Dilema Demokrasi: Alternative Gerakan Bagi GERMA
Oleh : Rijal Ramdani
Pasca runtuhnya orde baru Indonesia memutuskan
untuk menganut system demokrasi—sekalipun Negara demokrasi modern telah ada
sejak awal republic ini berdiri. System demokrasi di dalamnya mengandung dua
unsure; liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik. Sebahagian kelompok mendukung
terhadap demokrasi tapi sebahagian lagi menolaknya.
Mereka yang mendukung mengatakan; Indonesia bisa
menjadi kekuatan terbesar di ASEAN karena memiliki jumlah penduduk yang begitu
tinggi, kekayaan alam yang berlimpah, dan memliki system demokrasi. Sehingga
dengan system demokrasi itulah bisa terjadi dialog dan kompetisi untuk membawa
arah dan pembangunan Negara. Begitupun dengan kebanyakan pemikir-pemikir bebas
di kampus, Jaringan islam Liberal, gerakan Sosialisme kiri, dan bahkan gerakan
mahasiswa berikut gerakan ekstrim kanan. Semuanya diuntungkan oleh adanya
kebebasan berpikir, berserikat, dan berpolitik yang dilindungi konstitusi atas
nama demokrasi.
Sementara yang menolak mengatakan, masyarakat
Indonesia masih berada dalam kondisi post tradisional, belum sanggup untuk
meniru demokrasi barat yang kondisi masyarakatnnya sudah berada pada masyarakat
industry modern. Bangsa indonesia berada pada pase berkembang yang mengharuskan
adanya pembangunan dalam infrastruktur dasar; irigasi, jembatan, jalan,
pelabuhan, dan lainnya, dan itu tak mungkin dilakukan dalam system politik yang
demokratis. Di sisi lain demokrasi hanya bisa dilakukan apabila 70 % masyarakat
sudah berpendidikan di atas SMA, sementara di Indonesia justru 70 %
masyarakatnya masih berpendidikan SD.
Yang jelas, apakah sebahagian gerbong mendukung
atau menolak, Indonesia telah masuk pada perangkap demokrasi liberal. Demokrasi
dipilih oleh mayoritas Negara-negara di dunia karena memang memiliki kelebihan
dibandingkan dengan system-sistem yang lainnya. Mengingat di dalam demokrasi
dianut beberapa prinsip fundamental; (1) adanya kebebasan berpendapat,
berserikat, dan berpolitik, (2) kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,
(3) adanya pembagian kekuasaan pada lembaga-lembaga tinggi Negara, dan (4)
adanya mekanisme Pemilihan Umum dalam peralihan dan pergantian kekuasaan.
Sekalipun terlihat sangat ideal sebagai sistem,
demokrasi tetaplah muncul dari prinsip kapitalisme yang berbasis pada individu.
Demokrasi tidak lahir dari ruang yang hampa, dibaliknya ada kepentingan besar
yang hendak mengisap. Prinsip dari kapitalisme adalah akumulasi capital yang
dilakukan dengan cara berproduksi dan memperluas pasar, maka Negara yang telah
menganut system demokrasi liberal barat sebetulnya adalah Negara sebagai target
pasar Negara-negara maju untuk diekspansi dan dikolonialisasi. Oleh karenanya
tidak salah bila sebahagian pakar mengatakan sesungguhnya demokrasi berwatak
kolonialis kapitalistik.
Prinsip-prinsip dalam demokrasi hanyalah kebohongan
belaka. Dimana; kebebasan berpendapat, berserikat, dan apalagi berpolitik hanya
bisa dilakukan dan dinikmati oleh kaum borjuis saja. Kekuasaan tertinggi
sama-sekali tidak berada di tangan semua warga Negara, tetapi di kelompok warga
tertentu yang memiliki akses terhadap politik dan ekonomi. Sekalipun kekuasaan
terbagi-bagi pada lembaga-lembaga tinggi Negara, tetapi pada hakikatnya
kekuasaan itu tetap dipegang oleh kelompok masyarakat tertentu untuk mengisap
kelompok masyarakat lainnya. Mekanisme pemilihan umum seolah benar memberikan
kesempatan bagi siapapun untuk menyikat posisi strategis struktural Negara,
tapi pada hakikatnya pemilu hanya formalisasi dalam berdemokrasi, karena siapa
yang akan menjadi pemenang perlombaan telah dipilihkan oleh kekuatanan supra
natural. Hal itu sangat mudah untuk dilakukan, karena aturan permainan mereka
yang membuat, uang dan modal pun mereka yang memiliki.
Organisasi pergerakan mahasiswa hanyalah bagian
terkecil dari kekuatan masyarakat, di antara organisasi kepemudaan, LSM, ormas,
dan Partai Politik. Di sisi lain organisasi mahasiswa sesungguhnya tidak bisa
diharapkan mampu melakukan perubahan, karena; elite tertinggi dalam hirarki
organisasi telah menjadi kaki tangan elit politik, mayoritas organisasi
pergerakan mahasiswa hanya pelacur kekuasaan dan sangat pragmatis, dan di sisi
lain generasi muda bangsa dihabisi oleh
budaya konsumtif, glamor, narkoba, dan seks bebas. Andaipun mau untuk melakukan
perubahan, maka gerakan mahasiswa harus kembali melakukan pembangunan dari
tingkat yang terbawah dengan melakukan pembasisan kader semilitan dan seidealis
mungkin, memutus kepelacuran dengan jenjang yang lebih tinggi, berpijak pada
pijakan kebenaran yang diyakini, dan selalu melakukan konsolidasi dengan
akar-akar dari organisasi lain yang memiliki cita-cita sama. Kata kuncinya
adalah tak semua mereka yang satu organisasi dengan kita adalah kawan, sebahagian
dari mereka adalah musuh, tak semua mereka yang berada di luar organisasi kita
competitor atau musuh, sebahagian dari mereka justru kawan.
Adapun pilihan strategis sebagai goal dari
perjuangannya bisa dalam tiga bentuk; melakukan perubahan system secara
menyeluruh, dengan membekukan konstitusi dan melakukan sidang rakyat, sehingga
bisa menendang intervensi kekuatan supra natural. Atau secara perlahan
kader-kader yang militan bisa memasuki pos-pos strategis structural alat-alat
kelengkapan pemerintahan lokal untuk
melakukan perubahan di daerah-daerah karena pusat sudah gelap tidak bisa
diharapkan. Atau plihan bijak lainnya, kita
bersama-sama mengabaikan Negara, menganggap Negara tidak ada, untuk apa
memikirkan Negara, karena Negara pun tak memikirkan nasib kita sebagai
rakyatnya, banyak hal yang bisa kita perbuat untuk umat manusia dengan tanpa
menggunakan Negara sebagai instrumennya.
**) Pegiat MIM Indigenous School
0 komentar: