Relasi Pemikiran Kyai Dahlan dan Kaum Muda Muhammadiyah
Oleh : Makhrus Ahmadi[1]
PERJALANAN KH. AHMAD
DAHLAN
KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengingat
Muhamadiyah merupakan organisasi yang didirikan oleh Kyai Dahlan sebagai wadah
memperjuangkan ajaran islam. Kyai Dahlan dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada
tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis dari pasangan KH. Abu Bakar (imam khatib
masjid besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyi Abu Bakar/Siti Aminah (puteri H.
Ibrahim, Hooft penghulu Yogyakarta).
Darwis merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dan secara silsifah Darwis
merupakan keturuan kedua belas Maulana Malik Ibrahim (salah seorang wali songo)[2].
Sejak kecil Muhammad Darwis dididik dalam lingkungan pesantren sejak dari kecil
sehingga menyebabkan ia akrab dengan pelajaran agama. Pada usianya yang ke 15
tahun (1883) ia pun memutuskan diri untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa
Arab ke Mekkah. Ia pun mulai berkenalan dengan pemikir islam popular pada saat
itu seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afghani, Rasyid Ridha. Muhammad bin
Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah[3].
Dari tokoh pembaharuan islam inilah Darwis mengalami pergolakan pemikiran
tentang perlunya islam yang transformatif yang sesuai dengan landasan Al Qur’an
dan al Hadist. 5 tahun (1988) setelah keberangkatan Darwis kembali lagi ke
Indonesia. Dan mengganti namanya dari Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.
Sepulang dari Mekkah tidak serta
Ahmad Dahlan memubazhirkan ilmunya. Ia pun diangkat menjadi diangkat menjadi
Khatib Imam di masjid Kesultanan Yogyakarta (sekarang menjadi Masjid Gedhe
Kauman). Untuk memperdalam ilmu keislamannya ia pun kembali naik haji dan
mendalami ilmu agama di Mekkah. Ia pun kembali mengoleksi beberapa khazanah
keilmuan termasuk majalah Al Manar
yang menuang pemikiran Muhammad Abduh. Sepulangnya dari Mekkah Kyai Dahlan
Menikah Siti Walidah sehingga di karuniai 6 orang anak. Selain itu, Kyai Dahlan
juga pernah menikahi Nyi Abdullah (janda KH. Abdullah), Nyai Rum (adik Kyai
Munawir Krapyak), Nyi Aisyah (adik Ajengan penghulu) Cianjur dan Nyi Yasin
Pakualaman Yogyakarta[4].
Dari ilmu yang dipelajarinya,
Kyai Dahlan perlahan melakukan dakwah kepada masyarakat salahnya yang cukup
fenominal adalah menggeser (memberi garis) posisi shof shalat di Masjid Gedhe Kauman 241/2 derajat ke utara dan
mengajar di Sekolah Belanda. Kemampuan Kyai Dahlan bukan hanya dalam masalah
dakwah keagamaan melainkan juga mempunyai kemampuan dalam ilmu falak dan seni[5].
Dengan penuh kemantapan Kyai Dahlan menjalankan dakwahnya ditengah praktek
keagamaan yang becampur dengan budaya lokal atau lebih lazim di sebuat Taqlid, Bid’ah dan Khurafat (TBC). Pola dakwah Kyai Dahlan sentak mendapat reaksi dari
beragam pihak baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Bahkan
langgar (surau) yang ia dirikan di robohkan oleh mereka yang tidak setuju
dengan gagasan dan pemikiran Kyai Dahlan.
Keunikan Kyai Dahlan dalam
berdakwah adalah memposisikan kaum muda. Salah satunya dengan mendidik Pamong
Praja (calon pejabat) di ASVIA Magelang dan para calon pengajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena
itulah beberapa murid generasi awal seperti Hisyam, Fachruddin dan Syudja’
merasa nyaman dengan gagasan pemikiran Kyai Dahlan. Bahkan untuk mengajarkan
inti ajaran islam Kyai Dahlan mengulang-ulang surat Al Ma’un sampai sang murid mempraktekkan maksud dari ayat tersebut.
Ditengah kesibukan Kyai Dahlan sebagai Kyai. Ia juga menjadi sudagar tekstil
untuk daerah Surabaya, Jakarta, Pekalongan, Jogja bahkan sampai ke Sumatera.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
yang bertepatan 18 November 1912 di Kauman Kyai Dahlan bersama para muridnya
seperti Fachruddin, Syuja’, Hisyam, Tamim, Syarkawi dan Abdul Ghani menggagas
berdirinya organisasi persyarikatan Muhammadiyah sebagai wadah untuk berdakwah
dan berjuang. Maksudnya, Muhamadiyah sebagai upaya untuk mengajarkan ajaran
Nabi Muhammad dan memajukan islam didalam para anggotanya mengingat bangsa
Indonesia berada dalam cengkaraman penjajahan belanda dan tercampurnya praktek
ibadah umat islam dengan TBC. Setelah 2 tahun pengajuan badan hokum pada Hindia
Belanda Muhamamdiyah mendapatkan surat ketetapan dari pemerintah dengan no. 18
tanggal 22 Agustus 1914 dan hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta karena Belanda
khawatir dengan gerakan Muhammadiyah. Kyai Dahlan menyiasati nama cabang
Muhamamdiyah di Yogyakarta dengan memberi nama lain Nurul Islam (Pekalongan),
al Munir (Makasar), Ahmadiyah (Garut) dan Sidiq
Amanah Tabligh Fatonah/SATF (Solo)[6].
Padahal jauh hari sebelumnya Kyai Dahlan juga aktif dalam bebarapa organisasi
seperti Jamiatul Khair, Budi Oetomo,
Serikat Islam dan Commite Kanjeng Nabi Muhammad.
Maksud dan tujuan Muhammadiyah “menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam
agama Islam sehingga terwujud masyarakat yang sebenar-benarnya.”[7].
Dan ciri kepemimpinan Muhammadiyah bersifat kolektif kolegial.
PERJALANAN DAKWAH MUHAMMADIYAH
Keberhasilan Kyai Dahlan
mendirikan Muhammadiyah sejak tahun 1912 tidak secara serta merta aman dari
intimidasi dari berbagai pihak. Gerakan Muhammadiyah yang mentik-beratkan pola
gerakannya pada kelas menengah senantiasa akan berhadapan dengan tingkat
struktur secara lebih nyata. Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian
islam dan organisasi reformis sejak kelahirannya mendorong perubahan atas
kejumudan sistem dan berfikir. Gerakan pemurnian lewat penghapusan TBC kemudian
oleh sebagian kalangan bahwa Muhamamdiyah mengabaikan nilai-budaya masyarakat yang
sudah berlangsung dan berkembang secara turun temurun. Padahal dalam faktanya,
hingga sampai saat ini banyak budaya yang tetap dilestarikan oleh Muhammadiyah,
hanya saja dilakukan modifikasi konten isi seperti yang dilakukan di Lembaga
Seni, Budaya dan Olahraga dibeberapa level pimpinan Muhammadiyah.
Sejak Muhamamdiyah didirikan
dalam perjalanannya Muhammadiyah mencirikan diri dalam pola perjuanganya
setidaknya menitik-beratkan pada 3 hal[8].
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
islam. Pentingnya pendalaman pengetahuan terhadap Al Qur’an merupakan hal yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah sehingga keberadaan Al Qur’an dapat dibumikan
dan menyentuh dasar kehidupan manusia. Dari sinilah keberadaan pentingnya
ijtihad dihadirkan. Kedua,
Muhamamdiyah sebagai gerakan dakwah islam. Berdirinya Muhammadiyah yang
dilatar-belakangi pendalaman Kyai Dahlan terhadap QS. Imran : 104 dan
memposisikan ayat ini sebagai khittah
dan strategi perjuangan maka Muhammadiyah memanefestasikan ayat ini dalam ragam
bentuk amal usaha sejak berdirinya dan dapat dinikmati sampai saat ini oleh
seluruh umat. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Keberadaan tajdid
dapat dilihat dari 2 hal yakni pemurnian (furifikasi) dan reformasi. Furifikasi
dimaknai sebagai upaya Muhammadiyah dalam memurnikan praktek keagamaan yang
mulai bercampur dengan budaya lokal TBC. Sedangkan reformasi, Muhammadiyah
memperbaharui cara penyelenggaraan
pendidikan, penyantunan fakir miskin, zakat, rumah sakit, shalat ied dan idhul
kurban.
Perjalanan dakwah Muhamadiyah
sejak didirikan sampai menapaki abad kedua tetap mengkonsentrasikan pada
pengembangan pendidikan, kepedulian social dan kesehatan yang ditandai dengan
semakin berkembangnya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) meski pada abad kedua
secara perlahan Muhammadiyah mengembangkan beberapa potensinya dalam bidang
lain seperi ekonomi, pemberdayaan masyarakat, kebudayaan dan lainnya dengan
mendirikan lembaga dan pusat studi lewat AUM dan struktural disetiap level
pimpinan. Sehingga keberadaan AUM menurut pandangan Hilman Latief disebut
sebagai lembaga social-voluntari-nirlaba. Adapun perkembangan AUM sampai saat
ini (tahun 2010) sudah berkembangan
dengan sangat signifikan[9].
No
|
Jenis Amal Usaha
|
Jumlah
|
1
|
TK/TPQ
|
4.623
|
2
|
Sekolah Dasar (SD)/MI
|
2.604
|
3
|
Sekolah Menengah Pertama
(SMP)/MTs
|
1.772
|
4
|
Sekolah Menengah Atas
(SMA)/SMK/MA
|
1.143
|
5
|
Pondok Pesantren
|
67
|
6
|
Jumlah total Perguruan
tinggi Muhammadiyah
|
172
|
7
|
Rumah Sakit, Rumah
Bersalin, BKIA, BP, dll
|
457
|
8
|
Panti Asuhan, Santunan,
Asuhan Keluarga, dll.
|
318
|
9
|
Panti jompo *
|
54
|
10
|
Rehabilitasi Cacat *
|
82
|
11
|
Sekolah Luar Biasa (SLB)
*
|
71
|
12
|
Masjid *
|
6.118
|
13
|
Musholla *
|
5.080
|
14
|
Tanah *
|
20.945.504 M²
|
Ditengah perkembangan AUM yang semakin pesat tentunya membutuhkan penupang dan perangkat untuk lembaga kedermawanan (filantropi) ini[10]. Karenanya oleh sebagian kalangan ilmuan barat menganggap Muhammad sebagai gerakan “muslim modernis”[11]. Setidaknya Hal tersebut didasarkan pada gagasam, gerakan dan tata kelola Muhammadiyah yang cukup rapi dari tingkat pusat sampai dengan ranting yang dimulai sejak organisasi ini berdiri.
Dari beragama AUM yang sedang
menggurita dibanyak tempat. Akan terasa sangat penting untuk mengetahui para
tokoh yang berada dibalik layar untuk menghidupkan ritme gerakan Muhammadiyah
dari masa awal sampai pada abad kedua. Sekaligus mengenal watak dari setiap
tokoh yang lahir dari Muhammadiyah meskipun parade organisasinya bersifat
kolektif kolegian. Tokoh tersebut
terangkum sebagai berikut[12].
No
|
Pimpinan
|
Kultur-Khas
Kepemimpinan
|
1
|
KH. Ahmad Dahlan
|
Penggagas
Muhammadiyah
|
2
|
KH. Ibrahim
|
Tokoh Pragmatis
Progresif
|
3
|
H. Muhammad Syuja’
|
Tokoh PKO dan
Organisasi Haji
|
4
|
H. Fakhruddin
|
Tokoh Muballigh dan
Penerbitan
|
5
|
KH. Hisyam
|
Tokoh Aksioner
Edukatif
|
6
|
Kyai Raden Haji
Hadjij
|
Tokoh Ulama Tarjih
dan Pandu Muhammadiyah
|
7
|
KH. Mas Mansur
|
Tokoh Revolusioner
Progresif
|
8
|
Ki Bagus Hadikusumo
|
Tokoh Pragmatis
Revolusioner
|
9
|
Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur
|
Tokoh Pragmatis
Ideologis
|
10
|
Prof. DR. Hamka
|
Ulama Sastrawan-Budayawan
Idealis
|
11
|
KH. Muhammad Yunus
Anis
|
Tokoh Pragmatis
Ideologis
|
12
|
KH. Ahmad Badawi
|
Tokoh Pragmatis
Visioner
|
13
|
KH. Faqih Usman
|
Tokoh Pragmatis
Moderat
|
14
|
KH. Abdur Rozak
Fachruddin
|
Muballigh Visioner
Bersahaja
|
15
|
H. Djarnawi
Hadikusumo
|
Tokoh
Visioner-Aksioner
|
16
|
H. Soedarsono
Prodjokusumo
|
Tokoh Perguruan
Muhammadiyah
|
17
|
H. Mohammad Djindar
Tamimy
|
Tokoh Ideolog
Muhammadiyah
|
18
|
KH. Ahmad Azhar
Basyir, MA
|
Tokoh Ulama
Intelektual
|
20
|
Prof. DR. HM. Amien
Rais, MA
|
Tokoh Intelektual
Reformis
|
22
|
Prof. DR. Ahmad
Syafi’i Ma’arif
|
Tokoh Intelektual
Humanis Egaliter
|
23
|
Prof. DR. HM. Sirajuddin Syamsuddin, MA
|
Tokoh Intelektual
Humanis
|
MUHAMMADIYAH DAN WAHABIYAH
Ada hal yang cukup menarik
beberapa bulan yang lalu saat Kepala Badan Nasional Penanggulanga Terorisme
(BNPT), mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendro Priyono dan Ketua
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj yang secara kompak
menyatakan bahwa aksi terorisme dan
kekerasan yang melanda negeri ini berakar dari masuknya paham Wahabiyah
atau Salafiyah ke Indonesia. Barangkali hal ini bukan karena sesuatu yang
kebetulan mengingat ketiganya terlibat dari program deradikalisasi di negeri
ini.
Posisi Muhammadiyah yang serba
keliru pun merespon lewat Majalah dua mingguan Suara Muhamamdiyah (SM) Edisi
No. 1/TH. Ke-97 yang terbit 1-15 januari 2012 dengan tema “Siapa Wahabiy? Isu Di Balik Dewabisasi”. Muhammadiyah bagi kami
dianggap serba keliru karena hampir tidak ada fakta yang dapat menjelaskan
bahwa ada keterlibatan Muhamamdiyah dalam beragam aksi kekerasan apalagi
terorisme. Akan tetapi respon dalam majalah tersebut lebih didasari pada
pandangan bahwa selama ini keberadaan Muhammadiyah dipandang membawa gagasan
Wahabiy yang notabene berembrio pada pemikiran Kyai Dahlan sebagai pendiri
Persyarikatan Muhammadiyah. Jika kemudian terjadi generalisasi aliran Wahabiyah
di Indonesia barangkali tidak menutup kemungkinan Muhammadiyah menjadi salah
satu tersangka logika kacamata kuda.
Masih dalam majalah SM secara
lebih tegas Haedar Nashir dalam artkel “Anatomi Gerakan Wahabiyah” menjelaskan
gerakan pemurnian yang dilakukan Waabiy hanya satu sisi atau bagian dari islam
secara keseluruhan. Gerakan Wahabi menolak keras sinkretisme kaum sufisme dan
tradisional yang membawa para praktek
agama yang bersifat syirik atau politheis. Disamping menggelorakan penegakan
tauhid atau monotoisme. Dalam perjalanannya Wahabiy menjadi gerakan militan
secara politik setelah bergabung dengan pemimpin Saudi. Gerakan ini pun semakin
massif dan tidak hanya memberantas syirik dan bid’ah melainkan juga
menghancurkan tempat-tempat yang dikramatkan umat islam. bahkan di irak
menimbulkan gejolak konflik dikalangan Syi’ah.
Logika Muhammadiyah yang dianggap
sebagai bagian Wahabiyah tidak karena akar historis yang kemudian terus
dilecutkan. Meski fakta di lapangan keberadaan Muhammadiyah masih tetap
berkompromi dengan kultur masyarakat Indonesia. Muhammadiyah lewat Majelis
Tarjih memberikan padangan bahwa tajid bukan hanya sekedar mengandung perintah
dan larangan melainkan petunjuk. Dan pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah
lebih bersifat luas yang didukung gerakan pengembangan. Maka pelebelan negatif
terhadap pemurnian justru menimbulkan kesan bahwa keengganan untuk menerima
pemurnian akidah.
Pembaruan yang dilakukan
Muhammadiyah dapat dilihat dua factor yaitu pembaharuan yang bervisi kedepan
dan berorienasi kebelakang[13].
Muhammadiyah selain tetap berupaya memurnikan akidah tetapi juga termanifestasi
dalam gerakan sosialnya. Muhamamdiyah yang semakin dewasa disadari atau tidak
telah menjadi organisasi yang barangkali tidak terbayangkan oleh Kyai Dahlan.
Akhirnya, harus ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan Wahabiy, bukan pula
Dahlaniyah. Muhammadiyah adalah penganut ajaran Nabi Muhammad yang berlandaskan
Al Qur’an dan Al Sunnah.
PERCIKAN GEJOLAK PEMIKIRAN KAUM MUDA MUHAMMADIYAH
Lima dekade terakhir gejolak
pemikiran kaum muda di Indonesia kian berkembang secara signifikan yang
ditandai dengan berdatangannya pemikir baru. Berkembangnya pemikir muda
tersebut juga melanda kalangan Muhammadiyah. Jika dikalangan kaum muda NU lahir
embrio pemikiran baru dari kelompok Islam Liberal (JIL), sedangkan di
Muhammadiyah terbentuk wadah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Meski pun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, namun secara metodelogi
pendekatan yang digunakan JIL dan JIMM hampir sama.
Bangkitnya kelompok dua ini bukan
bermaksud untuk memberikan keributan berfikir dikalangan struktur organisasi
yang sama-sama yang sudah mapan ini. Melainkan keberadaan mereka hanya untuk
memberikan ruang berfikir lebih luas yang selama ini belum mendapatkan tempat
di tingkat struktur organisasi. Corak pemikiran kaum muda ini pun mendapat
sambutan “kaum liberal” dari kalangan tua. Hal tersebut lebih banyak disadari
pada pola “ketidaksetujuan” berfikir kaum muda. Institusi liberal ini pun nampaknya
sesuatu yang berlebihan mengingat keberadaan mereka (kaum muda) masih terikat
secara structural maupun kultural dengan arus organisasi masing-masing.
Keberadaan JIMM menurut salah
seorang mentor JIMM Moeslim Abdurrahman, setidaknya mempunyai 3 pilar[14].
Pertama, hermeneutika sebagai
perangkat analisis dalam membongkar banyak realitas baru dalam masyarakat. Kedua, perlunya penggunaan pemanfaatan
dan pendekatan ilmu social untuk memotret dan menganalisis persoalan umat islam. Ketiga, the new social movement.
Sebagai bentuk proses berteologi yang selama ini lebih menganggap teologi
sebagai disiplin ilmu mestinya diubah menjadi gerakan.
Dengan hadirnya 3 pilar diatas
keberadaan JIMM diharapkan menciptakan sekumpulan orang tidak hanya menganggap
bahwa ber-Muhammadiyah hanya diselesaikan dengan bekerja shaleh atau beramal
shaleh diamal usaha. Melainkan menjadikan diri ber-Muhammadiyah sebagai upaya
menghidupkan “rumah intelektual” ditengah arus pemikiran yang kian kompleks.
Pola berfikir yang imajinatif ini bukan kemudian menjatuhkan diri pada
persoalan yang kontemplatif—jauh dari realitas social tetapi juga memotret
secara mendalam terhadap beragam hegemoni lokal dan global yang memposisikan
kaum mustah’afin sebagai kegagalan produk masyarakat modern.
JIMM beranggapan bahwa untuk
dapat mengubah tingkat kesadaran intelektual orang yang menjadi arus luar
hegemoni sekarang ini (sebut; globalisasi) adalah memaksa dan mengkaji ulang
semua termasuk yang berkaitan dengan kesadaran teologis apakah berhubungan
dengan bentuk praksis new social movement yang tidaknya meliputi 4 hal ; capital on the move, media on the move,
people on the move dan gagasan revolusioner[15].
Eksistensi JIMM perlahan mulai
meredup ditengah banyaknya serbuan dan tuntutan yang kian beragam; baik dari
dalam kalangan Muhamamdiyah yang masih belum memberikan ruang terhadap
pemikiran kaum muda Muhammadiyah. Namun setelah meninggalnya Moeslim Abdurrahman
beberapa waktu secara perlahan para anggota JIMM kembali merapatkan barisan.
Mesikipun kemudian menyebabkan beberapa kaum muda membentuk komunitas sendiri
seperti MIM Indigenous School[16].
Gejolak pemikiran kaum muda
Muhammadiyah merupakan upaya ijtihad untuk menjawab permasalahan kontemporer
yang tidak bisa hanya diselesaikan dengan formalism sruktural-adiministratif.
Terlebih beberapa pemikir yang lahir dalam embrio Muhammadiyah kemudian pecah
kongsi menjadi 3 aliran[17].
Pertama, aliran puritan. Aliran ini
mementingkan Muhammadiyah sebagai identitas yang dikemudian diwakili oleh
kelompok tua dan muda yang belajar islam dari timur tengah. Ciri aliran ini
lebih menekankan pada bentuk purifikasi dengan memahami al Quran dan Sunnah
secara tektual dan mengenyampingkan ilmu-ilmu social dan hermeneutika.
Kedua, aliran liberal. Aliran ini merupakan kelompok yang mengapresiasi
prestasi yang dicapai Muhammadiyah dan tidak hanya mementingkan identitas
belaka. Penggunaan ilmu social dan hermeneutika menemukan ruang dalam aliran
ini disamping berkeinginan mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid
agar tetap berkontribusi pada permasalah kontemporer ditengah mulai kakunya
gerakan Muhammadiyah karena masalah procedural-administratif. Aliran ini
kemudian erat dengan kaum muda Muhammadiyah. Ketiga, aliran dekonstruksi. Aliran yang mengangggap bahwa
Muhammadiyah mempunyai solidaritas tinggi seperti yang dilakukan Kyai Dahlan.
Mereka berpandangan bahwa Muhammadiyah saat ini sudah seperti ide awal
didirikannya yang pro kaum marginal. Muhammadiyah cenderung kapitalistik dengan
kekuatan AUM-nya. Pendekatan kelompok ini menggunakan metode Karl Marx yang
lahir dari kaum santri yang belajar keagamaan dari barat serta agamawan yang
mengenal teori Marx.
JIMM berada dalam posisi aliran
kedua. Sedangkan MIM Indigenous School secara terang-terangan berada di dua
arus liberal dan dekonstruktif[18].
Arus ketegangan pemikiran dikalangan anak Muhammadiyah yang kadang tidak
menemukan kursi di struktur pimpinan Muhammadiyah ternyata berhasil membuat
celah evaluasi-reflektif bahwa sudah saatnya Muhammadiyah tidak hanya
mengedepankan gerakan amal usaha melainkan keberpihakan pada kaum mustadh’afin seperti sejak organisasi
ini didirikan []
[1]
Teman-temannya lebih akrab memanggilnya dengan sebutan Cak Makrus. Kader PC IMM
AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta dan mantan Sekretaris Umum DPD IMM DIY. Tukang
celoteh di blog pribadinya
cakmakrus.blogspot.com
[2]
LPI PP Muhammadiyah. Profil 1 Abad
Muhammadiyah. Yogyakarta. PP. Muhammadiyah. 2010. Hal. 12
[3]
Ibid. Profil. Hal. 12
[4]
Ibid. Profil. Hal. 13
[5]
Salah satunya piano yang dapat kita saksikan dalam film “Sang Pencerah” (2010). Film yang dibintangi Lukman Sardi dan
disutradarai Hanung Bramantyo ini menceritakan perjalanan hidup Kyai Dahlan
dalam melakukan pembaharuan dan mendirikan Muhammadiyah.
[6]
LPI. Profil. Hal. 14
[7]
Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB III Pasal 6
[8]
Mustafa Kamal Pasha dkk. Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Tajdid. Yogyakarta. Citra Karsa Mandiri. 2003. Hal. 81-83
[10]
Hilman Latief. Melayani Umat Folantropi
Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis. Jakarta. Gramedia Pustaka
Utama. 2010. Hal. 19
[11]
Ibid. Melayani. Hal 85
[12]
LPI. Profil. Hal. 12-55
[13]
Hilman. Melayani. Hal. 96-97
[14]
Moeslim Abdurrahman. Islam Yang Memihak.
Yogyakarta. LKiS. 2005. Hal. 170-175
[15]
Ibid. Islam. hal. 174
[16]
Madrasah Intelektual Muhammadiyah (MIM) Indigenous School lahir jauh dengan
lahirnya JIMM yakni sekitar rentang 2003-2004. Meskipun tidak sefenominal JIMM
keberadaan komunitas ini juga mempunyai pengaruh terhadap kaum muda
Muhammadiyah (khususnya di Yogyakarta) dengan beberapa produk
pemikirannya.
[17]
M. Abdul Halim Sani. Manifesto Gerakan
Intelektual Propetik. Yogyakarta. Samudera Biru. 2011. Hal 88-89
[18]
Ketimpangan struktur social di Indonesia merupakan sebuah ironi bagi umat islam
Indonesia. Di satu sisi mereka menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan
ritual keagamaan. Tetapi disisi lain mereka justru membangun dan membiarkan
struktur social yang tidak memihak kaum mustadh’afin...secara
akar historis Kyai Haji Ahmad Dahlan telah mempelopori tradisi kritis dalam memahami islam dengan menggugat
konvensional agama.. Cehar Mirza (ed) ”Rahim
Perjuangan Catatan Kecil Mahasiswa Yang Rindu Perubahan”. Yogyakarta. MIM
Press. 2009. Hal, 57
0 komentar: