Islam dalam Krisis I
Ahmad Syafii Ma'arif
Jika turunnya wahyu pertama pada
tahun 610 Masehi sebagai awal kenabian dapat diterima menjadi tonggak karier
Islam di muka bumi, maka karier itu sudah berlangsung dalam lipatan abad yang
panjang. Islam bukan lagi agama sederhana, ia sudah kompleks sekali. Tafsiran
terhadap agama terakhir ini sudah berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan
mana yang emas dan mana yang loyang menjadi tidak mudah, kecuali di tangan
orang yang dikurniai ‘aqlun shaĥîh wa qalbun salîm (minda
yang sehat tak terbelah dan hati yang tulus tanpa cacat), sekalipun tidak
pernah sempurna. Alquran pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas
prima ini. Tetapi manusia tetap manusia dengan segala keterbatasannya, ada saja
sisi-sisi yang lemah yang mengganggu.
Dari sudut pandang relativisme
manusia inilah kita harus memahami mengapa telah berlaku peperangan antara
kelompok ‘Aisyah binti Abû Bakr, janda nabi, yang dipimpin oleh Thalĥâh bin
‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm berhadapan dengan pendukung Khalifah ‘Alî bin
Abî Thâlib (656-661), sepupu dan menantunya. Menurut hadist, sebagai sahabat
nabi, mereka yang terlibat dalam peperangan ini telah dijamin masuk surga. Ini
adalah krisis politik pertama yang berdarah dalam sejarah Islam yang dikenal
dengan Perang Onta, terjadi tahun 35 H/656 M, segera setelah berlaku pembunuhan
keji atas diri Khalifah ‘Ustmân bin ‘Affân (644-656) oleh pemberontak Muslim
yang menentang kebijakan khalifah yang dinilai tidak adil.
Krisis kedua yang lebih dahsyat
di periode awal itu terjadi dalam perang Shiffîn (657) antara pasukan’Ali dan
Mu’awiyyah bin Abû Sufyân, gubernur Suria yang diangkat Khalifah ‘Umar bin
Kaththâb (632-644) di masa kekhalifahannya. Dalam perang saudara yang masih
dikait-kaitkan dengan Parang Onta ini, ribuan yang mati dari kedua pihak.
Ketika pasukan ‘Alî nyaris menang, utusannya Abû Mûsâ al-‘Asy’arî ditipu oleh
utusan Mu’âwiyah, ‘Amr bin ‘Ash yang cerdik, agar peperangan dihentikan dan
berdamai (taĥkîm) di Daumatul Jandal, sebuah
oase di lembah Sirhan yang terletak antara Damaskus dan Madinah.
Peluang ini digunakan dengan
licik oleh ‘Amr bin ‘Ash untuk mengganti ‘Alî sebagai khalifah dengan
menobatkan Mu’âwiyah, idolanya. Tetapi kekuasaan penuh Mu’awiyah harus menanti
dulu kematian ‘Ali karena ditikam oleh mantan pengikutnya di masjid Kufah.
Kelompok garis keras ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan
khawarij (yang memisahkan diri) dari ‘Ali karena menentang taĥkîm di Daumatul
Jandal. Tetapi sebenarnya yang tetap setia kepada ‘Ali sampai detik terakhir
adalah kaum Anshar. Adapun orang Iraq dan apa yang dikenal dengan golongan
al-Qurra tidak sepenuh hati mendukung ‘Ali. Kelemahan ini dibaca dan
dimanfaatkan oleh pihak Mu’awiyah untuk memecah belah kubu ‘Ali dan berhasil.
Saya rekamkan kejadian tragis ini
bukan untuk membuka luka yang telah berusia belasan abad, tetapi untuk
menyadarkan kita semua bahwa sengketa yang berdarah-darah di atas sepenuhnya
adalah gejala Arab, bukan mewakili Alquran yang dengan tegas memerintahkan agar
orang beriman itu bersaudara dan berdamai. (Lih. Aquran . Al-Ĥujurât: 10).
Ironisnya adalah perpecahan yang bercorak Arab ini kita warisi sampai detik
ini. Seakan-akan kelakuan para sahabat yang terlibat dalam sengketa dan
peperangan itu menjalankan perintah Alquran, sama sekali tidak. Adapun mereka
itu dijamin masuk surga sepenuhnya adalah urusan Allah dengan mereka, kita
tidak tahu.
Dari tragedi Shiffîn inilah
kemudian berkembang tiga faksi besar umat yang tidak pernah berdamai: sunni,
syi’ah, dan khawarij. Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa diri
selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok syi’ah dan khawarij
sebagai pihak yang salah. Cara pandang yang semacam ini harus dihalau jauh-jauh
dengan menjadikan Alquran sebagai hakim dan rujukan yang tertinggi. Kepentingan
politik sesaat dengan dalil agama sekalipun bagi saya adalah sebuah
pengkhianatan. Sunni, syi’ah, dan khawarij adalah buah dari perpecahan politik,
mengapa kemudian diberhalakan? Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun
telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk umat Islam yang
tidak ada hubungannya dengan yang budaya Arab yang suka berpecah belah itu.
0 komentar: