Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Dakwah bil Hal: Inspirasi Dakwah ala Gerakan Gulen Di Turki


Umat Islam saat ini menghadapi dua tantangan serius. Tantangan pertama terkait dengan persepsi masyarakat internasional, khususnya negara-negara Barat, yang menganggap bahwa agama Islam identik dengan kekerasan. Setiap kekerasan bom bunuh diri terjadi, siapapun pelakunya, dugaan awal seringkali mengarah kepada umat Islam. Contoh terdekat adalah serangan terorisme yang dilakukan Andreas Breivik, pemuda Kristen fundamentalis sayap kanan, beberapa waktu lalu di Oslo. Sebelum ia tertangkap, media massa Barat pertama-tama menduga pelakunya seorang Muslim. Ini menunjukkan kuatnya persepsi bahwa bom atau kekerasan lainnya identik dengan Islam.
Menurut sejumlah temuan penelitian mengenai terorisme Islam, persepsi negatif yang mengidentikan Islam dengan kekerasan itu keliru. Robert Pape, profesor ilmu politik dari University of Chicago, menemukan bahwa hubungan antara terorisme dan fundamentalisme Islam tidak cukup kuat. Dari data yang ia peroleh, aksi bom bunuh diri yang pernah terjadi di dunia sejak tahun 1980-2003 paling banyak dilakukan oleh mereka yang sedang berjuang mengusir penjajah dari negerinya, yakni gerakan Macan Tamil di Sri Langka. Meski begitu, ia tidak menyangkal adanya data mengenai bom bunuh diri yang dilakukan umat Islam, tetapi menurut amatannya, aksi itu dilakukan umumnya terkait dengan gerakan politik seperti konflik di Palestina, bukan atas dasar ajaran Islam murni.[1]
Penelitian lain yang dikerjakan oleh Charles Kurzman, sosiolog dari universitas Carolina Utara, memperlihatkan bahwa betapapun insiden terorisme dilakukan umat Islam sangat kecil jumlahnya dibanding jumlah umat Islam yang tinggal di hampir semua negara di seluruh dunia. Faktanya, insiden terorisme yang relatif sering hanya terjadi di Irak, Pakistan dan Afghanistan, dan beberapa di negara konflik lainnya. Dari segi efeknya, Kurzman memperlihatkan bahwa korban kecelakaan lalu lintas dan penyakit diare lebih mematikan daripada terorisme. Karenanya, Kurzman kemudian mempertanyakan, jika Islam identik dengan kekerasan, kenapa tidak disemua tempat yang ada seorang Muslim kekerasan terjadi?[2] Pendek kata, siapapun di dunia ini tidak dapat memberi bukti kuat bahwa Islam identik dengan kekerasan.
Lalu mengapa persepsi negatif itu terhadap umat Islam itu begitu kuat? Kalau kita runut dalam sejarahnya, kita tidak akan tahu di mana ujungnya. Meski begitu, kita bisa menelusuri salah satu jejaknya pada bagaimana Islam dipersepsi oleh para pembuat film di Barat, lebih spesifik lagi filmaker di Hollywood. Filmaker Hollywood sebelum tahun 90-an, menggambarkan Islam sebagai bangsa Arab yang brutal dan kasar. Dalam film animasiAladin (1992) misalnya, sosok bangsa Arab diperankan tokoh tinggi, besar, kasar, tidak beradab, identik dengan senjata tajam, berwajah seram, mengancam perempuan, dan sifat-sifat negatif lainnya.[3] Stigma yang sudah bertahun-tahun diproduksi dan beberapa film yang mengandung stigma negatif seperti Aladinmasuk deretan box office dunia, bisa dibilang efektif untuk memperkuat persepsi yang mengidentikkan Islam dengan kekerasan.
Belakangan, situasi sudah mulai berubah. Filmaker Hollywood memandang bangsa Arab, khususnya kaum Muslim, lebih proporsional. Dalam film-film terbaru bangsa Arab digambarkan sebagai manusia yang bisa jadi orang jahat sebagaimana bisa jadi tokoh baik. Mereka juga tidak lagi melihat orang Arab sebagai ancaman bagi perempuan. Perubahan ini layak kita apresiasi. Namun perubahan tersebut belumlah banyak mengubah persepsi negatif masyarakat dunia terhadap umat Islam. Bila persepsi negatif lahir dari stigma berpuluh bahkan beratus tahun, maka untuk mengembalikannya bisa jadi butuh dua kali lipat lebih lama.
Lalu bagaimana kita bisa mengubah citra negatif tersebut? Salah satu cara terbaiknya adalah interospeksi diri. Inilah tantangan kedua yang harus diatasi umat Islam saat ini: jangan-jangan ada yang salah dalam strategi dakwah yang kita lakukan. Fakta menunjukkan bahwa bom bunuh diri yang dilakukan umat Islam, betapapun sedikit memiliki daya kejut internasional. Serangan 11/09 ke menara kembar WTC dan Pentagon 11 tahun lalu adalah teror kamu Muslim berdaya kejut internasional. Belum lagi reda pasca serangan 11/09, serangan bom bunuh diri atas nama Islam di negara-negara lainnya, termasuk aksi teror di Indonesia, menambah daftar penghambat bagi citra Islam kembali sebagai rahmatan lilalamin. Gaya dakwah dengan cara ini menghadapi “musuh”, alih-alih menegakkan panji, malah memperburuk citra agama Islam.
Strategi dakwah dengan jalan kekerasan tampaknya masih mendominasi media internasional daripada jalur damai. Mengapa demikian? Pertama, literatur mengenai Islam dan kekerasan jauh lebih banyak daripada inspirasi Islam terhadap perdamaian. Kedua, gerakan Islam damai, yang umumnya akan juga menjadikan dialog antar-iman sebagai isu, kurang mendapat sokongan di akar rumput daripada mereka yang menyuarakan kebencian atau perang. Ketiga, sokongan akar rumput ini terutama karena rumusan argumentasi gerakan Islam damai relatif lebih rumit dibanding dengan argumen gerakan Islam keras yang relatif to the point, tanpa basa basi. Keempat, dalam memandang masalah yang kontroversial, kelompok Islam garis damai seringkali memberi ruang bagi tafsir lebih dari dua pendapat, sementara garis keras membilahnya hanya menjadi dua benar-salah. Bila yang pertama memungkinkan ada warna selain hitam-putih, gerakan jenis kedua hanya punya rumusan hitam-putih dalam kamus gerakannya.
Tampaknya, situasi di atas juga merupakan momok bagi umat dan pemimpin Muslim di Indonesia. Gerakan Islam garis keras lebih sering mendapat sorotan di media massa, cetak maupun elektronik, daripada kelompok garis damai. Sekali aksi bom bunuh diri meletus, semua media memberitakannya. Sementara gerakan Islam garis damai tenggelam di bawah lautan pemberitaan buruk mengenai akibat perbuatan buruk garis keras. Pendek kata, strategi dakwah kelompok garis keras lebih berhasil menarik perhatian publik daripada kelompok garis damai.
Apakah nasib dakwah Islamiyah untuk perdamaian akan selalu tenggelam? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menelusuri apa yang kita maksud dengan dakwah? Menurut Encyclopedia of Islam and Muslim World (2004), dakwah kembali menjadi pusat perhatian umat Islam pada akhir abad 19 untuk memformulasi Islam dalam menghadapi tantangan modernitas, tantangan yang tidak bisa dielakkan dari sejarah umat Islam. Dakwah sejak zaman Nabi Muhammad hingga kini akan selalu terkait dengan konteks sosial politik pada zamannya.
Secara kebahasaan, dakwah pada dasarnya berarti panggilan atau seruan. Konsep ini berakar dari teologi, di mana kata dakwah dipakai al-Quran untuk menunjuk seruan Allah kepada umat manusia (10:25). Namun, konsep dakwah mengalami naik turun dan berevolusi sepeninggal nabi Muhammad. Mula-mula, konsep dakwah dipakai untuk melegitimasi kepemimpinan Islam di bawah keluarga tertentu. Misalnya, keluarga yang berhak memimpin Islam adalah keturunan imam Ali, bukan klan Umayah. Pada masa berikutnya, seiring ekspansi kekuasaan Islam ke berbagai negara, dakwa digunakan sebagai seruan untuk berjihad menegakkan panji Islam di muka bumi. Pada masa itu, dakwah diformalisasi menjadi bagian dari tatanan pengadilan dan hukum Islam. Puncaknya, saat imam empat madzhab merumuskan fiqh Islam dan pintu ijtihad ditutup, maka konsep dakwah tidak memiliki arti signifikansinya secara sosial maupun politik.
Dakwah kembali menjadi isu penting dalam perjuangan umat Islam seiring tantangan modernitas yang tak terelakkan pada masa dan pasca kolonialisme di dunia Islam. Fragmentasi sosial, mesin menggantikan tenaga manusia sebagai alat produksi, perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam, dan sistem informasi yang semakin cepat menuntut model pengelolaan negara yang efektif dan efisien. Sejak saat itulah pemerintah sekular mulai diperkenalkan. Yakni, model pemerintahan yang bisa dikontrol dan diperiksa oleh warganya. Dakwah kala itu menjadi pusat reformulasi Islam untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat modern yang begitu cepat.
Pasca dekolonisasi, dakwah Islam fokus pada pembentukan identitas kultural Islam: Pan Islamisme. Untuk memperoleh identitas tersebut, dakwah tidak hanya menggunakan seruan untuk seruan, melainkan demi satu gerakan kolektif umat Islam. Sebagai gerakan kolektif, dakwah digunakan oleh berbagai kelompok untuk tujuan. Pada tahap ini dakwah berubah menjadi gerakan politik dan sosial. Meraka yang meyakini bahwa perubahan hanya bisa dicapai melalui kekuasaan, mereka akan menggunakan gerakan politik sebagai strategi dakwah. Sementara, strategi pendirikan dan pelayanan publik dipakai oleh mereka yang meyakini bahwa gerakan sosial bisa mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Atas dasar definisi dakwah yang luas di atas, di tengah-tengah lautan kerikil pasir, kita masih menemukan mutiara yang membawa harapan. Mutiara itu adalah Gerakan Gulen (Gulen Movement) di Turki. Gerakan ini menggaungkan Islam damai tidak saja di Turki, tetapi juga di dunia internasional. Gerakan ini telah mendirikan lebih dari 1000 sekolah di lebih dari 100 negara di dunia; enam buah rumah sakit umum; beberapa media cetak dan elektronik; sebuah universitas; organisasi bantuan sosial internasional; organisasi dialog antar agama internasional; dan gerakan ini sudah memiliki cabang di berbagai negara di dunia, empat cabang di antaranya di Amerika.
Gerakan ini mendapat dukungan tidak hanya dari kalangan elit, melainkan dari umat di masyarakat bawah. Mereka bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, media massa, dan bantuan sosial lainnya. Layanan sosial inilah yang memungkinkan prinsip dasar Islam yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini diterima akar rumput. Dukungan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok pendiri dan pemimpin di baliknya: Fethullah Gulen. Ia adalah seorang da’i Turki terkemuka, seorang guru, sekaligus pemimpin Muslim. Ia berhasil mewujudkan gagasan dan cita-cita Islam sebagai rahmatan lil alamin ke dalam gerakan yang memiliki basis massa yang nyata di seluruh dunia dan dikenal dengan nama Gerakan Gulen (Gulen Movement).[4]
Tulisan ini bermaksud untuk mengurai apa rahasia di balik kesuksesan Gulen dan gerakannya itu? Bagaimana mereka bisa bertahan di masa politik Turki yang kurang bersahabat terhadap Islam tampil di ruang publik? Apa yang mereka tawarkan sehingga diterima dunia internasional? Pelajaran apa yang bisa kita pelajari dari gerakan Gulen untuk dakwah Islamiyah di belahan dunia lain, termasuk Indonesia?
Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, tulisan ini pertama-tama akan melihat gerakan Gulen dengan kaca mata teori gerakan sosial (social movement theory). Yakni, mengapa Gerakan Gulen pantas dianggap sebagai gerakan sosial? Pada bagian kedua, tulisan ini akan mengurai Gerakan Gulen melalui tiga sudut: konteks politik (eksternal), pemaksimalan sumberdaya (internal) dan gagasan yang mengikat keduanya (framing). Pada bagian akhir, tulisan ini merumuskan inspirasi apa saja yang bisa dipakai oleh gerakan sosial Islam di Indonesia untuk mendorong mayoritas yang sunyi bersuara untuk toleransi, kerukunan dan perdamaian. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya berharap tulisan ini bermanfaat untuk mengatasi dua tantangan umat dan pemimpin Islam di Indonesia, seperti dikemukakan di atas.
Siapa Gerangan Fethullah Gulen?
Fethullah Gulen lahir di Turki timur, dekat Erzurum pada tahun 1941. Ia mendapat pendidikan al-Quran terutama dari ayahnya, selain pendidikan formal. Ia belajar ilmu agama, khususnya ilmu tasawuf dari syeik Muhammad Luthfie Efendi dan Said Nursi. Dari Nursi, Gulen belajar mengenai hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern. Nursi juga menginspirasi Gulen untuk dapat melihat kesesuaian antara Islam dan demokrasi, yang ujungnya adalah konsep penegakkan hukum yang berwibawa.
Pada usia 25 tahun, Gulen diangkat sebagai kestanepazari, guru agama, di Izmir kota ketiga terbesar di Turki. Ia menjabat amanah tersebut selama lima tahun. Sepanjang menjalakan tugasnya itu, Gulen mulai memperkenlakan gagasan mengenai pendidikan dan pelayanan sebagai strategi untuk mengembangkan Islam di zaman modern ini. Sejak saat itu, ia mulai mengumpulkan sejumlah kolega dan murid untuk membicarakan gerakan baru untuk menampung ide dan gagasannya. Ia juga mulai melakukan sejumlah diskusi di berbagai provinsi di Turki.
Sebagai tahap awal aktivitas dakwahnya, Gulen memanfaatkan liburan musim panas dengan membuat pesantren kilat. Pesantren kilat ini tidak saja mengajarkan ilmu sekular, tetapi juga ilmu agama. Sebagai da’i, ia sangat khawatir anak-anak muda terjebak pada gagasan ateisme di satu sisi dan radikalisme di sisi lain. Ia mengharapkan anak muda dapat menerima ajaran dasar Islam tetapi sekaligus taat hukum. Selain itu, ia mulai mengembangkan cemaat sendiri dengan membangun komunitas-komunitas di beberapa tempat. Pengikut Gulen semakin hari semakin banyak. Mereka tidak saja menjadi pendengar, melainkan juga penyokong dana operasional gerakan.
Mengapa Gulen mendapat begitu banyak dukungan? Paling tidak, empat pemikiran yang memperkuat daya tarik bagi pengikutnya. Pertama, sebagian orang menganggap dia membentuk tarekat sufi sendiri setelah lepas dari kelompok Resalain Nur, kelompok yang terinspirasi Said Nursi. Namun dalam beberapa kesempatan, Gulen menyatakan bahwa sufisme adalah hubungan spiritual antara makhluk dan Tuhannya yang hanya bida dirasakan secara individual. Berguru itu wajib, tetapi bagaimana spiritualitas dirasakan dan dialami, bukan lagi tanggung jawab guru.
Kedua, sebagai sufi, Gulen memandang bahwa kita tidak dapat meninggalkan prinsip dasar Islam. Prinsip Islam itu berlaku universal. Menurutnya, al-Quran bisa menjadi petunjuk bagia siapa saja yang ingin melakukan perjalananan internasional. Bertemu dengan jenis budaya manapun, prinsip dasar dalam al-Quran bisa menjadi ukuran. Namun demikian, Gulen tokoh Muslim yang tidak setuju dengan penerapan hukum Islam sebagai totalitas ajaran. Menurutnya, totalitas ajaran bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang selalu terbuka untuk ditafsir sesuai dengan ruang dan waktu. Sifatnya yang bisa menembus tuang dan waktu merupakan alasan mengapa Islam bisa dan harus menjadi rahmat bagia sekalian alam. Dalam konteks inilah, Greg Barton, menilai bahwa Gulen bukan seorang Islamis.
Ketiga, ajaran dasarnya adalah cinta. Kata Gulen, tidak ada senjata yang lebih kuat daripada senjata cinta. Atas dasar cinta ia menganjurkan umat Islam untuk bersikap toleran, terbuka, dan upayakan perdamaian. Gulen terbuka untuk menjadi sahabat dari ajaran dan agama manapun. Gagasan ini yang di kemudian hari, Gerakan Gulen membantuk forum lintas iman internasional. Fakta ini semakin menguatkan kesimpulan Barton bahwa Gulen bukan seorang Islamis, apalagi Islamis garis keras.
Keempat, Gulen menekankan aspek layanan (hizmet) dari setiap perkembangan gerakannya. Pertama kali ia dapat membangun sekolah di Izmir dan Istanbul, ia menemakan gerakannya sebagai layanan pendidikan(hizmet school). Begitu juga ketika ia bersama koleganya berhasil mendirikan media massa, ia menyebutnya layanan informasi. Dan begitu seterusnya. Hampir semua aktivitas hingga ke mancanegara juga merupakan bentuk layanan untuk umat.
Dakwah Gulen melalui Gerakan Sosial
Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai da’i, Gulen terinspirasi oleh murid-murid Said Nursi yang mendirikan gerakan yang dikenal dengan Resalai Nur. Ada banyak kesamaan antara Resalain Nur dan gerakan yang hendak Gulen dirikan. Meski begitu, kita bisa melihat perbedaan di antara keduanya. Salah satu perbedaan itu terletak pada tantangan ekternal maupun internel yang mereka hadapi. Bila Nursi hidup di zaman awal kemoderenan di Turki, Gulen berada pada masa di mana modernitas telah tumbuh dan berkembang. Inspirasi itulah yang mendorong Gulen mentransformasi dakwah ceramah lisan (bil lisan) menjadi contoh aksi nyata (bil hal) di lapangan melalui gerakan sosial.
Apa yang dimaksud dengan gerakan sosial? Para sarjana tidak pernah bersepakat mengenai apa yang dimaksud dengan gerakan sosial. David Meyer dan Sidney Tarrow, dalam karya mereka Social Movement Society (1998), mendefinisikannya sebagai: “Tantangan-tantangan bersama, yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, saingan atau musuh, dan pemegang otoritas”.[5]
Definisi ini menujukkan dua hal penting. Pertama, gerakan sosial didirikan untuk menghadapi masalah kolektif. Karena itulah, sekumpulan orang perlu berkumpul untuk menyelesaikannya bersama-sama. Masalah tersebut bisa terkait dengan kebijakan publik, distribusi jaminan sosial, atau menyangkut hak dan kewajiban sosial dan politik warga negara. Inilah yang membedakan mereka dari perkumpulan lain tanpa ada kaitan dengan kekuasaan, seperti perkumpulan pemilik burung perkutut, atau perhimpunan pengumpul prangko, dan perkumpulan lainnya.
Kedua, definisi di atas memperlihatkan kentalnya nuansa politik dalam gerakan sosial. Gerakan ini sebagaimana ditunjukkan pada bagian pertama bertujuan untuk mengubah masalah sosial dalam kaitan dengan distribusi dan kekuasaan. Mereka ingin agar dapat berinteraksi dengan kekuasaan hingga mereka berhasil mengubah kebijakan dan masaalah kolektif mereka teratasi. Dengan perseteruan terus menerus, gerakan sosial menjadi anjing penggonggong jika ada kebijakan yang merugikan masyarakat secara kolektif.
Meski gerakan sosial untuk tujuan politik dalam arti luas (terkait dengan kebijakan publik dan kekuasaan), dan gerakannya di luar lingkup keluarga, tetapi pada saat yang bersamaan ia bukan berbentuk partai politik. Ia berada di tengah antara keluarga dan partai politik untuk menyuarakan, memberi masukan dan mendorong perubahan melalui kebijakan pemerintah maupun aksi kolektif secara mandiri. Nilai gerakan sosial akan hilang manakala gerakan tersebut berubah menjadi partai politik, atau bila ia tidak lagi terkait dengan kepentingan publik dan kekuasaan.
Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa Gerakan Gulen merupakan gerakan sosial. Gerakan ini berdiri dengan latar belakang masalah bersama di mana anak-anak muda tidak mendapat cukup pendidikan agama. Mereka khawatir nilai-nilai Islam yang seharusnya menjadi landasan manusia beradab sekaligus toleran tidak tertanam dalam diri umat Islam Turki. Gerakan ini juga merupakan sekumpulan individu yang sudah melampaui batas-batas keluarga dengan kepentingan kolektif terkait dengan kebijakan publik dan kekuasaan. Namun, hingga kini Gerakan Gulen tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai partai politik, sekalipun mungkin ada anggota gerakan ini yang masuk ke partai politik tertentu di Turki. Inilah ciri bagaimana Gulen berdakwah melalui jalur gerakan sosial, bukan partai politik.
Gulen mengusulkan jantung seluruh pergerakannya adalah aspek pelayanan. Apapun yang dikerjakan oleh gerakannya harus dilakukan dalam rangka melayani kepentingan umat. Meningkatkan pendidikan, memberi pelayanan kesehatan, memperbanyak akses pengetahuan dan sebagainya adalah bentuk pelayanan untuk meningkatkan kualitas umat. Bila kualitas umat baik, maka kekerasan bukan pilihan untuk mengekkan panji dan membumikan nilai-nilai Islam. Dalam kerangka inilah, mereka yang sudah berpendidikan tinggi dan memperoleh penghasilan baik, dapat menyumbangkan sebagian dari uangnya untuk gerakan sebagai wujud dari pelayanan sosialnya. Dengan konsep pelayanan pula, siapapun dapat menyumbang pada gerakan dengan tenaga dan kemampuan. Misalnya, siapa saja bisa menyumbangkan dirinya menjadi tenaga administratur di lembaga yang baru saja dibangun.
Gerakan ini mendapat momentum terutama pada masa di mana kebijakan liberalisasi di bawah kekuasaan Turgut Ozal pada tahun 1980-an. Pada masa itu, ia berhasil membangun sekolah. Pada dua dekade berikutnya, puluhan sekolah yang mengasosiasikan diri dengan Gerakan Gulen tumbuh. Sekolah-sekolah tersebut bahkan juga mereka kembangkan hingga ke Balkan, Unisoviet, Afrika Selatan dan beberapa negara Barat.
Sukses mendirikan sejumlah sekolah hingga ke mancanegara, Gulen kemudian mendorong gerakannya untuk mendirikan media massa yang bisa menjadi corong gagasan pendidikan dan pelayanan sebagai prinsip dasar gerakan. Lagi-lagi, liberalisasi rezim Turgut Ozal yang membuka peluang bagi terbit jurnal bulanan, Sizinti, yang kemudian menjadi jurnal bulanan paling laku se- Turki. Kemudian, gerakan ini juga berhasil merintis dan mendirikan media cetak harian, Zaman, yang belakangan menjadi koran terlair dan dicetak untuk 10 bahasan dunia dan berbagai bahasa lokal di Turki.
Tak hanya itu, belakangan, gerakan ini mendapat liputan di berbagai media internasional seperti Forbes’ Oxford Analytica, New York Times, Le Monde, The International Herald Tribune, The Economist, majalahForeign Policy dan sebagainya. Liputan-liputan tersebut tidak saja karen keberhasilan Gulen dalam bidang pendidikan dan pelayanan, tetapi juga, seperti sudah disinggung di muka, Gerakan Gulen membangun lembaga internasional yang bergerak dalam bidang dialog antar agama dan kerukunan antarumat beragama. Sebagai penggagas kerukunan, Gulen telah membawa jamaahnya yang lebih dari ratusan ribu orang untuk dapat bersikap terbuka kepada umat dari agama dan keyakinan yang berbeda. Inilah wajah Islam damai dan toleran yang bisa menyaingi pamor Islam garis keras di mata dunia internasional.
Tiga Sudut Pandang
Lalu apa kunci keberhasilan Gerakan Gulen bila dilihat dari teori gerakan sosial? Untuk menjelaskan keberhasilan gerakan ini, Helen Rose Ebaugh, profesor sosiologi di Universitas Houston, Amerika Serikat menggunakan dua perspektif.[6] Pertama, teori mobilisasi sumberdaya. Dalam gerakan sosial, efektivitas, efisiensi dan capaian maksimal amat ditentukan oleh keberhasil aktornya mengelola sumberdaya manusia dan keuangan yang tersedia. Melalui teori ini, Ebaugh ingin menginterogasi bagaimana aktor-aktor gerakan Gulen mampu mengelola sumberdaya manusia dan keuangan yang mereka miliki.Kedua, teori komitmen organisasi.
Keberhasilan sebuah gerakan juga ditentukan seberapa loyal anggotanya terhadap komitmen gerakan. Tanpa loyalitas, gerakan akan ditinggalkan para pendukungnya. Loyalitas pendukung gerakan ini dipupuk dengan cara terus menerus mengingatkan bahwa sistem dan kebijakan pemerintah masih bermasalah untuk kepentingan bersama, khususnya dari segi pelayanan untuk masyarakat luas. Kemudian, Gulen melalui media dan fasilitas yang ia punya memperlihatkan bahwa gagasan yang ia tawarkan dengan pendirikan dan pelayanan bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diatasi negara. Melalui perspektif ini, Ebaugh ingin menelusuri dasar komitmen yang berkembangan dalam gerakan Gulen, yang dapat mempererat loyalitas anggotanya hingga rela berkorban demi gerakan ini.
Ebaugh menemukan bahwa keberhasilan gerakan Gulen terletak pada komitmen yang dibangun dalam ikatan komunitas-komunitas kecil. Komunitas ini dalam tradisi Turki disebut cemaat. Cemaat dibentuk oleh komunitas Muslim yang ingin mempertahankan warisan Islam sekaligus mengadopsi modernitas. Komunitas ini biasanya terdiri dari pebisnis, guru, dokter dan orang dari profesi lainnya. Mereka tertarik berkumpul untuk mempelajari tafsir al-Quran dan ajaran agama lainnya, khususnya tafsiran ala Gulen.
Seringkali komunitas pengikut Gulen ini terdiri dari orang-orang seprofesi atau tinggal di kompleks yang sama. Kondisi ini memudahkan mereka bertukar pikiran dan menggalang dana untuk kegiatan-kegiatan pelayanan (service projects) seperti membangun lembaga pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan publik lainnya. Masing-masing komunitas diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis pelayanan yang mereka bangun.
Untuk memotivasi para pendukungnya, menurut Ebaugh, dalam ceramah dan tulisannya Gulen merujuk pada jenis filantropi Islam, seperti zakat, infaq, dan shadaqah. Tetapi ia tidak membatasi sumbangan dalam bentuk uang, melainkan dengan berbagai cara. Salah satunya berupa sumbangan tenaga untuk mengelola sekolah atau rumah sakit yang baru saja mereka dirikan secara sukarela. Pada awal gerakan, misalnya, banyak di antara pengikut Gulen yang menyumbangkan tenaga dan pikiran menjadi tenaga adminstrasi di sekolah komunitas Gulen.
Ada sebagian lain yang cukup kaya dengan menyumbangkan sejumlah uang untuk keberlangsungan gerakan tersebut. mekanisme yang disepakari adalah menyumbang 5%, 10% dan 20% dari total income per tahun. Sementara kelompok bisnis rata-rata menyumbangkan 20% dari total penghasilan tahunan mereka. Dengan kata lain, sumber utama finansial gerakan ini dari sumbangan anggota di setiap komunitasnya. Mereka independen.
Dalam pengelolaan konfigurasi keuangan, Gulen mengambil jarak. Sikap ini tidak lain, bagi Ebaugh, untuk memotivasi dan membangun kepercayaan para pendukungnya. Tidak saja mengambil jarak, tetapi uang tersebut dikelola langsung oleh komunitas masing-masing. Dalam beberapa kesempatan Gulen mendorong setiap komunitas agar mandiri secara finansial sehingga sumber dana yang ada dapat membangun lembaga pelayanan baru di tempat lain. Strategi ini berhasil mengembangkan lembaga pelayanan dan memperlebar kader.
Untuk melengkapi sudut pandang Ebough tersebut, sejumlah teoretisi seperti Hakan Yafuz (2007) memasukkan faktor eksternal berupa kesempatan politik untuk menjelaskan gerakan sosial. Gerakan sosial biasanya tumbuh sebagai respons kebijakan pemerintah yang menghilangkan hak warga negara, ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Di bawah tekanan rezim otoriter, gerakan sosial bergerak pertama-tama di bawah tanah. Kemudian, dinamika politik akan menentukan bagaimana ruang gerak yang tersedia untuk mewujudkan agenda organisasinya.[7] Dalam konteks ini, keberhasilan Gerakan Gulen tampak turut ditentukan arah mata angin penguasa dan rezim.
Sebagaimana umum diketahui bahwa sekularisasi yang diterapkan Turki, melalui Kemal Atatturk adalah jenis yang meminggirkan agama dan tradisinya. Mereka tidak ramah terhadap agama. Tidak saja menutup rapat kemungkinan ajaran agama tampail di ruang publik, segala atribut pun, seperti jilbab tidak mendapat tempat sejak dalam konstistusi. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemukakan di muka, sekularisasi juga menutup madrasah, sekolah sekolah tradisional di bidang agama bagi anak-anak. Kurikulum pendidikan agama juga dihapuskan dari kurikulum sekolah.
Kebijakan-kebijakan di atas telah mendorong Gulen sejak ia menjadi guru di Izmir untuk mendirikan perkumpulan dan menggerakkannya untuk memperbaiki keadaan. Gerakan ini mendapat momentum terutama pada masa di mana kebijakan liberalisasi di bawah kekuasaan Turgut Ozal pada tahun 1980-an. Kebijakan tersebut membuka jalam bagi Gulen melalui gerakannya untuk mengekspresikan apa yang sudah ia cita-citakan sejak awal: membangun sekolah. Pada tahun 1982, ia berhasil membuka dua sekolah, di Izmir dan di Istanbul. Pada dua dekade berikutnya, puluhan sekolah yang mengasosiasikan diri dengan Gerakan Gulen tumbuh. Sekolah-sekolah tersebut bahkan juga mereka kembangkan hingga ke Balkan, Unisoviet, Afrika Selatan dan beberapa negara Barat.
Liberalisasi juga telah mendorong umat Islam menjadi enterpreneur dalam berbagai bidang. Otomatis, pertumbuhan ekonomi melahirkan kelas menengah Muslim. Pada gilirannya, mereka yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Gerakan Gulen menyumbang sejumlah sumberdaya, baik materi maupun kapabilitas untuk kelangsungan gerakan.
Implikasi kebijakan liberalisasi tidak hanya memobilisasi ekonomi umat Islam, khususnya pengikut Gerakan Gulen menjadi kelas menengah, tetapi juga kebijakan terkait pendidikan agama berubah. Rezim Ozal mewajibkan seluruh warga negara Muslim untuk mengambil pelajaran agama sebagai counter terhadap ideologi komunisme ke Turki. Anggota parlemen boleh ke masjid bila sudah pada waktunya untuk bersembahyang. Pendek kata, kesempatan politik pada masa rezim Ozal membuka ruang kebebasan yang memungkinkan Gerakan Gulen berekplorasi membangun organsiasinya.
Pelajaran untuk Indonesia
Tidak ada gading yang tak retak, begitu pepatah lama berbunyi. Selalu ada celah kekurangan dalam setiap aktivitas manusia. Salah satu kesulitan Gerakan Gulen adalah keberlangsungan (sustainibility) di masa yang akan datang. Gerakan yang mengidentikkan pada pendirinya akan sangat bergantung pada sosok pendiri. Sebagai sebuah gerakan, ketergantungan pada pendiri itu menyulitklan ruang gerak pasca si sosok tersebut tiada. Selain itu, ketiadaan sosok pendirinya akan membuka ruang persaingan antar pengikut untuk mengukuhkan diri sebagai pewaris paling sah versi masing-masing. Akibatnya, perpecahan di antara pengikut sulit dihindari. Meski begitu, menilai Gerakan Gulen akan pecah dikemudian hari, pasca ditinggal sosok Gulen, masih harus menunggu waktunya kelak.
Terlepas dari keterbatasan tersebut, paling tidak kita bisa menemukan tiga pelajaran berharga dari kisah sukses dakwah bil hal ala Fethullah Gulen dan gerakannya untuk kita renungi. Pertama, ia membawa gagasan yang sesuai dengan kebutuhan umat. Ia menekankan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di tengah-tengah ideologi negara yang tidak ramah terhadap agama tampil di ruang publik. Sekularisasi ala Turki yang cenderung anti-agama harus dilawan dengan memperlihatkan bahwa nilai-nilai Islam sama sekali tidak mengancam pada perbedaan dan keragaman. Ia juga menekankan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan demokrasi dan sekularisme itu sendiri. Karena ajaran al-Quran menurutnya akan selalu sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Kedua, selain mempertahankan prinsip Islam sebagai jalan hidup, Gulen juga menekankan sikap terbuka terhadap perkembangan zaman. Demokrasi misalnya, adalah sistem yang dianggapnya paling masuk akal bagi prinsip Islam masuk ke dalamnya. Karena prinsip dasar ajaran Islam yang universal dapat memberi sumbangsih dalam tata aturan negara atas dasar hasil musyawarah dan mufakat. Sistem hasil musyawarh itu senantiasa terbuka untuk ditafsirkan kembali. Meski memungkinkan pada perubahan terbaru, prinsip dasar Islam akan senantiasa ikutan memberi pendasaran baru dalam konteks yang berbeda.
Ketiga, Gulen menggunkan konsep layanan (hizmet) sebagai strategi gerakan sosial. Ini adalah jenis dakwah yang langsung bermanfaat untuk kemajuan umat. Melalui layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan informasi, dan jenis layanan lainnya, Gerakan Gulen berhasil masuk ke akar rumput. Mereka berjasa terutama untuk memobilisasi kehidupan umatnya. Layanan ini bukan pekerjaan sekedarnya. Layanan dalam Gerakan Gulen dirumuskan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan ekonomi yang ada, mengeratkan kebersamaan ide melalui cemaat di bawah gagasan tafsir ala Gulen, dan mengerjakan di bawah dukungan politik yang memadai untuk mengembangkan setiap aktivitas layanan untuk umat Islam.
Bila kita bandingkan, Islam Indonesia dan Turki pernah memiliki struktur politik yang mirip. Salah satu kemiripannya adalah sikap negara terhadap Islam politik yang tidak ramah. Antara di Turki dan Indonesia, di masa rezim militer memiliki peran kunci, menganaktirikan Islam politik. Hingga masa tertentu, demokratisasi membuka peluang Islam politik pada akhirnya tampil di ruang publik. Bila keduanya memiliki kesamaan struktur kesempatan politik, maka apa yang berhasil dilakukan gerakan Gulen bisa kita lakukan di Indonesia.
Dari segi gagasan, diskusi mengenai kompatibilitas Islam dan demokrasi memiliki sejarah panjang. Hasilnya adalah mayoritas umat Islam Indonesia menilai bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Penelitian LSI tahun 2006 menunjukkan bahwa 78,4 persen Islam Indonesia meyakini hubungan tersebut. Mereka juga meyakini (85 persen) Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam.[8]
Dua pelajaran berharga lainnya barangkali pengelolaannya tidak akan selalu mudah ditiru oleh pemimpin Islam Indonesia. Pertama, Islam diajarkan sesuai dengan kebutuhan umatnya. Sebagaimana ditunjukkan di atas, Gulen melalui gerakannya berhasil merumuskan apa yang menjadi kebutuhan umat Islam di Turki. Sehingga gagasan dan kreativitas yang dikembangkan dalam gerakannya segera mendapat respons positif dari pengikut dan umat Islam pada umumnya. Oleh karena itu, bila gerakan Islam mau sukses, maka radar pemimpin Islam harus dapat menangkap signal kebutuhan umatnya.
Kedua, Gulen berhasil menjadi simbol bagi gerakan sosial atas dasar prinsip pelayanan untuk umat hingga berkembang ke mancanegara. Barangkali sudah banyak organsiasi sosial Islam di Indonesia yang menjadikan konsep pelayanan sebagai basis organisasi. Tetapi masih amat sangat terbatas. Kelemahan yang biasanya dihadapi umat Islam Indonesia adalah bukan pada bagaimana mendirikan gerakan sosial Islam, tetapi bagaimana mempertahankan gerakan tersebut dan mengembangkannya hingga mendapat pengakuan internasional. Dan, kunci dari ketahanan gerakan Gulen adalan pengelolaan yang moderen dan transparan. Sehingga sumbangan umat, tenaga, pikiran maupun materi tersalurkan efektif dan tepat sasaran.
Seandainya, strategi dakah bil hal Gerakan Gulen ditiru umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dengan gaya dan bentuk masing-masing, maka tantangan untuk menghapus persepsi Islam identik dengan kekerasan akan dengan sendirinya menghilang. Pada saat yang sama, gerakan Islam garis keras tidak lagi mendapat tempat di hati umat Islam. Dengan sendirinya mereka beradaptasi untuk juga mengembangkan dakwah Islamiyah yang mengendepankan perdamaian. Selalu ada harapan, meski tidak selalu mudah diwujudkan.
Bibliografi
Barton, Greg, “Progressive Islamic Thought, Civil Society and the Gulen Movement in the National Context: Parallels with Indonesia”, makalah dalam acara November 12-13, 2005.
Bubalo, Anthony, Greg Fealy, Whit Mason, Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia and Turkey, Lowi Institute, 2008.
Ebaugh, Helen Rose, The Gulen Movement: A Sociological Analysis of a Civic Movement Rooted in Moderat Islam, Springer, New York, 2010.
Kurzman, Charles, The Missing Martyrs: Why There are so Few Muslim Terorist?, Oxford University Press, 2011.
Lembaga Survey Indonesia (LSI), Prospek Islam Politik, rilis pada Oktober 2006.
Martin, Richard C. (ed. At all), Encyclopedia of Islam and the Muslim World, Macmillan Reference, USA, 2004.
Michel, Thomas S.J., “Peaceful Movement in the Muslim World”, dalam Thomas Banchoff (ed.), Religious Pluralism, Globalization and Global Politics, Oxford University Press, 2008.
Meyer, David dan Sidney Tarrow, Social Movement Society, Rowman and Littlefield, 1998.
Pape, Robert, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism, New York: Random House, 2005.
Shaheen, Jack, Reel Bad Arab: How Hollywood Vilifies a People, New York: Olive Brance Press, 2005.
Yafuz, Hakan, “Ruang-ruang Kesempatan, Identitas dan Makna Islam di Turki” dalam buku Quintan, Wiktorowicz (ed.) Aktivisme Islam, Jakarta: Balai Peneliaian dan Pengembangan Agama, 2007.
[1] Lihat, Robert Pape, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism, New York: Random House, 2005.
[2] Lihat, Charles Kurzman, The Missing Martyrs: Why There are so Few Muslim Terorist?, Oxford University Press, 2011.
[3] Lihat, Jack Shaheen, Reel Bad Arab: How Hollywood Vilifies a People, New York: Olive Brance Press, 2005.
[4] Lihat, Barton, Greg, “Progressive Islamic Thought, Civil Society and the Gulen Movement in the National Context: Parallels with Indonesia”, makalah dalam acara konferensi Internasional November 12-13, 2005.
[5] Lihat, David Meyer dan Sidney Tarrow, Social Movement Society, Rowman and Littlefield, 1998.
[6] Lihat, Ebaugh, Helen Rose, The Gulen Movement: A Sociological Analysis of a Civic Movement Rooted in Moderate Islam, Springer Science & Business, New York, 2010.
[7] Lihat Yafuz, Hakan, “Ruang-ruang Kesempatan, Identitas dan Makna Islam di Turki” dalam buku Quintan, Wiktorowicz (ed.) Aktivisme Islam, Jakarta: Balai Peneliaian dan Pengembangan Agama, 2007.
[8] Prospek Islam Politik, LSI, Oktober 2006.
Sumber : tulisan hasil repost dari webset Forum Muda Paramdina (Klik)

0 komentar: