Belajar Dari Negeri Mullah
Oleh : Fauzi
Fashri*)
Chu buvad, Taneh-e man buvad (ketika
ada, maka saya ada). Ini adalah sepenggal syair yang dituturkan oleh
Ferdowsi—penyair legendaris bangsa Iran, dalam magnum opusnya Surat Raja (Shanameh).
Karya Shanameh membuat syair-syair
kepahlawanan yang memberi inspirasi bagi masyarakat Iran guna meraih kedaulatan
bangsanya. Di saat bangsa Arab mendominasi kosa kata kalangan cendiawan dan
penyair pada abad ke-3-11 H. Ferdowsi dengan berani keluar dari pakem
mainstream dengan mencerminkan kisah-kisah kepahlawanan dan kebesaran bangsa
Persia.
Shanameh ditulis oleh Ferdowsi untuk
membangkitkan nasionalisme bangsa dan menumbuhkan kebanggaan akan bahasa
sendiri yang sudah lama hilang akibat dominasi penggunaan bahasa Arab pada masa
itu. Lewat karya genuine-nya,
Ferdowsi menggugah kesadaran nasionalisme masyarakat akan tradisi, sejarah dan
cerita-cerita pahlawan bangsanya sendiri. Ia membuka lembar-lembar kejayaan bangsanya
dan menegaskan bahwa untuk meraih kejayaan tersebut, semua komponen masyarakat
mestilah paham dan sadar akan sejarah bangsanya guna menghidupkan kembali
nasionalisme yang sempat redup.
Dengan
begitu, rakyat memiliki gelora cinta akan sejarah bangsanya. Dan ketinggian
peradaban yang dimiliki. Rakyat tidak akan rela ketika bangsanya diinjak-injak,
apalagi menjual tanah airnya untuk dimiliki negara lain. Jiwa kebangsaan tadi
mendarah daging dalam pikiran dan tindakan rakyat (termasuk pemimipin) dengan
tidak membiarkan bangsa lain mendiktenya, merampas kekayaan alamnya dan
memberangus hak-hak rakyat demi bangsa lain. Sudah semestinya, secara rendah
hati, kita belajar dari bangsa yang mampu menjaga kedaulatannya—seperti Iran. Yang
mencontohkan bagaimana membangun bangsa lewat kemandirian dan keyakinan bahwa
bangsanya dapat maju karena dirinya sendiri, bukan karena pertolongan bangsa
lain.
Tidak bisa
dipungkiri, Iran dibawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad, kini menjadi negara
yang paling berpengaruh di Timur Tengah. Belum lagi, kemampuan nuklir yang
membuat negara barat ketar-ketir. Iran
menjadi symbol perlawanan atas negara adidaya disamping Venezuela dan Bolivia. Kepemimpinan
presiden Mahmoud Ahmadinejad yang dikenal sangat berani menantang kesombongan
Amerika Serikat dibawah kendali George W Bush, sungguh menggelitik untuk
dicermati ditengah-tengah lemahnya kepemimpinan nasional bangsa kita.
Ketika berkesempatan
mengikuti short course selama 2 bulan
di Iran, penulis bertanya kepada salah satu profesor yang menjadi pengajar kami
“apa yang menjadi factor utama negara Iran dapat berkembang maju seperti
sekarang ini?”. Profesor tadi menjawab singkat “factor utamanya karena Iran di embargo”.
Sejarah telah mencatat sejak 22 Mei 1980, Iran mengalami embargo ekonomi dari
AS, belum lagi Iran didera perang selama 8 tahun setelah tahun pertama revolusi
Iran. Embargo berlangsung hingga sekarang, tapi masyarakat Iran masih tetap
bertahan. Embargo bukan malah menjadikan orang-orang malas bekerja, memohon welas bantuan bangsa lain, atau
mendorong perpecahan di internal bangsa Iran.
Lewat
embargo, orang-orang iran tersadarkan bahwa mereka masih hidup dengan keringat
mereka. Bekerja keras guna menunjukkan kepada dunia bahwa Iran adalah bangsa
yang mandiri dan berdaulat. Mari kita dengar sejenak ucapan Imam Khomeini untuk
memberi semangat rakyat Iran dalam menghadapi embago “kita jangan pernah takut
atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja,
dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo,
hanyalah orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidup
semata”. Mata dunia terbelalak saat melihat kemajuan Iran diberbagai bidang
seraya menunjukkan jikalau embargo bukanlah akhir dari dunia. Pada tahun
2006-2007, investasi asing mencapai nilai tertinggi di Iran, berbarengan dengan
pemberitaan gencar mengenai resolusi embargo terhadap Iran akibat proyek
nuklirnya.
Lazimnya,
ketika kita mendengar negara Iran, maka yang terbayangkan adalah negerinya pada
Mullah (ulama), dimana peran Mullah sangat dominan dalam proses
politik. Citra yang terbangun di barat, Iran adalah sebuah negara yang dikuasai
oleh pemimpin otoritarian kaum agamawan yang serta merta dicap sebagai negara
tidak demokratis. Kalau kita teliti lebih seksama, Iran memiliki sistem
pemerintahan yang unik untuk kemudian mengembangkan sistem demokrasi yang khas ala
Iran.
Meski berbentuk
republik, Iran mengenal posisi Rahbar
atau leader yang ditahbiskan sebagai
pemimpin tertinggi dalam republik islam Iran. Berbeda dengan opini yang beredar
di barat bahwa Iran is undemocratice
state. Rahbar sebagai posisi
tertinggi sebenarnya dipilih rakyat secara langsung. Setiap 8 tahun sekali,
rakyat memilih 86 ulama dari berbagai penjuru negeri untuk duduk dalam sebuah
dewan yang dikenal dengan istilah Majlis-e Khubregan (Dewan Pakar). Melalui
dewan pakar inilah diadakan sidang untuk memilih satu ulama yang berhak
menduduki posisi Rahbar.
Rahbar memiliki kekuasaan yang melebihi
Presiden. Namun, kekuasaannya tidak bersifat semena-mena, ia mesti mengikuti
prosedur legal. Bila Presiden dianggap melanggar hukum, setelah mendapat mosi
tidak percaya dari Parlemen dan divonis
bersalah dari Mahkamah Agung, Rahbarlah
yang akan memecat Presiden. Kalau begitu siapa yang memiliki otoritas mengawas Rahbar? Dewan pakarlah yang memiliki
wewenang memecat Rahbar, apabila
telah melakukan pelanggaran hukum. Menjadi terang bahwa Iran bukanlah negara
yang tidak demokratis—kecuali kalau ukurannya adalah demokrasi liberal barat.
Iran memiliki konsepsi demokrasi tersendiri yang khas. Bukanlah hal yang
terpenting dalam demokrasi yaitu tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi
rakyat. Iran sedang mengajarkan kepada kita bagaimana demokrasi subtantif
diselenggarakan secara baik yang tidak semata-mata terhenti pada demokrasi prosedural.
Fenomena Iran
menyeruak ketika presiden Mahmoud Ahmadinejad dengan lantang memimpin bangsanya
untuk melawan kedzaliman structural dan ketidakadilan global yang dilancarkan
AS beserta sekutunya. Dalam wawancara dengan TV CBN, Mahmoud Ahmadinejad
menuturkan bahwa dunia harus diatur dengan undang-undang dan keadilan. Tanpa adanya
undang-undang mengakibatkan kehancuran segala sesuatu. Sembari mengutip pepatah
Persia “batu yang ditumpukkan diatas batu tidak akan terikat satu sama lain”, Mahmoud
Ahmadinejad menegaskan bahwa kita membutuhkan undang-undang dan keadilan untuk
mengatur dunia. Tanpa keduanya, untuk
mengatur desa pun kita tidak akan mampu.
Kepemimpinan
Mahmoud Ahmadinejad merupakan gabungan antara keberanian untuk mengambil
keputusan dan ketidaktakutan terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ketika wajah
dunia kehilangan rona kemanusiaannya akibat dari ketidakadilan yang
dipraktekkan oleh negara superpower. Iran
dibawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad mengembalikan martabat kemanusiaan
pada posisi tertinggi. Kedzaliman yang luar biasa ketika negara-negara adidaya
menindas rakyat yang tidak bersalah.
Mahmoud
Ahmadinejad adalah simbol perlawanan terhadap penyimpangan, ketidakadilan dan
kedzaliman. Ia merepresentasikan psikologi mustadh’afin—meminjam
istilah Azyamardi Azra—sebuah jiwa yang bersarang dalam tubuh-tubuh orang
tertindas dan teraniaya. Psikologi mustadh’afin
bekerja efektif ketidak berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang menindas, baik
itu rezim politik dalam negeri maupun keputusan dan kebijakan politik
negara-negara kuat yang menindas dan tidak adil. Psikologi mustadh’afin mengakar kuat dalam masyarakat Iran dengan tradisi Syi’ah
yang kental. Sejatinya psikis mustadh’afin tidak saja dimonopoli oleh negara
Iran, belahan dunia lainnnya seperti Amerika Latin, Afrika, sebagian Asia juga
memilki psikologi ini.
Psikologi
mereka yang teraniaya dan tertindas ini membutuhkan kepemimpinan kolektif yang
diiringi dengan keberanian serta visi keadilan memimpin dunia. Dalam suratnya
kepada presiden AS George W Bush, Mahmoud Ahmadinejad mempertanyakan mengapa
Amerika menentang kepemimpinan yang lahir dari proses pemilihan umum yang
demokratis, sementara kepemimpinan yang lahir dari proses kudeta tidak
ditentang malah didukung. Dengan santun Mahmoud Ahmadinejad menasehati Bush “menurut
saya, Bush bisa lebih melayani rakyatnya sendiri. Ia dapat memperbaiki
perekonomian AS dengan metode yang benar tentunya. Tanpa perlu membunuh,
menjajah dan mengecam. Ia perlu melihat warga AS sendiri dan mencari tahu apa
yang mereka katakan tentangnya. Saya sangat sedih saat mendengar 1 % dari
rakyat AS melalui hari-harinya di penjara. 20 % rakyat AS buta huruf dan
sekitar 45 % warga AS tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Yang paling membuat
saya sedih adalah dalam sejarah satu abadnya AS telah telah terjadi 111 kali
mereka melakukan peperangan. Menurut saya, Bush bisa melihat masalah dengan
kaca mata lain. Tentunya, beliau bebas untuk bersikap, namun jangan berharap
masyarakat akan mengikutinya dan pada waktunya mereka akan menjawab perilakunya
selama ini”.
Kepemimpinan
Mahmoud Ahmadinejad dapat dijadikan ilham
bagi kepempinan nasional kita, bahwa pemimpin yang membela rakyat akan
selalu dicintai rakyatnya; pemimpin yang dilandaskan keberanian untuk tidak
tunduk pada kekuasaan adidaya selalu mengantarkannya pada simpati rakyat
banyak. Sebuah prototype pemimpin
yang satu kata dan melangkah. Mahmoud Ahmadinejad dalam membangkitkan
nasionalisme rakyat Iran dengan tidak menafikan kelemahan yang ada. Menempatkan
bangsanya pada posisi tertinggi; tidak menggadaikan martabat bangsa dibawah
kendali bangsa lain.
Akhirul kalam, masa
depan negeri ini berpulang keberanian pemimpin kita untuk membangun bangsa
secara mandiri dan berdikari, tidak berpangku pada bantuan negara lain. Karena,
sejarah mencatat, pemimpin yang berani bertindak dan berkata untuk
kesejahteraan rakyatnya akan mendapatkan cinta dari rakyatnya. Sementara
pemimpin yang retak antara kata dan lakunya tidak akan mendatangkan simpati
dari rakyatnya sendiri [.]
*) Pegiat
Senior MIM Indigenous School
Sumber gambar (Klik!)
0 komentar: