Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Potret Diplomasi Indonesia*)


Zain Maulana**)

Peringatan 65 tahun kemerdekaan RI justru diwarnai dengan peristiwa yang mencoreng kedaulatan bangsa dengan ditangkapnya petugas patroli laut oleh polisi kelautan Malaysia di perairan Indonesia.

Penangkapan ini boleh jadi merupakan modus operandi politik luar negeri Malaysia yang ingin melemahkan diplomasi Indonesia terkait penahanan tujuh nelayan asal Malaysia yang ditangkap karena melanggar batas laut wilayah Indonesia. Sejauh ini modus ala Pemerintah Malaysia itu cukup berhasil: para nelayan dilepaskan dan persoalan di antara kedua negara selesai tanpa ada minta maaf maupun pernyataan resmi Pemerintah Malaysia atas pelanggaran kedaulatan negara Indonesia.

Kasus semacam ini sebenarnya bukan kali pertama menimpa Indonesia. Sederet pelanggaran maupun aksi provokatif, seperti kasus Sipadan-Ligitan, Blok Ambalat, dan klaim atas kesenian reog, selalu terjadi dalam hubungan bilateral kedua negara yang dianggap selalu baik. Dalam tiap peristiwa itu, Pemerintah Indonesia selalu menampakkan wajah politik luar negeri yang akomodatif dan ramah, tetapi tanpa ketegasan. Muncul kesimpulan: hampir dalam setiap sengketa Indonesia sering dirugikan oleh hasil kesepakatan kedua negara. Ini menunjukkan potret diplomasi bangsa kita masih lemah.

Diplomasi merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan politik luar negeri suatu negara. Keberhasilan diplomasi negara sangat ditentukan antara lain oleh kekuatan ekonomi negara itu. Negara dengan ekonomi yang lemah akan sulit memenangi proses diplomasi dengan negara yang lebih kuat. Ketergantungan ekonomi suatu negara pada negara lain akan menggerus kemandirian politik luar negerinya seperti yang terjadi dengan Indonesia di hadapan Malaysia.

Mengapa lemah?

Ada gejala unik dalam hubungan kedua negara. Di satu sisi Indonesia memiliki posisi lebih penting dalam politik global karena dinilai sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan amat berperan di kawasan Asia Tenggara, hingga mampu masuk dalam jajaran 20 negara penting di dunia (G-20). Nah, dalam hubungan bilateral dengan Malaysia, Indonesia justru berada satu tingkap di bawah: ketergantungan Indonesia jauh lebih tinggi daripada sebaliknya.

Indonesia di hadapan Malaysia hanyalah sebuah negara rumpun Melayu dengan teritori sangat luas, tetapi tanpa kekuatan memadai. Sebaliknya, Indonesia memandang Malaysia negara tetangga yang cukup penting. Selama ini Indonesia mendapat keuntungan dari hubungan bilateral terutama dalam bentuk ekspor rutin tenaga kerja ke negeri jiran itu.

Pada tahun 2002 saja sekitar 480.000 warga Indonesia bermigrasi mencari kerja di sana: sektor rumah tangga (23 persen), manufaktur (36 persen), pertanian (26 persen), dan konstruksi (8 persen). Saat ini diperkirakan dua juta penduduk Indonesia sedang bekerja di Malaysia. Jumlah yang pasti sulit diverifikasi sebab lebih dari setengahnya kemungkinan adalah pekerja tak berdokumen, tanpa izin atau visa kerja yang sah.

Pentingnya Malaysia membuat Pemerintah Indonesia memilih bersikap lebih ramah dan santun. Kerja sama ekspor impor tenaga kerja bagi Pemerintah Indonesia harus selalu dijaga dengan baik sebab hubungan bilateral yang rusak berpotensi pada terganggunya kerja sama pengiriman tenaga kerja. Ini akan menambah beban dalam negeri dengan bertambahnya angka pengangguran dan hilangnya salah satu sumber devisa negara.

Terpaksa akomodatif

Pemerintah sangat menyadari potensi ekonomi dari hubungan ini sehingga kebijakan politik luar negeri terhadap Malaysia ditempuh dengan sangat hati-hati demi menjaga perasaan Pemerintah Malaysia. Perhitungan potensi ekonomi inilah yang menjadi faktor paling dominan dalam potret politik luar negeri RI terhadap Malaysia. Singkat kata, tingkat ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi membuat posisi tawar Pemerintah Indonesia menjadi lebih rendah di hadapan Pemerintah Malaysia.

Keadaan ini memaksa Pemerintah Indonesia harus lebih akomodatif, santun, dan sedikit mengalah. Ketergantungan itu menciptakan ketidakmandirian Indonesia. Bahkan, pada titik tertentu, Pemerintah Indonesia masih harus bersabar terhadap Malaysia meskipun menyangkut kedaulatan negara. Peringatan 65 tahun kemerdekaan RI seharusnya menjadi masa untuk menetapkan dengan sungguh: ini saat bagi Pemerintah Indonesia mengembalikan dan menjaga wibawa bangsa di hadapan negara tetangga dan dunia.

(Dimuat pada harian kompas Jumat, 20 Agustus 2010)

*) Tulisan ini direpost dari notes Facebook penulis (KLIK)
**) Mantan Ketua Umum PC IMM AR Fakhruddin dan Mahsiswa Master of International Studies Flinders University

0 komentar: