Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Menggugat Tuan Presiden



Catatan Kurir Surat
Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan
Walau hidup adalah permainan
Walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan
Dan kami juga bukan hiburan

Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Lagu “Manusia Setengah Dewa” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals (2004) diatas merupakan salah satu ekspresi masyarakat dalam mengungkapkan isi hatinya sebagai warga negara. Bentuk ekspresi sebagai ungkapan hati untuk mewakilkan perasaan yang menggelayut dalam bathin dengan cara ekspresif terasa lebih jujur dan apa adanya. Barangkali, dengan ragam ekspresi masyarakat dalam mengutarakan pendapat (aspirasi) tidak perlu dipendam, apalagi dibungkam—dengan alasan represif. Padahal dengan adanya ragam ruang ekspresi senantiasa memberi check and balances masyarakat dalam menyikapi tiap kebijakan pemerintah. Selain itu, cara-cara ekspresif yang ditempuh masyarakat harus tetap membangun kinerja pemerintah—tidak serampangan. Begitu pula dengan pemerintah yang tidak perlu alergi dan panas kuping dengan adanya kritik.  
Dalam konteks ini—dengan meminjam istilah Manusia Setengah Dewa lagu Iwan Fals diatas. Tentu saja akan dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dimana sebagian besar rakyat memberikan espektasi yang juga cukup besar dalam berbagai dimensi bernegara, sebagaimana tergambar dalam proses Pilpres yang telah berlangsung beberapa bulan lalu. Melalui sosok seorang Jokowi, sebagian besar rakyat semacam menemukan oase sosok pemimpin yang dinantikan selama ini. Sekalipun, pada tahap tertentu menciptakan fanatisme yang berlebihan akibat espektasi berlebihan tersebut. Sehingga tidak perlu dikritik atau bahkan diingatkan—untuk sama-sama saling menyadarkan diri. Maka, memposisikan diri sebagai rakyat yang tercerahkan melalui ragam ekspresi saling mendukung menjadi hal mendesak. Artinya, tidak berlebihan dalam euphoria kesosokan—yang pada akhirnya menghadirkan kekultusan struktural tanpa cela.
Nah! Pada titik ini diperlukan kesadaran masing-masing pihak. Mereka yang masih istiqomah menjadi pendukung dan mereka yang pernah kontra dengan sosok tuan Presiden. Sudah saatnya merapatkan barisan untuk sama-sama berkontribusi sebagai bagian dari proses berbangsa dan bernegara. Upaya diri lebih sadar dalam berproses tersebut—mau tidak mau harus meleburkan sisa status diri, baik secara pribadi dan kelompok. Maksudnya, tidak menjadikan tuan Presiden sebagai manusia setengah dewa yang serba bisa adalah bentuk persaksian peleburan diri yang seutuhnya. Karena, bisa jadi kebijakan tuan Presiden tidak selamanya direspon positif oleh publik—yang kadang agak gagap menerima kenyataan yang tidak sama, sebagaimana tergambar dalam demontrasi kenaikan harga BBM kemarin. Atau mungkin kelegaan publik ketika mendengar sikap Mendikbud yang memberhentikan pemberlakukan Kurikulum 2013—yang disambut suka cita oleh para guru, sekolah, siswa dan masyarakat secara umum. Itulah yang barangkali—yang harus dijawab bersama bahwa tidak selama tuan Presiden menjadi manusia setengah dewa.
Segala bentuk dinamika ini dapat diistilahkan sebagai bagian dari “proses menjadi”. Ya! dianggap “proses menjadi” karena kadang-kadang kita harus dihadapkan dengan realita yang hampir nyaris tidak sama. Proses menjadi ini tidak bisa dimaknai secara sepihak seperti: benar-salah, hitam-putih, menang-kalah atau bahkan aku-kamu. Tetapi proses menjadi adalah menuntut partisipasi dan kerjasama—sebab disanalah semua akan menemukan banyak warna yang alat ukurnya adalah kontribusi kita sendiri. Proses menjadi itu adalah “kita”—yang mampu berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan. Yang bisa jadi tidak bisa diselesaikan sendirian oleh sosok yang dianggap manusia setengah dewa yakni tuan Presiden.  
Hadirnya buku Menggugat Tuan Presiden ini merupakan salah satu ekspresi untuk saling mengingatkan sesama anak bangsa. Mungkin lebih tepatnya relasi suara bathin antara rakyat dengan pemimpinnya. Sebuah bentuk komunikasi yang ingin dihadirkan secara lebih jujur—melalui karya kreatif yang bisa jadi tidak banyak dilakukan oleh masyarakat mahasiswa secara kolektif. Dan mungkin juga bisa dibilang sebuah bentuk penuangan gugatan perasaan yang sudah tidak bisa lagi dipendam sendirian terhadap sosok yang dicintai—sebagaimana lazim dilakukan oleh anak yang baru mengenal cinta monyet. Selain itu, buku ini bermula dari bagian proses kuliah yang kurir ampu dalam mata kuliah “Aplikasi Komputer Pendidikan” Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto.  

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Anjar Nugroho, S.Ag., M.S.I. selaku Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah berkenan memberikan prolog. Bapak Ibnu Hasan, S.Ag., M.S.I. Dekan FAI UMP yang memberi banyak dorongan motivasi kerja kreatif mahasiswa. Seluruh civitas akademika Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto keluarga dimana para mahasiswa dalam buku ini bernaung. Serta MIM Indigenous School-Rangkang Education yang telah berkenan membantu penerbitan buku ini. 
Makhrus Ahmadi
Twitter : @cakmakrus

Sumber : Tulisan ini kami repost dari blog Makhrus Ahmadi (editor buku ini)


0 komentar: