Islam dalam Krisis III
Ahmad Syafii Ma'arif
Puncak kemegahan rezim Turki Usmani terjadi pada abad ke-16, terutama di bawah Sultan Sulaiman Yang Agung (1520-1566). Kemegahan ini terjadi juga dengan melibas suku-suku kecil Turki yang semula bersifat otonom dalam bentuk keamiran, sehingga protes mereka berbunyi: “Mengapa sultan menghabisi kami sesama Muslim, bukan yang non-Muslim.” Sesungguhnya yang dihabisi itu bukan hanya suku-suku kecil Turki itu, rezim Safawi yang syi’ah juga diperangi, di samping memerangi daerah Balkan, Hungaria, bangsa-bangsa Arab di Asia Barat dan Afrika Utara. Lagi-lagi, sebuah imperium memang dibangun di atas tengkorak manusia, Muslim atau non-Muslim. Umat Islam pada umumnya larut dalam kemegahan kekuasaan rajanya, tetapi sedikit sekali yang mau merenung dan mengoreksi proses kemegahan itu diraih. Sikap moral kebanyakan kita lemah sekali.
Tidak berapa lama setelah puncak
kemegahan Turki Usmani di bawah Sulaiman, menjelang akhir abad ke-16, pihak
Barat yang Kristen mulai memasang tali lasso untuk mencekik leher umat Islam di
berbagai bagian wilayah dunia. Inilah kesaksian Toynbee tentang masalah ini:
“Sungguh, menjelang akhir abad ke-16, pihak Barat, berkat penaklukkannya atas
Lautan, telah berhasil melemparkan tali lasso ke sekitar leher Islam; tetapi
barulah di abad ke-19 pihak Barat berani menarik tali itu dengan kuat.” (Lih.
A.J.Toynbee, Civilization on Trial and The World and the
West (Cleveland and New York: The World Publishing Company,
1963, hlm. 248). Artinya, di abad itu, hampir seluruh bangsa Muslim
tersungkur menjadi manusia terjajah. Turki yang pernah perkasa itu menjelang
akhir abad ke-18 sudah diberi gelar sebagai “Orang sakit Eropa.”
Krisis panjang yang hina ini
sangat melelahkan umat Islam sejagat, tetapi untuk menjadi siuman betul,
alangkah sulitnya. Penguasa Muslim yang menyukai rakyatnya sebagai penurut
paling bertanggung jawab atas segala malapetaka ini. Pukulan sejarah
bertubi-tubi rupanya belum cukup untuk membangunkan dan menyadarkan umat akan
tugas besar sejarah yang dipikulkan Alquran ke atas pundaknya. Jangankan sadar,
sebagian mereka malah menikmati hidup di bawah sistem penjajahan itu sebagai
manusia budak yang penurut dan peniru. Iqbal menulis: “Kredo si budak adalah
tiruan. Dan kerjanya adalah membuat citra palsu. Dalam beragama, pembaruan
baginya adalah sebuah dosa….Matanya terpaku pada masa silam, tetapi buta
tentang masa depan.” (Lih. Iqbal, Gulshan-I-Râz-I-Jadîd dan Bandagî Nâmah, terjemahan
M Hadi Hussain. Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1977, hlm. 59).
Lagi Iqbal dengan lebih tajam
tentang mental budak ini: “Si budak secara murahan terbelah dua antara agama
dan kearifan: dia mengusir jiwanya untuk mengamankan badannya dan, sekalipun
nama Tuhan bertengger di bibirnya, sasaran sesembahannya adalah keperkasaan
penguasa.” (Hlm. 60). Penguasa busuk semacam inilah yang menghancurkan Islam
dari dalam sepanjang sejarah, sekalipun bangsa-bangsa Muslim telah merdeka dari
sistem penjajahan asing. Pergolakan dunia Arab sejak 2010 yang lalu adalah
perlawanan keras terhadap rezim-rezim Muslim yang busuk dan rakus ini.
Tetapi krisis belum usai. Sejak
beberapa waktu yang lalu muncul pula kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and
Syria) dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin puncaknya yang mengaku
sebagai khalifah dunia Islam. Faksi Kawarij baru ini akan membunuh siapa saja
yang tidak sefaham dengannya, Muslim dan non-Muslim. Kekacauan politik yang
dahsyat di dunia Arab adalah pemicu utama bagi munculnya gerakan semisal ISIS
ini. Barat, khususnya Amerika Serikat, turut bertanggung jawab bagi lahirnya
kelompok teror-radikal di dunia Islam yang rapuh. Dengan berantakannya
Afghanistan, Iraq, Lybia, Suria, dan lain-lain, penguasa formal dunia Arab yang
busuk telah kehilangan wibawa.
Kekosongan ini segera diisi oleh
tipe manusia garang dan ganas, seperti al-Baghdadi sebagai penerus Usamah bin
Ladin. Di Afrika selatan sahara juga ada kelompok Boko Haram, gerakan teror
yang bersembunyi di balik jubah agama. Dunia Islam kalang kabut dibuatnya.
Indonesia yang relatif aman, mengikuti semua drama ini dengan sikap awas dan
penuh keprihatinan, tetapi tidak dapat berbuat banyak. Agen-agen teror juga
berkeliaran di negeri ini.
Pertanyaannya, untuk berapa lama
lagi krisis ini melanda Islam dan dunia Islam? Tak seorang pun di antara kita
yang bisa menjawabnya, apalagi saya. Tetapi suasana iman pasang-surut yang
sederhana mengingatkan saya akan ayat 110 surat Yûsuf (12) yang artinya:
“Sampai ketika para rasul sudah dalam keadaan putusasa dan mengira mereka
sungguh telah dibohongi [oleh kaumnya], datanglah pertolongan Kami kepada
mereka. Kami selamatkan orang yang Kami kehendaki, dan hukuman Kami tidak dapat
terhindar dari kaum pendosa.” Oleh sebab itu, jalan masih terbuka lebar untuk
mengundang pertolongan Allah agar keluar dari krisis, dengan syarat adanya
kesediaan kita yang tulus untuk menjadi Muslim yang benar, lurus, dan merdeka.
Mental budak harus diusir sejauh-jauhnya, sehingga kepala kita tegak berhadapan
dengan siapa pun di muka bumi ini. Kemerdekaan umat yang hilang menjadi peluang
emas bagi penguasa Muslim yang jahat dan bejat.
0 komentar: