Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 1 komentar

Paradise*)


Faris Alfadh **)

Penganut Protestan percaya bahwa setiap orang sudah ditakdirkan akan masuk ke surga atau neraka. Namun persoalannya, belum ada satupun manusia yang pernah ke tempat tersebut. Sehingga setiap orang diserang kecemasan yang sama, karena sedikitnya kepastian akan akhir takdir mereka: apakah di surga atau negara. 

Karenanya penganut Protestan percaya, cara terbaik untuk mengetahui takdir mereka, sekaligus mengakhiri rasa cemas, adalah memastikannya di dunia ini. Yakni dengan keberhasilan dan kejayaan hidup!

Jika seseorang berhasil dan mencapai kejayaan hidup di dunia, maka dapat dipastikan takdirnya adalah di surga. Sebaliknya, jika keberhasilan dan kejayaan menjauh dari hidupannya, maka itu cukup sebagai penanda akan akhir nasibnya di neraka.

Max Weber, dalam bukunya yang sangat terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), menjelaskan bahwa keyakinan inilah yang membuat penganut Protestan berusaha dengan keras untuk mencapai kesuksesan dan kejayaan hidup. Bukan untuk kaya secara materi (pada awalnya), tetapi untuk mengatasi kecemasan mereka. Weber percaya etos yang ia sebut sebagai etika protestan inilah yang kemudian turut menjadi pendorong majunya kapitalisme dan kemakmuran ekonomi di  Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Di sini ini kita melihat bagaimana konsep surga dan neraka, bagi kaum Protestan, hadir dalam kecemasan yang khas. Ia sebentuk kekhawatiran sekaligus harapan. Namun yang paling penting ia melahirkan dorongan untuk mencapai kebaikan.

Tentu tidak semua sependapat dengan pengertian ini. Karena setiap orang, dalam memaknai surga dan neraka, punya tafsirnya sendiri. Setiap keyakinan dan agama memiliki ajarannya sendiri. Namun percaya atau tidak, konon sebuah pertanyaan tentang surga dan neraka pernah diajukan kepada para malaikat.

“Apa itu surga?” Para mailaikat kemudian menjawab: “Sesungguhnya setiap hati yang dipenuhi dengan cinta kasih adalah surga.” Lalu neraka? Malaikat melanjutkan: “Hati tanpa cinta kasih di dalamnya adalah neraka itu sendiri.”

Bagi manusia, surga pada akhirnya adalah konsep absrtak sekaligus akrab. Ia hadir dalam setiap diri manusia (yang percaya), dalam bentuk kecemasan sekaligus kebahagiaan. Pusarannya adalah hati dan jiwa itu sendiri. Kedamaian hati menentukan ketentraman hidup. Sebaliknya, kecemasan hati membawa serta siksaan hidup.
Tidak heran jika penganut Protestan, dalam pengertian yang disampaikan Weber, berusaha mencapai kejayaan hidup. Kekayaan dan kemajuan bukan tujuan (akhir) dari kerja keras. Upaya menghilangkan kecemasanlah alasannya. 

Dengan kata lain, kebahagiaan yang ingin diraih adalah kedamaian dalam diri. Mereka berusaha menemukan “surga” dalam hidup ini melalui kepuasan dan kepastian. Kejayaan dan kesuksesan diyakini mampu menghilangkan kecemasan akan takdir buruk. 

Mungkin itu pula yang membuat Islam menempatkan hati dan jiwa pada posisi yang istemewa. Setiap perbuatan bahkan ditentukan oleh niat dari dalam hati—yang tentu saja hanya Tuhan dan pemilik hati yang tahu. 

Ada yang tampak baik di mata orang ramai, ada pula yang tidak lazim di permukaan. Namun pada akhirnya kualitas hati dan jiwa yang sangat menentukan. 

Jika surga dimaknai sebagai kebahagiaan, maka setiap orang punya jalan masing-masing menuju surga. Kadang jalan itu berliku dan terjal, yang membuat manusia berkelahi dengan nisan nasibnya sendiri. Seperti berjalan di rute yang panjang—bahkan teramat panjang. Manusia diajarkan tentang satu tafsir kebajikan yang ia pungut satu demi satu di setiap perhentiannya. Pada akhirnya ia tahu bahwa ujung jalan menjanjikan sesuatu yang berarti.

Saya percaya dunia tak ditakdirkan jadi surga, memang. Dan kekuasaan Tuhan lah yang menentukan kita ke surga atau neraka. Namun, paling tidak, kita masih bisa memastikan ada surga dalam hidup ini. Dengan memenuhi hati dengan cinta kasih. Itulah yang membuat hidup lebih berarti, dan tak lagi cemas. 

Seperti adagium lama dari Persia: Why seek paradise? It is before me now! Mengapa mencari “surga” di kejauhan sana, bukankah ia ada dalam diri kita. Setiap orang, pada akhirnya, punya surganya sendiri. Beberapa dari kita mungkin saja belum menemukannya, atau mungkin sedang menciptakannya!

*) Tulisan ini di repost dari notes Facebook Penulis (KLIK)
**) Mantan Direktur MIM Indigenous School dan Dosen HI Fisipol UMY

1 komentar:

  1. keren...
    berawal dari tesis Max Weber akhirnya ternyata sebuah refleksi, kirain akan mengajukan prisip etos kerja dari islam hehe..

    BalasHapus