlu dipendam, apalagi dibungkam—dengan alasan represif. Padahal dengan adanya
ragam ruang ekspresi senantiasa memberi check and balances
masyarakat dalam menyikapi tiap kebijakan pemerintah. Selain itu, cara-cara
ekspresif yang ditempuh masyarakat harus tetap membangun kinerja
pemerintah—tidak serampangan. Begitu pula dengan pemerintah yang tidak perlu
alergi dan panas kuping dengan adanya kritik.
Dalam konteks ini—dengan meminjam
istilah Manusia Setengah Dewa lagu Iwan Fals diatas. Tentu saja akan
dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dimana sebagian besar rakyat
memberikan espektasi yang juga cukup besar dalam berbagai dimensi bernegara,
sebagaimana tergambar dalam proses Pilpres yang telah berlangsung beberapa
bulan lalu. Melalui sosok seorang Jokowi, sebagian besar rakyat semacam
menemukan oase sosok pemimpin yang dinantikan selama ini. Sekalipun, pada tahap
tertentu menciptakan fanatisme yang berlebihan akibat espektasi berlebihan
tersebut. Sehingga tidak perlu dikritik atau bahkan diingatkan—untuk sama-sama
saling menyadarkan diri. Maka, memposisikan diri sebagai rakyat yang
tercerahkan melalui ragam ekspresi saling mendukung menjadi hal mendesak.
Artinya, tidak berlebihan dalam euphoria kesosokan—yang pada akhirnya
menghadirkan kekultusan struktural tanpa cela.
Nah! Pada titik ini diperlukan
kesadaran masing-masing pihak. Mereka yang masih istiqomah menjadi pendukung
dan mereka yang pernah kontra dengan sosok tuan Presiden. Sudah saatnya
merapatkan barisan untuk sama-sama berkontribusi sebagai bagian dari proses
berbangsa dan bernegara. Upaya diri lebih sadar dalam berproses tersebut—mau
tidak mau harus meleburkan sisa status diri, baik secara pribadi dan kelompok.
Maksudnya, tidak menjadikan tuan Presiden sebagai manusia setengah dewa yang
serba bisa adalah bentuk persaksian peleburan diri yang seutuhnya. Karena, bisa
jadi kebijakan tuan Presiden tidak selamanya direspon positif oleh publik—yang
kadang agak gagap menerima kenyataan yang tidak sama, sebagaimana tergambar
dalam demontrasi kenaikan harga BBM kemarin. Atau mungkin kelegaan publik
ketika mendengar sikap Mendikbud yang memberhentikan pemberlakukan Kurikulum
2013—yang disambut suka cita oleh para guru, sekolah, siswa dan masyarakat
secara umum. Itulah yang barangkali—yang harus dijawab bersama bahwa tidak
selama tuan Presiden menjadi manusia setengah dewa.
Segala bentuk dinamika ini dapat
diistilahkan sebagai bagian dari “proses menjadi”. Ya! dianggap
“proses menjadi” karena kadang-kadang kita harus dihadapkan dengan realita yang
hampir nyaris tidak sama. Proses menjadi ini tidak bisa dimaknai secara sepihak
seperti: benar-salah, hitam-putih, menang-kalah atau bahkan aku-kamu. Tetapi
proses menjadi adalah menuntut partisipasi dan kerjasama—sebab disanalah semua
akan menemukan banyak warna yang alat ukurnya adalah kontribusi kita sendiri.
Proses menjadi itu adalah “kita”—yang mampu berperan aktif dalam menyelesaikan
berbagai persoalan kebangsaan. Yang bisa jadi tidak bisa diselesaikan sendirian
oleh sosok yang dianggap manusia setengah dewa yakni tuan Presiden.
Hadirnya buku Menggugat Tuan Presiden
ini merupakan salah satu ekspresi untuk saling mengingatkan sesama anak bangsa.
Mungkin lebih tepatnya relasi suara bathin antara rakyat dengan pemimpinnya.
Sebuah bentuk komunikasi yang ingin dihadirkan secara lebih jujur—melalui karya
kreatif yang bisa jadi tidak banyak dilakukan oleh masyarakat mahasiswa secara
kolektif. Dan mungkin juga bisa dibilang sebuah bentuk penuangan gugatan
perasaan yang sudah tidak bisa lagi dipendam sendirian terhadap sosok yang
dicintai—sebagaimana lazim dilakukan oleh anak yang baru mengenal cinta monyet.
Selain itu, buku ini bermula dari bagian proses kuliah yang kurir ampu dalam
mata kuliah “Aplikasi Komputer Pendidikan” Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Anjar Nugroho, S.Ag., M.S.I. selaku Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah berkenan memberikan prolog. Bapak Ibnu Hasan, S.Ag., M.S.I. Dekan FAI UMP yang memberi banyak dorongan motivasi kerja kreatif mahasiswa. Seluruh civitas akademika Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto keluarga dimana para mahasiswa dalam buku ini bernaung. Serta MIM Indigenous School-Rangkang Education yang telah berkenan membantu penerbitan buku ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Anjar Nugroho, S.Ag., M.S.I. selaku Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah berkenan memberikan prolog. Bapak Ibnu Hasan, S.Ag., M.S.I. Dekan FAI UMP yang memberi banyak dorongan motivasi kerja kreatif mahasiswa. Seluruh civitas akademika Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto keluarga dimana para mahasiswa dalam buku ini bernaung. Serta MIM Indigenous School-Rangkang Education yang telah berkenan membantu penerbitan buku ini.
Makhrus
Ahmadi
0 komentar: