Sumbangan Perspektif Johan Galtung dalam: Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO terhadap Ketimpangan Ekonomi Negara Berkembang *)
Rijal Mohammadi **)
Pendahuluan
Dalam perkembangan sejarah perkembangan
perekonomian dunia baik pada teori maupun praktiknya tidak ada hentinya
mengalami pergolakan. Menurut berbagai litelatur dan dalam diskusi-diskusi saat
ini tentang ekonomi dunia, para
pegiat ekonomi kerap kali menyebut era saat ini sebagai era globalisasi,
pembangunanisme, neo-liberalisme, dan lain sebagainya. Proses menuju tahapan
sekarang ini tidaklah cepat atau instan. Menurut hukum umum perkembangan
masyarakat diketahui bahwa diawal kehidupan manusia atau yang disebut zaman
primitif. Dikatakan sebagai fase komune primitif karena pemenuhan
kebutuhan hidup dilakukan dan dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune
dengan alat produksi yang sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang
sebagai alat kerja dan alam tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Fase komune primitif
lahir dari perkembangan alat produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan
batu dan tulang sebagai alat produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk
berburu dan meramu makanan (food gathering) dan hanya dapat dikerjakan
secara kolektif. Hal ini melahirkan cara pandang masyarakat komune yang sangat
bergantung terhadap alam, bagaimana alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi
suatu komune. Itu sebabnya, ketika alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup suatu komune, maka komune tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain
yang masih cukup memenuhi kebutuhan hidup komune tersebut.
Dalam zaman kapitalisme yang terus
berkembang hingga saat ini yang sudah mencapai puncak tertingginya (imperialisme)
ternyata tidak juga menunjukan sebuah kemajuan tingkat kesejahteraan masyarakat
dunia. Dunia dibawah belenggu kapitalisme ternyata tidak menjawab permasalahan
yang dialami pada fase-fase sebelumnya yaitu adanya ketimpangan dan sistem yang
menindas kelas lain. Kekuatan kapitalisme yang berada ditangan para pemodal
atau koorporasi besar justru semakin banyak menimbulkan masalah kemanusiaan.
Kontradiksi antara borjuasi dan proletariat semakin memanas bahkan dalam
konteks hubungan kenegaraan juga mengalami kontradiksi. Negara-negara maju
dibawah pimpinan Amerika Serikat merupakan negara kapitalis yang senantiasa
melakukan ekspansi bahkan sampai melakukan invasi terhadap negara-negara yang
sedang berkembang demi memuaskan hasrat mereka untuk dapat mengeksploitasi
segala macam sumber daya dan menjadikan pasar yang cukup baik, serta bertujuan
akhir mengakumulasikan modal mereka.
Pada masa sekarang dimana kapitalisme
tumbuh subur didalam maupun diluar negara kapitalis dan seiring dengan semakin
beradaptasinya paham ini dari keadaan kontemporer dan arus deras kritik yang
menghujatnya maka kapitalisme membuat aturan main melalui lembaga-lembaga resmi
internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank yang tentu saja bertujuan untuk
memperpanjang masa waktu pengusaan atas dunia oleh sistem kapitalisme.
Fenomena WTO adalah verifikasi empiris
terhadap gagasan–gagasan ekonomi liberal. Verifikasi ini akan membawa
konsekuensi pada konteks liberalism sebagai pandangan filsafat yang
dimanifestasikan dalam berbagai upaya yang bertajuk “liberalism perdagangan”.
Liberalisme merupakan sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi politik
yang berpegang pada kebebasan sebagai nilai politik yang primer. Liberalism memiliki akar pada era
Pencerahan Barat, namun sekarang sudah melingkupi berbagai pandangan politik
yang beragam. Secara umum, liberalism kontemporer bertujuan membela hak-hak
individu.
Pandangan ini bertujuan membentuk suatu
masyarakat yang karakternya memiliki kebebasan berpikir bagi individual dan
pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap pemerintah dan agama. Selain itu, ada
rule of law, pendidikan bebas untuk masyarakat, dan kebebasan dalam melakukan
pertukaran pemikiran, kebebasan bagi korporasi swasta dalam konteks ekonomi
pasar, transparansi pemerintah dan perlindungan atas seluruh hak warga begara.
Dalam masyarakat modern, liberal dalam konteks demokrasi liberal terkait dengan
keterbukaan dan kejujuran dalam pemilihan umum, dimana seluruh warga Negara
memiliki hak yang sama di mata hukum dan kesetaraan dalam kehidupan yang layak.
Kaum Neo-Marxist percaya bahwa globalisasi
ekonomi telah mengonstruksi wajah struktur ekonomi dunia menjadi dua kutub yang
saling berbenturan . Pada kutub pertama, terdapat sekelompok minoritas manusia
yang menguasai mayoritas faktor-faktor produksi dan akses yang luas atas
distribusi dan konsumsi dunia . Kelompok ini seringkali dia sosiasikan pada
kelompok negara maju, para pelaku pasar serta aktor -aktor ekonomi
transnasional yang mencoba menerap kan agenda-agenda neoliberalisme melalui
sistem ekonomi global. Di kutub yang lain, terdapat kelompok mayoritas yang
terabaikan dan termarginalisasi secara si stemik dan struktural oleh proses
globalisasi ekonomi. Kelompok ini terdiri atas sebagian besar negara
berkembang, aktivis lingkungan hidup dan feminisme , serta gerakan-gerakan akar
rumput yang tersebar di seluruh dunia.
Tulisan ini merujuk kepada perspektif Johan
Galtung dalam ‘Depedency Theory’ untuk memahami rezim perdagangan bebas yang
dilakukan World Trade Organization yang selanjutnya disebut WTO berimplikasi
kepada Negara berkembang sehingga sikap interdepedensi ada pada tubuh Negara
berkembang dalam dewasa ini terhadap Negara Industry Maju selanjutnya disebut
NIM. Penulis percaya bahwa sifat interdepedensi yang terdapat antara Negara
berkembang dan NIM ada hubungan yang menurut Johan Galtung disebut hubungan
Imprealistik. Sehingga konsep tersebut memberikan tekanan halus yang tidak
terasa oleh Negara berkembang yang nantinya berefek negative. Disamping itu,
surat persetujuan atau janji yang ditawarkan pada setiap anggota WTO membrikan
tekanan terhadap Negara berkembang sebagai aktor figuran dalam sandiwara tipu
mushlihat yang dilakukan oleh NIM
.
Dalam mengelaborasikan argument diatas,
secara sistematis tulisan ini di bagi menjadi tiga bagian pembahasan, agar
keterkaitan antara poin perpoin dapat tersambung dengan singkron. Bagian
pertama, mengulas latar belakang dan sebab-sebab kemunculan WTO (WTO Sebagai
Alat Kekuasaan Baru dan Struktur WTO). Konsep Galtung digunakan sebagai pisau
analisis WTO dipaparkan pada bagian kedua. Secara lebih mendetail, bagian ini
mengulas mengenai konsep interdepedensi kedua kubu, terciptanya hegemoni baru
terkait hubungan imprealistik, dan terakhir adalah fenomena
Asimetris-Dyadic-Vertical.
Kemunculan World Trade Organization
WTO (World Trade Organisation) atau
Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang
secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan
multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan
dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah
ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan
kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam
pelaksanaan kebijakan perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada
tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah
abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah
membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994
sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan
menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT
ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO),
suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan
bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference
on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses
ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar.
Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun
sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara
efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan
instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad
teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa
penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh
beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif. masalah-masalah
perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang
dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya
untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru
Dalam perkembangannya, dunia menunjukan
adanya situasi baru dimana telah lahirnya WTO (World Trade Organization)
dan mulai aktif pada 1 Januari 1995. World Trade
Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya
badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar
negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu
persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai
hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara
anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang
mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan
perdagangannya.
WTO secara resmi
berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah
ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun
1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan
menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
WTO telah mengatur
banyak hal di luar perdagangan. Dengan hadirnya WTO di kancah perekonomian
dunia bersandingan dengan World Bank dan IMF kini menjadi kekuatan baru atau
senjata baru dari kapitalisme. Lengkaplah sudah kekuatan kapitalisme global
dengan kehadiran WTO. Kapitalisme sudah tak tertahankan lagi, kini menjadi
sebuah sistem global, yang dikenal dengan globalisasi. Globalisasi adalah
kapitalisme global yang memaksakan berbagai agenda pasar bebas demi kepentingan
akumulasi modal. Dalam konsepnya WTO bercita-cita untuk dapat mengatur
berjalannya arus perdagangan dunia dengan baik agar tidak terjadi krisis yang
disebabkan oleh perlombaan perdagangan yang tidak sehat.
”Problem kita dengan
perdagangan bebas adalah ketimpangan yang terjadi ketika bisnis diproteksi
sementara buruh dan lingkungan diabaikan,” kata Jeff Faux, Presiden Economic
Policy Institute, sebuah kelompok pemikir independen yang berkantor di
Washington. Ia menambahkan bahwa keuntungan yang didapat dari perdagangan bebas
selama beberapa dekade terakhir tidak pernah bisa menutup kerugian yang
disebabkan oleh banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan rusaknya
lingkungan. Isu-isu lingkungan dan ketenagakerjaan ini pulalah yang menyebabkan
30.000 aktivis, mewakili 500 organisasi dari seluruh belahan bumi, menggelar
unjuk rasa di jalan-jalan di Seattle, Washington, ketika WTO mengadakan
pertemuannya di sana pada akhir November 1999. Inilah gelombang protes terbesar
yang pernah dialamatkan ke WTO. Para demonstran mendesak organisasi itu untuk
melindungi hak-hak warga dan lingkungan sebagaimana ia melindungi kepentingan
perusahaan.
Tentu saja, di sisi
lain, WTO juga memiliki pendukung yang mempertahankan keberadaannya. Ada banyak
negara, menurut petinggi WTO, yang berhasil meningkatkan standar hidupnya
melalui perdagangan bebas. Korea Selatan adalah salah satu negara yang di
jadikan contoh betapa perdagangan bebas telah meningkatkan standar hidup di
negeri tersebut hingga mendekati standar hidup negara-negara maju. Berkat
perdagangan bebas, Korea Selatan beralih dari negara pertanian ke negara
industri, yang memproduksi mobil, televisi, dan beberapa produk canggih
lainnya. ”...sejumlah masalah lingkungan yang serius di negara-negara miskin,
seperti pembakaran hutan dan kurang bersihnya air minum, tidak disebabkan oleh
perdagangan tetapi oleh kemiskinan,” kata David Vogel, Profesor Etika Bisnis
dan Ilmu Politik Universitas California, Berkeley, yang menjadi pembela
perdagangan bebas. ”negara-negara miskin tidak bisa menyediakan sistem
airbersih, dan warga mereka mungkin menebang hutan untuk dijadikan kayu bakar
dan untuk membuka ladang.”
Struktur WTO
Dalam situs resminya (www.wto.org) WTO
menyatakan diri sebagai organisasi yang dikendalikan oleh anggota (a member
driven) atau organisasi yang berbasis consensus (consensus-based organization).
Setiap keputusan besar diambil oleh seluruh anggotanya, baik melalui
menteri-menteri yang bertemu setidaknya sekali dalam dua tahun atau oleh duta
besar atau delegasi yang secara regular bertemu di Jenewa.
Umumnya, keputusan diambil dengan cara
consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan
organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi
atau badan pimpinan. Peraturan-peraturan dalam WTO, termasuk kemungkinan untuk
menjatuhkan sangsi, di tetapkan secara bersama oleh seluruh Negara anggotanya. Seluruh sanksi yang diambil WTO
dilaksanakan oleh dan atas dasar kewenangan dari Negara anggota. Hal inilah
yang membedakan dengan lembaga-lembaga internasional lainnya, di mana struktur memiliki
kewenangan untuk memengaruhi kebijakan suatu Negara tanpa mempertimbangkan
pandangan dari Negara tersebut.
Untuk mencapai kesepakatan di antara 149
negara anggota bisa jadi sangat sulit. Meski begitu, cara itu di pandang dapat
lebih memberikan manfaat karena setiap keputusan yang diambil akan lebih mudah
diterima oleh semua Negara anggota karena telah melalui penggodogan bersama.
WTO mengaku, meski harus ditempuh dengan cara sulit, beberapa kesepakatan
penting telah diraih. Consensus adalah tradisi GATT yang dilanjutkan oleh WTO.
Seperti dikemukakan di atas, hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh anggota
terakomodasi dalam setiap keputusan WTO.
Konsep Johan Galtung dalam Teori
dependensi
Pada bagian ini, penulis mengulas teori
depedensi yang didasari oleh pemikiran Johan Galtung yakni, Ketergantungan
terhadap negara-negara kapitalis cenderung melahirkan bentuk imperialisme baru.
Gampangnya penulis hendak memaparkan kaitan antara rezim yang telah di bawa WTO
dengan ketergantungan Negara berkembang dalam keterlibatan sebagai anggota.
Karena dampak dari ketergantungan tersebut menimbulkan terjadinya kemiskinan
structural, timbul kolonialisme pada level domestic, munculnya gap dalam
pembangunan domestic, konflik internal, kolaborasi kekuatan asing dan Negara,
dan munculnya negara komprador
Hegemoni Melalui Hubungan Imprealistik
Hegemoni merupakan titik awal konsep yang
ditawarkan oleh Antonio Gramsci adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan
dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang
Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah binatang
dan setengah hewan, sebagai symbol dari ‘perspektif ganda’ suatu tindakan
politik – kekuatan dan consensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan
kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
melaikan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi consensus. Dalam beberapa paragraf
dari karyanya Prison Notebook, Gramsci menggunakan kata direzione
(kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (hegemoni) dan
berlawanan dengan deminazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam
pengertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam Bahasa Yunani,
yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain.
Kemudian penulis dalam hal ini mengaitkan
implikasi hubungan imprealistik menurut konsep Galtung hubungannya dengan rezim
WTO yang kemudian mengakibatkan ketimpangan terhadap Negara
berkembang. Terdapat keselerasan kepentingan antara center (elite) di
negara Center dengan center di negara Periphery. Hal ini dapat dibuktikan pada
bagian struktur WTO di atas bahwa keterkaitan Negara pusat yang menjadi anggota
inti WTO seperti Amerika Serikat sangat mempengaruhi kebijakan Negara periphery
yang yang diwakili oleh delegasi atau perwakilan dari Negara periphery.
Karena keputusan diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini,
mekanisme WTO relative berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain
seperti bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Di dalam WTO, kekuasaan tidak
didelegasikan kepada Dewan Direksi atau badan pimpinan. Kemudian terdapat lebih
banyak disharmoni atau konflik kepentingan antara center dan perypheri di
negara Periphery dari pada di negara Center. Hal ini ditunjukan banyak sekali
protes dalam bentuk demonstrasi, salah satu contohnya di Korea Selatan seorang
demonstran bunuh diri akibat konflik yang di timbulkan oleh Negara berkembang
atau periphery. Karena center di Negara periphery tidak memandang kepentingan
para periphery di Negaranya seperti para kativis daln lain sebagainya,
disebabkan kontrak kesepakatan hasil consensus harus dilakukan demi
terlaksananya kesepakatan antar anggota WTO. Terakhir yakni terdapat disharmoni
atau konflik kepentingan antara periphery di negara Center dengan periphery di
negara Periphery. Fenomena seperti ini ditimbulkan karena permainan para elit
Negara yang bermain pada consensus yang dilakukan di WTO, sehingga kedua
periphery di dua Negara menjadi tidak paham akan arti hasil kesepakatan yang
diimplementasikan pada kedua Negara karena hasil consensus ini tidak memandang
pandangan kepentingan Negara terkait sehingga hasil consensus pun bisa saja
banyak merugikan Negara-negara yang minor kekuatan. Yang kemudian muncullah
ketimpangan dalam bentuk efeknya.
Fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical
Pada bagian ini penulis hendak
memaparkan logika persaingan dan kompetisi yang ada didalam tubuh WTO meliputi
Asimetris, Dyadic, dan Vertical sebenarnya hanya akan
menguntungkan lagi-lagi kepada negara kapitalis. Kompetisi sehat
yang digadang-gadang oleh para kapitalis hanyalah ilusi karena negara
berkembang tidak akan mampu melakukan persaingan dengan negara maju, karena
negara berkembang hanya dijadikan objek dari agenda-agenda besar
dunia. Bentuk nyata dari kebusukan WTO adalah dengan meliberalkan
sektor-sektor negara dan pada akhirnya melakukan privatisasi sektor negara. Hal
ini dilakukan agar para negara kapitalis dapat melakukan intervensi lebih mudah
dan dapat menanamkan modal untuk mendapat keuntungan. Contohnya adalah ketika
Indonesia sepakat atas perjanjian dengan WTO dan mulai dari 1995 hingga saat
ini kebijakan ekonomi yang dikeluarkan terus menerus berpihak pada asing.
Segala macam sektor seperti kesehatan dan pendidikan juga menjadi korban
sehingga perlahan kedua sektor tersebut menjadi swasta.
Kesimpulan
Menggunakan kerangka
berpikir Galtung, penulis menjelaskan fenomena rezim WTO terhadap ketimpangan
Negara berkembang. Galtung mendefinisikan keterkaitan Negara berkembang dalam
kerjasama bidang perdagangan WTO hanya menciptakan ketimpangan yang semakin
jelas antara si kaya dan si miskin atau sering kita sebut Center dan Peripheri.
Hal ini di buktikan dengan saling ketergantungan kedua Negara tersebut dalam
berinteraksi, sehingga banyak sekali konflik-konflik yang ditimbulkan dalam dua
Negara tersebut.
Daftar Pustaka:
Jurnal:
- Winner Agung Pribadi, “Sumbangan Perspektif Gramscian dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ”, Global & Strategis, Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008,.
- Dewi Andita Sari, MAKALAH POLITIK INTERNASIONAL: Analisa Pengaruh Kebijakan Free TradeWTO Terhadap, “Terciptanya Ketimpangan Ekonomi Global Studi Kasus: Perbandingan Perekonomian India dengan Amerika Serikat”, Thn 2012
Buku:
- J Juliantono, Ferry., 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.
- Simon, Roger., 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : INSIST PRESS.
- Setiawan, Bonnie. 2000. Stop WTO Dari Seattle Sampai Bangkok. Yogyakarta : Kreasi Wacana
- Smick, M David. 2009. Kiamat Ekonomi Global. Jakarta : Daras
- Ritzer, George dan Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Webside:
http://www.wto.org [diakses 18 Maret 2013
M pukul 23.12 WIB]
*) Tulisan ini di repost dari blog pribadi penulis (KLIK)
0 komentar: