Paradise*)
Faris Alfadh **)
Penganut Protestan percaya bahwa setiap
orang sudah ditakdirkan akan masuk ke surga atau neraka. Namun persoalannya,
belum ada satupun manusia yang pernah ke tempat tersebut. Sehingga setiap orang
diserang kecemasan yang sama, karena sedikitnya kepastian akan akhir takdir
mereka: apakah di surga atau negara.
Karenanya penganut Protestan percaya, cara
terbaik untuk mengetahui takdir mereka, sekaligus mengakhiri rasa cemas, adalah
memastikannya di dunia ini. Yakni dengan keberhasilan dan kejayaan hidup!
Jika seseorang berhasil dan mencapai
kejayaan hidup di dunia, maka dapat dipastikan takdirnya adalah di surga.
Sebaliknya, jika keberhasilan dan kejayaan menjauh dari hidupannya, maka itu
cukup sebagai penanda akan akhir nasibnya di neraka.
Max Weber, dalam bukunya yang sangat
terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958),
menjelaskan bahwa keyakinan inilah yang membuat penganut Protestan berusaha
dengan keras untuk mencapai kesuksesan dan kejayaan hidup. Bukan untuk kaya
secara materi (pada awalnya), tetapi untuk mengatasi kecemasan mereka. Weber
percaya etos yang ia sebut sebagai etika protestan inilah yang
kemudian turut menjadi pendorong majunya kapitalisme dan kemakmuran ekonomi di
Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Di sini ini kita melihat bagaimana konsep
surga dan neraka, bagi kaum Protestan, hadir dalam kecemasan yang khas. Ia
sebentuk kekhawatiran sekaligus harapan. Namun yang paling penting ia
melahirkan dorongan untuk mencapai kebaikan.
Tentu tidak semua sependapat dengan
pengertian ini. Karena setiap orang, dalam memaknai surga dan neraka, punya
tafsirnya sendiri. Setiap keyakinan dan agama memiliki ajarannya sendiri. Namun
percaya atau tidak, konon sebuah pertanyaan tentang surga dan neraka pernah
diajukan kepada para malaikat.
“Apa itu surga?” Para mailaikat kemudian
menjawab: “Sesungguhnya setiap hati yang dipenuhi dengan cinta kasih adalah
surga.” Lalu neraka? Malaikat melanjutkan: “Hati tanpa cinta kasih di dalamnya
adalah neraka itu sendiri.”
Bagi manusia, surga pada akhirnya adalah
konsep absrtak sekaligus akrab. Ia hadir dalam setiap diri manusia (yang
percaya), dalam bentuk kecemasan sekaligus kebahagiaan. Pusarannya adalah hati
dan jiwa itu sendiri. Kedamaian hati menentukan ketentraman hidup. Sebaliknya,
kecemasan hati membawa serta siksaan hidup.
Tidak heran jika penganut Protestan, dalam
pengertian yang disampaikan Weber, berusaha mencapai kejayaan hidup. Kekayaan
dan kemajuan bukan tujuan (akhir) dari kerja keras. Upaya menghilangkan
kecemasanlah alasannya.
Dengan kata lain, kebahagiaan yang ingin
diraih adalah kedamaian dalam diri. Mereka berusaha menemukan “surga” dalam
hidup ini melalui kepuasan dan kepastian. Kejayaan dan kesuksesan diyakini
mampu menghilangkan kecemasan akan takdir buruk.
Mungkin itu pula yang membuat Islam
menempatkan hati dan jiwa pada posisi yang istemewa. Setiap perbuatan bahkan
ditentukan oleh niat dari dalam hati—yang tentu saja hanya Tuhan dan pemilik
hati yang tahu.
Ada yang tampak baik di mata orang ramai,
ada pula yang tidak lazim di permukaan. Namun pada akhirnya kualitas hati dan
jiwa yang sangat menentukan.
Jika surga dimaknai sebagai kebahagiaan,
maka setiap orang punya jalan masing-masing menuju surga. Kadang jalan itu
berliku dan terjal, yang membuat manusia berkelahi dengan nisan nasibnya
sendiri. Seperti berjalan di rute yang panjang—bahkan teramat panjang. Manusia
diajarkan tentang satu tafsir kebajikan yang ia pungut satu demi satu di setiap
perhentiannya. Pada akhirnya ia tahu bahwa ujung jalan menjanjikan sesuatu yang
berarti.
Saya percaya dunia tak ditakdirkan jadi
surga, memang. Dan kekuasaan Tuhan lah yang menentukan kita ke surga atau
neraka. Namun, paling tidak, kita masih bisa memastikan ada surga dalam hidup
ini. Dengan memenuhi hati dengan cinta kasih. Itulah yang membuat hidup lebih
berarti, dan tak lagi cemas.
Seperti adagium lama dari Persia: Why
seek paradise? It is before me now! Mengapa mencari “surga” di
kejauhan sana, bukankah ia ada dalam diri kita. Setiap orang, pada akhirnya,
punya surganya sendiri. Beberapa dari kita mungkin saja belum menemukannya,
atau mungkin sedang menciptakannya!
*) Tulisan ini di repost dari notes Facebook Penulis (KLIK)
**) Mantan Direktur MIM Indigenous School dan Dosen HI Fisipol UMY
keren...
BalasHapusberawal dari tesis Max Weber akhirnya ternyata sebuah refleksi, kirain akan mengajukan prisip etos kerja dari islam hehe..