Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Dilema Demokrasi: Alternative Gerakan Bagi GERMA



Pasca runtuhnya orde baru Indonesia memutuskan untuk menganut system demokrasi—sekalipun Negara demokrasi modern telah ada sejak awal republic ini berdiri. System demokrasi di dalamnya mengandung dua unsure; liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik. Sebahagian kelompok mendukung terhadap demokrasi tapi sebahagian lagi menolaknya.

Mereka yang mendukung mengatakan; Indonesia bisa menjadi kekuatan terbesar di ASEAN karena memiliki jumlah penduduk yang begitu tinggi, kekayaan alam yang berlimpah, dan memliki system demokrasi. Sehingga dengan system demokrasi itulah bisa terjadi dialog dan kompetisi untuk membawa arah dan pembangunan Negara. Begitupun dengan kebanyakan pemikir-pemikir bebas di kampus, Jaringan islam Liberal, gerakan Sosialisme kiri, dan bahkan gerakan mahasiswa berikut gerakan ekstrim kanan. Semuanya diuntungkan oleh adanya kebebasan berpikir, berserikat, dan berpolitik yang dilindungi konstitusi atas nama demokrasi.

Sementara yang menolak mengatakan, masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi post tradisional, belum sanggup untuk meniru demokrasi barat yang kondisi masyarakatnnya sudah berada pada masyarakat industry modern. Bangsa indonesia berada pada pase berkembang yang mengharuskan adanya pembangunan dalam infrastruktur dasar; irigasi, jembatan, jalan, pelabuhan, dan lainnya, dan itu tak mungkin dilakukan dalam system politik yang demokratis. Di sisi lain demokrasi hanya bisa dilakukan apabila 70 % masyarakat sudah berpendidikan di atas SMA, sementara di Indonesia justru 70 % masyarakatnya masih berpendidikan SD.

Yang jelas, apakah sebahagian gerbong mendukung atau menolak, Indonesia telah masuk pada perangkap demokrasi liberal. Demokrasi dipilih oleh mayoritas Negara-negara di dunia karena memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan system-sistem yang lainnya. Mengingat di dalam demokrasi dianut beberapa prinsip fundamental; (1) adanya kebebasan berpendapat, berserikat, dan berpolitik, (2) kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, (3) adanya pembagian kekuasaan pada lembaga-lembaga tinggi Negara, dan (4) adanya mekanisme Pemilihan Umum dalam peralihan dan pergantian kekuasaan.

Sekalipun terlihat sangat ideal sebagai sistem, demokrasi tetaplah muncul dari prinsip kapitalisme yang berbasis pada individu. Demokrasi tidak lahir dari ruang yang hampa, dibaliknya ada kepentingan besar yang hendak mengisap. Prinsip dari kapitalisme adalah akumulasi capital yang dilakukan dengan cara berproduksi dan memperluas pasar, maka Negara yang telah menganut system demokrasi liberal barat sebetulnya adalah Negara sebagai target pasar Negara-negara maju untuk diekspansi dan dikolonialisasi. Oleh karenanya tidak salah bila sebahagian pakar mengatakan sesungguhnya demokrasi berwatak kolonialis kapitalistik.

Prinsip-prinsip dalam demokrasi hanyalah kebohongan belaka. Dimana; kebebasan berpendapat, berserikat, dan apalagi berpolitik hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh kaum borjuis saja. Kekuasaan tertinggi sama-sekali tidak berada di tangan semua warga Negara, tetapi di kelompok warga tertentu yang memiliki akses terhadap politik dan ekonomi. Sekalipun kekuasaan terbagi-bagi pada lembaga-lembaga tinggi Negara, tetapi pada hakikatnya kekuasaan itu tetap dipegang oleh kelompok masyarakat tertentu untuk mengisap kelompok masyarakat lainnya. Mekanisme pemilihan umum seolah benar memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menyikat posisi strategis struktural Negara, tapi pada hakikatnya pemilu hanya formalisasi dalam berdemokrasi, karena siapa yang akan menjadi pemenang perlombaan telah dipilihkan oleh kekuatanan supra natural. Hal itu sangat mudah untuk dilakukan, karena aturan permainan mereka yang membuat, uang dan modal pun mereka yang memiliki.

Organisasi pergerakan mahasiswa hanyalah bagian terkecil dari kekuatan masyarakat, di antara organisasi kepemudaan, LSM, ormas, dan Partai Politik. Di sisi lain organisasi mahasiswa sesungguhnya tidak bisa diharapkan mampu melakukan perubahan, karena; elite tertinggi dalam hirarki organisasi telah menjadi kaki tangan elit politik, mayoritas organisasi pergerakan mahasiswa hanya pelacur kekuasaan dan sangat pragmatis, dan di sisi lain  generasi muda bangsa dihabisi oleh budaya konsumtif, glamor, narkoba, dan seks bebas. Andaipun mau untuk melakukan perubahan, maka gerakan mahasiswa harus kembali melakukan pembangunan dari tingkat yang terbawah dengan melakukan pembasisan kader semilitan dan seidealis mungkin, memutus kepelacuran dengan jenjang yang lebih tinggi, berpijak pada pijakan kebenaran yang diyakini, dan selalu melakukan konsolidasi dengan akar-akar dari organisasi lain yang memiliki cita-cita sama. Kata kuncinya adalah tak semua mereka yang satu organisasi dengan kita adalah kawan, sebahagian dari mereka adalah musuh, tak semua mereka yang berada di luar organisasi kita competitor atau musuh, sebahagian dari mereka justru kawan.

Adapun pilihan strategis sebagai goal dari perjuangannya bisa dalam tiga bentuk; melakukan perubahan system secara menyeluruh, dengan membekukan konstitusi dan melakukan sidang rakyat, sehingga bisa menendang intervensi kekuatan supra natural. Atau secara perlahan kader-kader yang militan bisa memasuki pos-pos strategis structural alat-alat kelengkapan pemerintahan lokal  untuk melakukan perubahan di daerah-daerah karena pusat sudah gelap tidak bisa diharapkan. Atau plihan bijak  lainnya, kita bersama-sama mengabaikan Negara, menganggap Negara tidak ada, untuk apa memikirkan Negara, karena Negara pun tak memikirkan nasib kita sebagai rakyatnya, banyak hal yang bisa kita perbuat untuk umat manusia dengan tanpa menggunakan Negara sebagai instrumennya.       

**) Pegiat MIM Indigenous School 


0 komentar: