Islam dalam Krisis II
Ahmad Syafii Ma'arif
Dinasti Umayyah yang sepenuhnya
bercorak Arab dibangun Mu’awiyah di atas kafan ‘Ali bin Abi Thalib dengan ibu
kota Damaskus. Rezim ini bisa bertahan sekitar 90 tahun (661-750) untuk
kemudian diluluhlantakkan oleh rezim baru, campuran Arab dan Persi, dinasti
‘Abbasiyah (750-1258), dengan ibu kota Baghdad. Muslim keturunan Persi merasa
dianaktirikan oleh rezim Umayyah sebagai warga mawâlî (kelas dua) cepat
bergabung dengan rezim ‘Abbasiyah yang semula berpusat di Khurasan (Persi).
Peradaban memang berkembang
hingga mencapai puncak-puncaknya yang tertinggi, tetapi semua itu juga dibangun
di atas tengkorak umat Islam yang berbeda pandangan politik. Salah seorang dari
unsur dinasti Umayyah yang bebas dari pengejaran pasukan ‘Abbasiyah, Abd
al-Rahman I (al-Dâkhil) lari ke Spanyol untuk kemudian pada tahun 756 membangun
kerajaan di sana yang bisa bertahan berabad-abad sampai 1031 disertai
perkembangan peradaban yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan apa yang
dilakukan oleh dinasti ‘Abbasiyah di belahan Timur. Kita semua pasti bangga
dengan capaian-capaian itu, tetapi jangan lupa membaca sisi gelap yang lain:
politik kekuasaan telah menghancurkan perumahan persaudaraan umat dengan
membuang jauh perintah Alquran tentang persatuan berdasarkan iman ke dalam limbo
sejarah. Dalam politik kekuasaan, iman sering benar digantikan oleh semangat
suku, ras, atau keturunan.
Rezim ‘Abbasiyah dalam sejarah
biasa disebut sebagai abad emas Islam. Nomenklatur ini tentu tidak salah
sepanjang menyangkut aspek kemegahan duniawi tanpa menengok keutuhan internal
umat yang berantakan. Kehancuran Baghdad oleh serangan pasukan Hulagu (Mongol)
pada 1258 tidak serta merta membawa kehancuran rezim-rezim Muslim yang lain. Di
Spanyol masih bertahan kerajaan-kerajaan kecil Muslim pasca dinasti Umayyah
sampai pada tahun 1492 ketika pasukan Katolik-Salib mengusir umat Islam
seluruhnya dari sana dengan diberi pilihan: pindah agama, diusir, atau dibunuh,
termasuk umat Yahudi yang juga harus lari dari sana. Dalam hal toleransi lintas
agama, filosuf agnostik Bertrand Russell menulis dalam karyanya Why I Am Not a Christian (New York:
Simon and Schuster, 1957, hlm. 202): “Imperium para khalifah bersikap lebih
ramah kepada orang Yahudi dan Kristen dibandingkan dengan negara-negara Kristen
terhadap umat Yahudi dan umat Islam).”
Tetapi harus pula dicatat bahwa
imperium khalifah tidak memberi ruang gerak kepada lawan-lawan politiknya
sesama umat Islam. Ini yang berlaku sepanjang sepanjang sejarah. Darah lebih
banyak tertumpah dalam perang sesama Muslim dibandingkan dengan sengketa dengan
pihak lain, kecuali dalam Perang Salib (dalam bahasa Arab: al-ĥurûb
al-shalîbiyyah) yang berlangsung lebih sedikit dari dua abad itu (1095-1291).
Krisis demi krisis yang dialami Islam hampir selalu berkaitan dengan politik
kekuasaan, baik antara sesama Muslim atau antara Muslim berhadapan dengan
kekuatan non-Muslim.
Bahwa Islam terus saja berkembang
dengan merebut pengikut-pengikut baru dari berbagai bangsa adalah juga
kenyataan yang terus saja berlangsung. Jumlah umat Islam sekarang dengan angka
moderat sebesar 1,6 miliar tidak akan jauh dari fakta yang sebenarnya. Saban
hari di berbagai penjuru bumi Muslim baru terus saja bermunculan. Krisis tidak
menghalangi pendatang baru itu. Di Amerika Serikat, justru pasca Tragedi 11
September 2001, jumlah warga Muslim semakin banyak saja di sana. Semakin Islam
disudutkan, semakin muncul saja manusia yang mencarinya. Ini memang ajaib.
Sebelum hancur total, Rezim
‘Abbasiyah secara berangsur tetapi pasti telah digantikan oleh pendatang baru
yang bukan Arab atau Persi. Mereka berasal dari puak Turki yang nenek moyangnya
berasal dari Asia Tengah. Setelah melalui proses panjang dan berliku, puak ini
lambat laun menjadi penganut Islam, umumnya bermazhab Hanafi. Bermula dari
dinasti Saljuk pada abad ke-11, kemudian di akhir abad ke-13 diambilalih oleh
dinasti Usmaniyyah (1299-1924), sebuah imperium besar dan gagah yang menakutkan
dan menggoncangkan pihak Eropa yang bertahan sampai sekitar tujuh abad. Pada
tahun 1453 di bawah Sultan Muhammad II al-Fâtiĥ (Pembuka/Penakluk), kota megah
Konstantinopel ditaklukkan dari pihak Bizantium (Romawi Timur), sebuah
peristiwa yang sangat menyakitkan pihak Kristen dan dunia Barat sampai hari
ini.
Dari sisi ini saya tidak
sepenuhnya setuju dengan pendapat Ismail R. al-Faruqi yang mengatakan bahwa
umat Islam tidak pernah menjadi penakluk, tetapi sebagai pembuka jalan untuk
dakwah Islam (al-futuĥât). (Lih. Ismail Ragi
al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York:
Macmillan Publishing Company, 1986, hlm. 202-229). Dalam kasus Konstantinopel,
proses penaklukan itu sangat jelas. Gelar al-Fâtiĥ yang disandang Muhammad II
adalah sebagai penakluk. Adapun sifat penaklukan itu dinilai lebih beradab,
sebagaimana Russell mengatakan, juga adalah sebuah fakta sejarah.
0 komentar: