KPK di Antara Pembubaran dan Penguatan
Oleh : Rijal Ramdani *)
Dalam
kontalasi politik aliansi Badan Eksekutif di tingkatan nasional, rekomendasi
untuk pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengemuka di awal
tahun 2011 di Bandung. Sehingga wacana pembubaran yang didengungkan oleh
sebahagian anggota Dewan bisa dikatakan bukanlah sesuatu yang baru dan tunggal,
karena sebahagian kelompok masyarakat pun ada yang menghendakinya. Ada beberapa
alasan yang biasanya mengemuka kenapa KPK perlu untuk dibubarkan;
Pertama,
kewenangan yang dimiliki oleh KPK sebetulnya adalah kewenangan yang sudah
dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan, dimana dalam pasal 6 UU No. 30/ 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa salah satu
tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Padahal ketiga kewenangan itu dimiliki oleh kepolisian
dan kejaksaan. Salah satu tugas pokok dari kepolisian adalah menegakkan hukum
yang dalam pasal 14 UU No. 2/ 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
tercantum bahwa dalam menegakkan hukum polisi memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Begitu juga dalam
penuntutan yang kewenangannya dimiliki oleh Kejaksaan, dalam UU Kejaksaan No.
16/ 2004 Pasal 30 salah satu kewenangan kejaksaan adalah melakukan penuntutan.
Kedua, beban
anggaran KPK dibebankan kepada APBN, sehingga hal ini bisa membengkakan
anggaran. Dimana dalam pasal 64 dinyatakan biaya yang diperlukan untuk
pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Maka untuk menghemat anggaran cukup saja,
pemberantasan korupsi diserahkan kepada Kabareskrim di Kepolisian yang memiliki
tugas membantu Kapolri dalam menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana dan Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang memiliki tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Ketiga,
alih-alih KPK dibentuk dengan harapan sebagai lembaga independen dalam
pemberantasan korupsi, tetapi Bidang Penindakan— salah satu bidang di KPK
selain dari Bidang Informasi dan Data dan Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat—yang terdiri dari Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan,
dan Subbidang Penuntutan, sebagai bidang utama dari tugas pokok dan fungsi KPK
justru formasinya diisi oleh unsure kepolisian dan kejaksaan. Oleh karenanya
tetap saja, KPK tidak bisa lepas dari unsure Kepolisian dan Kejaksaan yang
dianggap tidak kredibel untuk melakukan penindakan terhadap pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Pertanyannya
adalah; apakah benar KPK memang layak dibubarkan?
Kondisi
korupsi di Indonesia sudah dalam kondisi parah, para teoritisi hukum dan
politik mengatakan ketika dalam kondisi yang darurat atas suatu keadaan maka
menghendaki akan keberadaan lembaga independen. Di sisi lain lembaga Kepolisian
dan Kejaksaan sebagai kaki tangan pemerintah dalam penegakkan hukum justru malah
menjadi pemeran utama sebagai aktor dari tindakan-tindakan koruptif, maka
keberadaan KPK menjadi mutlak diharuskan keberadaannya. Bagi mereka yang tetap
ngotot menolak KPK dengan selalu mengatakan perlunya pembaharuan terhadap Kepolisian
dan Kejaksaan bukan dengan mendirikan lembaga independen, sama sekali tidak
bisa dibenarkan, mengingat sekalipun
jargon pemerintah perang terhadap korupsi, namun tidak nampak terlihat adanya
upaya reformasi dan kuras bak di kedua lembaga tersebut. Pantas bila dalam
hasil Survey yang dilakukan LSI di Tahun 2010 tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan SBY dalam pemberantasan korupsi turun menjadi 34% dari 83%
di awal kepemimpinannya[1].
Terkait
dengan keinginan sebahagian anggota DPR untuk membubarkan KPK bukanlah sesuatu
yang perlu ditanggapi dengan serius, hal itu hanya tindakan reaksioner
sensasional. Persoalan ini tidaklah berdiri sendiri, sangat terkait dengan
kondisi keterjepitan DPR dalam system yang menjerat. Dimana kursi DPR tidak
bisa diduduki kecuali melalui kontes Pemilu dengan mempergunakan partai sebagai
kendaraannya. Kondisi Pemilu dalam system proporsional terbuka menuntut parpol
untuk mengeluarkan biyaya yang sangat tinggi, padahal parpol tidak memiliki
dana kecuali bersumber dari iuran anggota, APBN/ APBD, dan sumbangan yang tidak
mengikat. Ketiga sumber itu masih tidak akan cukup dalam mendanai parpol, oleh
karenanya yang memungkinkan adalah melakukan pengerukan terhadap dana-dana proyek
atau program-program yang didanai APBN dan APBD. Pantas bila dalam hasil survey
LSI dalam sepuluh tahun terakhir tetap menetapkan DPR sebagai lembaga terkorup
dengan angka 3,6 setelah parpol, kepolisian, kehakiman, dan birokrasi.
Pembubaran
KPK tidak akan pernah terjadi, yang memungkinkan adalah penggembusan dan
menggoyang keseimbangnnya. KPK akan selalu mendapatkan dukungan dari kekuatan
civil society. Justru yang seharusnya dilakukan adalah penggembusan terhadap
kewenangan DPR yang begitu berlebih, karena saat ini DPR sudah sangat terlalu
kuat, hampir seluruh lembaga tinggi Negara diduduki oleh mantan anggota DPR
yang berasal dari parpol. Dengan kewenangannya DPR bisa mengendalikan
pengangkatan pimpinan-pimpinan lembaga-lembaga tinggi dan independen Negara,
bahkan sampai pengangkatan duta asing. Sebaliknya perlu dilakukan penguatan
terhadap institusi KPK. Beban kerja yang ditanggung KPK begitu besar, sementara
struktur organisasi KPK sangat kecil sekali. Hal ini menyebabkan ketidak
seimbangan antara beban kerja dengan kekuatan bangunan organisasinya.
Seandainya
keinginan untuk melakukan penguatan terhadap institusi KPK, maka ada lima
sektor yang harus dikuatkan yaitu; dilihat dari aspek SDM, pegawai yang berada
di KPK harus benar-benar bersih, harus dipikirkan juga mekanisme yang tepat
supaya kelima pimpinannya sekecil mungkin mendapatkan intervensi dari parpol-parpol
tertentu di DPR. Anggaran KPK dari APBN harus diperbesar, dalam APBN 2010
misalkan anggaran untuk KPK hanya sekitar 392,1 milyar jauh lebih besar
anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo yang mencapai 1.216,1
trilyun. Perlu juga penguatan struktur hirarki organisasinya, system manajerialnya,
dan menyempurnakan alat-alat kelengkapan yang mendukung kinerjanya.
[1]
Kompas/19/10/2011
*) Mantan
Wakil
Presiden BEM KM UMY Periode 2009-2010. Disampaikan dalam Seminar Nasional BEM
KM UMY bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik
Indonesia.
0 komentar: