Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Belajar Dari Negeri Mullah


Oleh : Fauzi Fashri*)

Chu buvad, Taneh-e man buvad (ketika ada, maka saya ada). Ini adalah sepenggal syair yang dituturkan oleh Ferdowsi—penyair legendaris bangsa Iran, dalam magnum opusnya Surat Raja (Shanameh). Karya Shanameh membuat syair-syair kepahlawanan yang memberi inspirasi bagi masyarakat Iran guna meraih kedaulatan bangsanya. Di saat bangsa Arab mendominasi kosa kata kalangan cendiawan dan penyair pada abad ke-3-11 H. Ferdowsi dengan berani keluar dari pakem mainstream dengan mencerminkan kisah-kisah kepahlawanan dan kebesaran bangsa Persia.

Shanameh ditulis oleh Ferdowsi untuk membangkitkan nasionalisme bangsa dan menumbuhkan kebanggaan akan bahasa sendiri yang sudah lama hilang akibat dominasi penggunaan bahasa Arab pada masa itu. Lewat karya genuine-nya, Ferdowsi menggugah kesadaran nasionalisme masyarakat akan tradisi, sejarah dan cerita-cerita pahlawan bangsanya sendiri. Ia membuka lembar-lembar kejayaan bangsanya dan menegaskan bahwa untuk meraih kejayaan tersebut, semua komponen masyarakat mestilah paham dan sadar akan sejarah bangsanya guna menghidupkan kembali nasionalisme yang sempat redup.

Dengan begitu, rakyat memiliki gelora cinta akan sejarah bangsanya. Dan ketinggian peradaban yang dimiliki. Rakyat tidak akan rela ketika bangsanya diinjak-injak, apalagi menjual tanah airnya untuk dimiliki negara lain. Jiwa kebangsaan tadi mendarah daging dalam pikiran dan tindakan rakyat (termasuk pemimipin) dengan tidak membiarkan bangsa lain mendiktenya, merampas kekayaan alamnya dan memberangus hak-hak rakyat demi bangsa lain. Sudah semestinya, secara rendah hati, kita belajar dari bangsa yang mampu menjaga kedaulatannya—seperti Iran. Yang mencontohkan bagaimana membangun bangsa lewat kemandirian dan keyakinan bahwa bangsanya dapat maju karena dirinya sendiri, bukan karena pertolongan bangsa lain.

Tidak bisa dipungkiri, Iran dibawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad, kini menjadi negara yang paling berpengaruh di Timur Tengah. Belum lagi, kemampuan nuklir yang membuat negara barat ketar-ketir. Iran menjadi symbol perlawanan atas negara adidaya disamping Venezuela dan Bolivia. Kepemimpinan presiden Mahmoud Ahmadinejad yang dikenal sangat berani menantang kesombongan Amerika Serikat dibawah kendali George W Bush, sungguh menggelitik untuk dicermati ditengah-tengah lemahnya kepemimpinan nasional bangsa kita.

Ketika berkesempatan mengikuti short course selama 2 bulan di Iran, penulis bertanya kepada salah satu profesor yang menjadi pengajar kami “apa yang menjadi factor utama negara Iran dapat berkembang maju seperti sekarang ini?”. Profesor tadi menjawab singkat “factor utamanya karena Iran di embargo”. Sejarah telah mencatat sejak 22 Mei 1980, Iran mengalami embargo ekonomi dari AS, belum lagi Iran didera perang selama 8 tahun setelah tahun pertama revolusi Iran. Embargo berlangsung hingga sekarang, tapi masyarakat Iran masih tetap bertahan. Embargo bukan malah menjadikan orang-orang malas bekerja, memohon welas bantuan bangsa lain, atau mendorong perpecahan di internal bangsa Iran.

Lewat embargo, orang-orang iran tersadarkan bahwa mereka masih hidup dengan keringat mereka. Bekerja keras guna menunjukkan kepada dunia bahwa Iran adalah bangsa yang mandiri dan berdaulat. Mari kita dengar sejenak ucapan Imam Khomeini untuk memberi semangat rakyat Iran dalam menghadapi embago “kita jangan pernah takut atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja, dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo, hanyalah orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidup semata”. Mata dunia terbelalak saat melihat kemajuan Iran diberbagai bidang seraya menunjukkan jikalau embargo bukanlah akhir dari dunia. Pada tahun 2006-2007, investasi asing mencapai nilai tertinggi di Iran, berbarengan dengan pemberitaan gencar mengenai resolusi embargo terhadap Iran akibat proyek nuklirnya.

Lazimnya, ketika kita mendengar negara Iran, maka yang terbayangkan adalah negerinya pada Mullah (ulama), dimana peran Mullah sangat dominan dalam proses politik. Citra yang terbangun di barat, Iran adalah sebuah negara yang dikuasai oleh pemimpin otoritarian kaum agamawan yang serta merta dicap sebagai negara tidak demokratis. Kalau kita teliti lebih seksama, Iran memiliki sistem pemerintahan yang unik untuk kemudian mengembangkan sistem demokrasi yang khas ala Iran.

Meski berbentuk republik, Iran mengenal posisi Rahbar atau leader yang ditahbiskan sebagai pemimpin tertinggi dalam republik islam Iran. Berbeda dengan opini yang beredar di barat bahwa Iran is undemocratice state. Rahbar sebagai posisi tertinggi sebenarnya dipilih rakyat secara langsung. Setiap 8 tahun sekali, rakyat memilih 86 ulama dari berbagai penjuru negeri untuk duduk dalam sebuah dewan  yang dikenal dengan istilah Majlis-e Khubregan (Dewan Pakar). Melalui dewan pakar inilah diadakan sidang untuk memilih satu ulama yang berhak menduduki posisi Rahbar.

Rahbar memiliki kekuasaan yang melebihi Presiden. Namun, kekuasaannya tidak bersifat semena-mena, ia mesti mengikuti prosedur legal. Bila Presiden dianggap melanggar hukum, setelah mendapat mosi tidak percaya dari Parlemen  dan divonis bersalah dari Mahkamah Agung, Rahbarlah yang akan memecat Presiden. Kalau begitu siapa yang memiliki otoritas mengawas Rahbar? Dewan pakarlah yang memiliki wewenang memecat Rahbar, apabila telah melakukan pelanggaran hukum. Menjadi terang bahwa Iran bukanlah negara yang tidak demokratis—kecuali kalau ukurannya adalah demokrasi liberal barat. Iran memiliki konsepsi demokrasi tersendiri yang khas. Bukanlah hal yang terpenting dalam demokrasi yaitu tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Iran sedang mengajarkan kepada kita bagaimana demokrasi subtantif diselenggarakan secara baik yang tidak semata-mata terhenti pada demokrasi prosedural.

Fenomena Iran menyeruak ketika presiden Mahmoud Ahmadinejad dengan lantang memimpin bangsanya untuk melawan kedzaliman structural dan ketidakadilan global yang dilancarkan AS beserta sekutunya. Dalam wawancara dengan TV CBN, Mahmoud Ahmadinejad menuturkan bahwa dunia harus diatur dengan undang-undang dan keadilan. Tanpa adanya undang-undang mengakibatkan kehancuran segala sesuatu. Sembari mengutip pepatah Persia “batu yang ditumpukkan diatas batu tidak akan terikat satu sama lain”, Mahmoud Ahmadinejad menegaskan bahwa kita membutuhkan undang-undang dan keadilan untuk mengatur dunia. Tanpa keduanya,  untuk mengatur desa pun kita tidak akan mampu.

Kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad merupakan gabungan antara keberanian untuk mengambil keputusan dan ketidaktakutan terhadap siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ketika wajah dunia kehilangan rona kemanusiaannya akibat dari ketidakadilan yang dipraktekkan oleh negara superpower. Iran dibawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad mengembalikan martabat kemanusiaan pada posisi tertinggi. Kedzaliman yang luar biasa ketika negara-negara adidaya menindas rakyat yang tidak bersalah.

Mahmoud Ahmadinejad adalah simbol perlawanan terhadap penyimpangan, ketidakadilan dan kedzaliman. Ia merepresentasikan psikologi mustadh’afin—meminjam istilah Azyamardi Azra—sebuah jiwa yang bersarang dalam tubuh-tubuh orang tertindas dan teraniaya. Psikologi mustadh’afin bekerja efektif ketidak berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang menindas, baik itu rezim politik dalam negeri maupun keputusan dan kebijakan politik negara-negara kuat yang menindas dan tidak adil. Psikologi mustadh’afin mengakar kuat dalam masyarakat Iran dengan tradisi Syi’ah yang kental. Sejatinya psikis mustadh’afin tidak saja dimonopoli oleh negara Iran, belahan dunia lainnnya seperti Amerika Latin, Afrika, sebagian Asia juga memilki psikologi ini.

Psikologi mereka yang teraniaya dan tertindas ini membutuhkan kepemimpinan kolektif yang diiringi dengan keberanian serta visi keadilan memimpin dunia. Dalam suratnya kepada presiden AS George W Bush, Mahmoud Ahmadinejad mempertanyakan mengapa Amerika menentang kepemimpinan yang lahir dari proses pemilihan umum yang demokratis, sementara kepemimpinan yang lahir dari proses kudeta tidak ditentang malah didukung. Dengan santun Mahmoud Ahmadinejad menasehati Bush “menurut saya, Bush bisa lebih melayani rakyatnya sendiri. Ia dapat memperbaiki perekonomian AS dengan metode yang benar tentunya. Tanpa perlu membunuh, menjajah dan mengecam. Ia perlu melihat warga AS sendiri dan mencari tahu apa yang mereka katakan tentangnya. Saya sangat sedih saat mendengar 1 %   dari rakyat AS melalui hari-harinya di penjara. 20 % rakyat AS buta huruf dan sekitar 45 % warga AS tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Yang paling membuat saya sedih adalah dalam sejarah satu abadnya AS telah telah terjadi 111 kali mereka melakukan peperangan. Menurut saya, Bush bisa melihat masalah dengan kaca mata lain. Tentunya, beliau bebas untuk bersikap, namun jangan berharap masyarakat akan mengikutinya dan pada waktunya mereka akan menjawab perilakunya selama ini”.

Kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad dapat dijadikan ilham bagi kepempinan nasional kita, bahwa pemimpin yang membela rakyat akan selalu dicintai rakyatnya; pemimpin yang dilandaskan keberanian untuk tidak tunduk pada kekuasaan adidaya selalu mengantarkannya pada simpati rakyat banyak. Sebuah prototype pemimpin yang satu kata dan melangkah. Mahmoud Ahmadinejad dalam membangkitkan nasionalisme rakyat Iran dengan tidak menafikan kelemahan yang ada. Menempatkan bangsanya pada posisi tertinggi; tidak menggadaikan martabat bangsa dibawah kendali bangsa lain.

Akhirul kalam, masa depan negeri ini berpulang keberanian pemimpin kita untuk membangun bangsa secara mandiri dan berdikari, tidak berpangku pada bantuan negara lain. Karena, sejarah mencatat, pemimpin yang berani bertindak dan berkata untuk kesejahteraan rakyatnya akan mendapatkan cinta dari rakyatnya. Sementara pemimpin yang retak antara kata dan lakunya tidak akan mendatangkan simpati dari rakyatnya sendiri [.]

*) Pegiat Senior MIM Indigenous School

Sumber gambar (Klik!)

0 komentar: