Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya sebagai Masyarakat Islam yang Berkemajuan
Rijal Ramdani*)
Diskusi
mengenai konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagai padanan lain yang
dianggap tepat untuk menuju masyarakat Islam berkemajuan, merupakan sesuatu
yang sangat menarik; atas dasar beberapa alasan. Pertama, gagasan mengenai
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya merupakan inti dari cita-cita peruangan
Muhammadiyah yang dirasa masih begitu abstrak, sulit untuk mewujud dalam
kehidupan yang senyatanya. Kedua, karena saking abtraksnya para cendikiawan
muslim pun, baik di internal maupun di luar Muhammadiyah, satu sama lain
memiliki tafsiran yang berbeda terhadap konsepsi masyarakat Islam yang
sebanar-benarnya tersebut. Dan Ketiga, yang paling menggelisahkan, di internal
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sendiri belum memiliki konspsi tentang
masyarakat, sehingga fokus gerakan lebih pada pembentukan kalakter kader
sebagai akademisi muslim yang berakhlak mulia, padahal gagasan tentang
masyarakat yang ideal merupakan titik pembeda antara gerakan sosial (Social
Movement Ogranization) dengan kelompok kepentingan (Interest Group) dan Partai Politik (Political Party) (Thomas,
2004).
Masyarakat Islam Ideal
Secara
kebahasaan ada beberapa istilah yang digunakan di dalam bahasa arab untuk
menyebut masyarakat, hanya saja yang paling popular adalah kata Ummah sehingga tidak kurang dari 49 kali kata
Ummah tersebut disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dengan merujuk pada penjelasan
secara kebahasaan, dapatlah diambil makna bahwa yang dimaksud dengan Ummah
adalah suatu komunitas masyarakat yang hidup secara teratur, memliki tujuan dan
aturan main bersama untuk menjaga keterarutan dan tujuannya tersebut (Markus.
et.all, 2009: 12).
Mayoritas
cendikiawan muslim merefer konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya ke
dalam bentuk masyarakat Madinah di zaman Rasulullah SAW; dengan argumentasi
bahwa masyarakat Madinah merupakan masyarakat ideal yang pernah ada di dalam
sejarah umat manusia sehingga dikenal dengan khaira ummah. Seperti misalkan
pendapat yang disampaikan M. Yunan Yusuf (dalam, Nashir, 2010: 330) dimana
baginya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah apabila Individu-individunya
utama, sadar akan keberadaannya sebagai abdullah dan kedudukannya sebagai
khalifatullah. Di sisi lain sistem dan tatanan sosial yang dinaungi oleh hukum
Allah, serta budaya yang dikembangkan kondusif bagi terwujudya kehidupan yang
aman, adil dan makmur, baik secara materil dan spiritual. Hukum-hukum tersebut
baik yang sifatnya taklifi berlaku bagi individu per individu dalam hubungan
ubudiyyahnya dengan Allah SWT maupun wadhy yaitu hukum yang mengatur hubungan
antar sesama manusia ketika terjadi interaksi antar satu dengan yang lainnya
(Zahrah, 2002).
Ahmad
Salaby (dalam Nashir, 2010: 331-332) memberikan perbandingkan bagaimana
keutamaan masyarakat Islam di masa Rasulallah dibandingkan dengan kondisi
masyarakat di masa Jahiliyah. Dengan bahasa yang begitu indah Ahmad Salaby
mengungkapkan bahwa di masa Jahilayah kondisi masyarakat itu senang
mabuk-mabukan dan makan bangkai, senang melakukan zinah; dimana Satu perempuan
bisa disetubuhi secara beramai-rama, masyarakat hidup dengan tanpa hukum; siapa
yang kuat yang dapat dan menang, individu yang lemah pun diperbud, kaum
perempuan direndahkan martabatnya sebagai kelas kedua, dan masyarakat pun
sangatlah keras dan bar-bar karena senang berperang antar satu suku dengan suku
yang lainnya. Kondisi masyarakat yang rusak seperti itu berbeda 180 derajat
setelah datangnya Rasulullah dimana masyarakat begitu beradab dan teratur
karena sudah mengalami perubahan yang begitu radikal; dari mata pedang ke jalan
damai, dari egoisitas kekuatan ke peraturan perundangan, dari balas dendam ke
Qishas, dari serba halal ke kesucian,
dari suka merampas ke kepercayaan, dari mengasingkan diri ke rasa percaya diri
menaklukan Persia dan Rumawi, dari penyembahan berhala ke Tauhid, dari memandang
rendah wanita ke memuliakannya dan dari
sistem kasta ke persamaan.
Sementara
sebahagian cendikiawan muslim lainnya memberikan terminology lain mengenai
masyarakat islam yang sebenar-benarnya dengan merujuk pada kata Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur yang
terdapat di dalam Surat Saba ayat 15 sebagai gambaran dari kesejahteraan
penduduk dan kesuburan Negri Saba di masa lampau. Dari konsepsi Baldatun
Tayyibatun tersebut termaktubkan kriteria bahwa masyarakat Islam yang
sebenarnya itu adalah masyarakat yang berada di suatu negri yang penduduknya
memiliki pola hubungan harmonis sehingga kesatuan dan persatuan antar sesama
penduduk dapat terpelihara dengan baik. Sekalipun tidak menutup kemungkinan
penduduknya berbuat dosa dan durhaka, akan tetapi dengan segara melakukan
kontemplasi untuk kemudian memohon ampunan kepada Allah, dan Allah pun dengan
segera memafkan kesalahan-kesalahannya. Keteraturan alam pun terjadi, kerusakan
tidak terjadi, karena manusia mau dan dengan suka rela berhukum dengan hukum
Allah, karena dengan aturan dan hukum-hukum Allah lah, niscaya manusia akan
mendapati keamanan dan kesejahteraannya (Markus, et.al., 2009: 32-33).
Dari
Konsepsi-konsepi itulah, baik dengan merujuk pada kata Khaira Ummat maupun Baldatun
Tayyibatu Wa Rabbun Ghafur dapatlah diambil suatu konsepsi oprasional mengenai
Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya; dimana secara perseorangan, individu
per individu, masyarakat islam yang sebenar-benarnya memiliki karakteristik
BerTuhan, Beribadah serta hanya tunduk dan patuh kepada Allah; perjuangan dan langkahnya
hanya berpegang teguh kepada ajaran Allah; beraktivitas di dalam setiap bidang
hanya menempuh jalan yang diridhai Allah; dan menjunjung tinggi hukum Allah di
atas hukum yang manapun. Sementara secara komunal, masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya memiliki karakterisitik; hidup dalam kesejahteraan baik atas
dasar jaminan Negara, kedermawanan, ketersediaan dari alam atau buah dari
semangat dalam bekerja; masyarakat yang demokratis karena mengedepankan
permuyawaratan dalam setiap pengambilan kebijakan menyangkut urusan bersama;
masyarakat yang kondusive karena hukum Allah yang menjadi landasan dan pijakan
dalam berinteraksi secara komunal; dan bersifat adil satu sama lain karena
saling menghargai dan menjunjung tinggi kesetaraan (Markus, et.all., 2009:
35-37).
Kesimpulan
dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan merujuk pada padanan kata Khaira
ummah dan Baldatun Tayyibatun tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Philip K. Hitti (2013; 154-163) yang mengemukakan bahwa pencapaian peradaban
yang pernah dibangun Oleh Muhammad SAW merupakan peradaban yang belum pernah
dicapai oleh peradaban umat manusia terdahulu; dimana Bangsa Arab yang tadinya
tidak menjadi bagian dari perbincangan peradaban-peradaban besar dunia mampu
berkembang menjadi Imperium Besar dengan berhasil menaklukan daerah-daerah
Subur Mesopotamia dan lembah-lembah sungai Nil sebagai buah dari penaklukan
yang dilakukan terhadap Imperium Byzantium dan Persia. Padahal secara
geneologis masyarakat Arab bukanlah bangsa penakluk; tidak memiliki kebudayaan
mapan seperti bangsa-banga yang lainnya. Semuanya itu tidak terlepas dari
bangunan masyarakat yang dibangun Rasulullah di Kota Madinah; dimana secara
idvidu masyarakat Madinah memiliki keimanan dan kepasrahan yang begitu kuat
terhadap Allah SWT yang dengan keimanan itulah menjadikannya tak memiliki rasa
takut untuk menghadapai siapapun kecuali rasa takut itu hanyalah terhadap
Allah; begitupun mereka duduk sederajat antar satu dengan yang lainnya karena
keimanan mengajarkan kesederajatan antar sesame umat manusia tidak ada yang
lebih superior di atas manusia yang lainnya. Individu-individu masyarakat
Madinah pun memiliki ketundukan yang begitu kuat terhadap perintah-perintah
Allah yang termaktub di dalam Rukun Islam, sehingga dengan ketundukannya itulah
mampu melahirkan individu-individu tangguh. Sementara secara komunal masyarakat
memiliki kondusivitas yang begitu kuat; karena hukum dikedepankan menggantikan
system superioritas yang berlaku di masa jahiliyyah; hukum sangat menjerakan
dan mampu menjadi pelajaran bagi yang lainnya.
Karakteristik
spesifik lainnya menurut Philip K. Hitti (2013) dari masyarakat yang dibangun
Rasulullah adalah kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan; Philil
K. Hiiti (2013) bahkan sampai pada suatu kesimpulan bahwa menurutnya masyarakat
Arab sebetulnya adalah masyarakat yang tidak memiliki peradaban apapun kecuali
sastra Arab. Namun bagaimana mungkin masyarakat yang tidak memiliki tradisi
keilmuan mapan tersebut kelak bisa mengembangkan filsafat Yunani yang tercecer
menjadi terkompilasikan sehingga menjadi disiplin-disiplin ilmu tertentu
(Madjid, 2009). Begitupun dengan ilmu kedokteran yang diambil secara cepat dari
tradisi pengobatan Persia, India dan Cina; Arsitektur dari peninggalan Byzantium
di Syam; pertanian dan irigasi dari peninggalan peradaban Mesopotamia di lembah
sungai Tigris dan Efrat; dan administrasi pemerintahan dari sistem administrasi
imperium Persia (Hitti, 2013).
Oleh
karenanya Nurcholis Madjid (2008: 234) mengatakan Hikmah itu miliki kaum
muslimin, dimana pun berada ia harus diambil dengan terbuka; itulah makna dari the
idea of progress yaitu sikap dan mental yang terbuka untuk menerima dan
mengambil nilai-nilai duniawi dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran.
Bahkan kelak dikemudian hari kaum muslimin mampu membangun satu disiplin ilmu
yang khas sebagai produk asli keilmuan islam, yaitu ilmu Ushul Fiqih; hampir
dipastikan setiap peradaban memiliki produk khas keilmuannya; seperti Yunani
dengan Filsafatnya; maka begitupun peradaban Islam dengan Ushul Fiqihnya;
dimana Ushul Fiqih lahir sebagai kebutuhan akan keberadaan qaidah-qaidah yang
bisa menjadi panduan untuk mengambil kesimpulan hukum dari Nash untuk
dikontekskan dengan arus perubahan masyarakat di dalam suatu wilayah atau
kondisi tertentu. Selain daripada Ushul Fiqih, Ilmu lainnya yang lahir dari
tradisi Keilmuan Islam yang belum pernah terlahirkan dari peradaban-peradaban
lainnya adalah Ilmu periwayatan hadis; sebagai metode, teknik dan proses
periwayatan hadis; berikut Ilmu Mustholahulnya sebagai metode untuk menelaah
derajat kesahihan hadits (Suharto, 2004: 74). Dengan Ilmu Periwayatan Hadits
lah otentisitas Qauliyah, Fi’liyyah dan Takririyyah Nabi Muhammad SAW bisa
dipastikan keabsahaannya untuk menegasikan apa-apa yang tidak benar-benar
datang darinya.
DAFTAR PUSTAKA
Zahrah, Muhammad Abu. 2002. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus. (Terjemehan: Cetakan Kedua).
Madjid, Nurcholis. 2009. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta:
Dian Rakyat (Cetakan Kedua).
Madjid, Nucholis. 2008. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Dian Rakyat (Cetakan Keenam).
Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Markus, Sudibyo, dkk. 2009. Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya.
Jakarta: Civil Islamic Institute.
Suharto, Ugi. Peranan Tulisan dalam Periwayatan Hadis. Journal Islamia. Tahun 1
No.2 Juni-Agustus 2004.
Thomas, Clive S. 2004.
Research Guide to U.S. and International Interest Groups. London:
Praeger Publishers.
*) Penulis merupakan Pegiat MIM Indigenous School dan dosen UMY. Tulisan ini direpost dari website pribadi penulis (datarluhur.com)
0 komentar: