Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Pengembangan Wacana dalam Gender: Suatu Tinjauan Singkat


 Arif Widodo 
(Mantan Kabid Keilmuan PC IMM AR. Fakhrudddin Kota Yogyakarta)
Bagi sebagian kalangan, gender—yang didefinisiskan sebagai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari aspek sosial—masih dipahami sebagai konsep yang selalu diidentikkan dengan perempuan. Hal ini memang tidak sepenuhnya salah, karena, bagaimanapun juga, pada mulannya gender memang muncul akibat terjadinya berbeagai macam bantuk subordinasi, marginalisasi yang terjadi pada perempuan, sehingga hal ini menyebabkan topik perempuan menjadi dominan ketika membicarakan gender bahkan hingga abad 21 ini. Meskipun deminikan, bukan berarti gender hanya, dan hanya berbicara mengenai perempuan saja, karena seiring berjalan dan majunya zaman, ketidakadilan, marginalisasi dan stereotype yang terjadi pun semakin berkembang; tidak terbatas lagi hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Beginilah sebaiknya kita menempatkan gender dalam melihat realitas sosial sekarang. 

Gender dan Kaum Difabel
Perkembangan diskursus gender, yang semakin maju juga seharusnya menganalisapersoalan ketidakadilan bukan lagi pada mempersoalkan jenis kelamin saja, sebagai aspek yang menimbulkan—apa yang sering disebut—stereotype; pelabelan negatif. Dalam hal ini, pelabelan tidak lagi tejadi karena seseorang perempuan atau laki-laki, namun karena secara fisik atau mental ia tidak sama atau terdapat perbedaan (kekurangan) dengan sebagian besar orang “normal”, istilah yang sering dipakai adalah: disability.
Istilah diasbility yang dipakai untuk menyebut seseorang yang “berbeda” secara fisik dan mental dari orang “normal” sangat problematis. Sebagaimana Mansour Fakih (1999) yang menolak menggunakan term disability, yang berarti: tidak mampu; tidak ‘normal’; cacat. Artinya, pelabelan negatif pada mereka terjadi, dengan menyematkan mereka sebagai orang cacat, sehingga dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang dilakukan orang normal. Mansour menolak istilah itu, karena akan berdampak pada pemarginalkan mereka akibat definisi “normal” yang dihegemoni oleh penafsiran bahwa manusia normal adalah mereka yang lengkap secara fisik  dan mental, sehingga mereka yang tidak sama dengan definisi itu dianggap cacat, akhirnya konstruk sosial akan definisi “normal” terbentuk. Hal ini senada dengan Foucoult yang menyatakan bahwa pengetahuan selalu berkait-kelindan dengan kuasa: relasi kuasa menentukan pengetahuan akan “normal” dan “tidak normal”, cacat dan tidak cacat-nya orang. Sehingga pemahaman yang keliru akan istilah normal dan tidak normal mempunyai efek yang tidak sederhana, karena status-quo yang berada dibalik definisi “normal” akan semakin mapan, dan pelabelan negatif, subordinasi bahkan kekerasan(violence) ditujukan pada mereka (yang dianggap tidak “normal”) akan senantiasa terjadi dan ‘mapan’.
Oleh karenanya, penggunaan istilah disable yang kurang tepat perlu diganti, sebagaimana Mansour, dengan istilah different abilities yang disingkat: diffabel, yang secara literal diartikan: kemampuan yang berbeda. Istilah ini nampaknya lebih adil karena mereka mempunyai potensi dan kemampuan yang berbeda dengan kita—bahkan melebihi orang yang dianggap normal. Penggunaan istilah ini lebih bijak sebab pada dasarnya mereka sepenuhnya mempunyai hak dan kesempatan yang sama sebagaiamana didapatkan oleh semua orang.
Difabel yang dimasukkan dalam analisis gender telah memberikan berbagai terobosan yang memberikan manfaat luas. Pertama, perubahan paradigma pemerintah terutama dalam  membangun fasilitas umum, yang didasarkan pada keramahan terhadap kaum difabel, sehingga mereka mampu mengakses berbagaai fasilitas umum yang dibangun pemerintah. Hal ini sudah dilakukan, paling tidak dengan adanya peraturan pemerintah yang telah dibuat oleh beberapa pemerintah kabupaten, misalnya di DIY ada Kabupaten Sleman yang sudah mengesahkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan bagi Difabel. Perda ini berisi mengenai penyediaan bangunan umum dan lingkungan perlu memperhatikan kemudahan akses bagi digabel, tidak hanya terbatas pada transportasi saja, tetapi juga perkantoran untuk pelayanan umum, pelayanan kesehatan, perdagangan, tempat ibadah, hingga pabrik (Lihat Pasal 4, 5 dan 6). Meskipun dalam implementasi peraturan tersebut masih membutuhkan evaluasi yang tidak sedikit,  adanya peraturan ini memberikan legal-standing dalam pembangunan fasilitas umum yang ramah terhadap kaum difabel. Kedua,berkembangngnya organisasi atau lembaga yang merupakan tempat (wadah) berkumpulnya kaum difabel, tidak hanya sebatas berkumpul tetapi memberikan akses pendidikan-pengajaran huruf braile terutama bagi penyandang tuna-netra. Lembaga lain diluar komunitas/organisasi difabel, tumbuh juga LSM yang fokus kegiatannya berurusan langsung dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan difabel: mulai dari advokasi, pemberdayaan (empowerment), hingga kajian ilmiah terhadap kaum difabel.Ketiga, dalam tataran global, ILO membuat K-159 Konvensi Rehabilitasi Vokasional dan Lapangan Kerja (Difabel) (1990), konvensi yang diselenggarakan pada sidang umum ILO ini berisi berbagai pasal yang berkaitan erat dengan kaum difabel terutama hubungannya dengan rehabilitasi vokasional dan kebijakan kesempatan bekerja, dalam meningkatkan kesempatan kerja yang sama untuk diberikan kepada kaum difabel tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan (Lih. Pasal 2, 3, 4). Ketentuan yang disepakati dalam konvensi ini mengikat ke dalam bagi negara-negara anggota ILO. Dalam mengimplementasikan kebijkan ini, negara-negara anggota dianjurkan melakukan koordinasi dengan berbagai organisasi representatif dari pengusaha dan pekerja guna merumuskan langkah-langkah yang akan diambil kedua belah pihak dalam memanjukan rehabilitasi vokasional dan pemberian lapangan pepekerjaan bagi difabel. Oleh karenya, organisasi difabel juga perlu dimintai pendapat, agar secara bersama-sama, terdapat sinergi antar-stakehoulder (Pasal 5).
Perhatian terhadap kaum difabel tidak hanya bisa dilihat dari segi ekonomi saja, misalnya pemenuhan lapangan kerja, akan tetapi banyak aspek yang bisa dimasukkan dalam melihat hak difabel tunanetra dalam bidang yang lain, terkhusus politik. Politik yang dimaksud disini dalam arti pemilihan kekuasaan (Pemilihan Umum). Studi yang dilakukan Sabiq et al. (2015) misalnya, meneliti partisipasi politik warga difabel di Kabupaten Banjarnagara, sebagai bagian dari literasi politik kaum difabel pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2014. Penelitian ini, menguji berbagai aspek mengenai pemilu 2014 terhadap kaum difabel, yakni: pengetahuan mereka mengenai pemilihan legislatif (DPRD, DPD dan DPR), pengetahuan terhadap calon legislatif, pengetahuan mengenai program yang dibawa para calon, dan padangan terhadap politik uang (money politics). Hasil penelitian ini menunjukkan kemelekkan politik yang beragam, utamanya dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam organisasi difabel (tunanetra), tingkat pendidikan dan intensitas terhadap akses informasi. Difabel yang secara umum mempunyai tiga faktor tersebut mempunyai tingkat literasi politik yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain; yang tidak memiliki tiga faktor tersebut (pp. 43-47).
Organisasi/komunitas difabel ternyata terbukti memiliki pengaruh besar dalam mendidik mereka melalui berbagai acara dan kegiatan: pengajaran membaca (braile) dan lokakarya bekerja sama dengan berbagai LSM/NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan dan advokasi kaum difabel. Sehingga tingkat literasi mereka lebih baik. Selain itu, mereka yang tida masuk organisasi difabel dan memiliki tingkat literasi politik yang baik adalah mereka yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih baik. Dari penelitian ini pula, bisa diketahui bahwa pendidikan politik terhadap kaum difabel masih kurang, karena pendidikan politik hanya diterapkan dalam bentuk sosialisasi pemilu saja, sehingga komunitas difabel tunanetra masih sangat perlu diikutsertakan dalam melakukan pendidikan politik yang inkusif-komprehensif; yang tidak terbatas pada sosialisasi, lebih menjangkau aspek-aspek lain, seperti pemahaman terhadap hakikat pemilu itu sendiri, mengapa Pemilu perlu diadakaan dan apa manfaatnya bagi masyarakat.
Tidak hanya terbatas pada pendidikan literasi poltik, kajian mengenai performa pendidikan tinggi kaum difabel juga menjadi bahan penelitian. Perhatian terhadap kaum difabel melalalui berbagai Undang-Undang serta peraturan pemerintah memberikan dampak yang baik terutama akses mereka (kaum difabel) terhadap pendidikan tinggi. Penelitian Sugionoet al. (2014) tentang klasterisasi mahasisawa difabel berdasatkan performance belajar dan  latar belakang orang tua mereka di tiga Perguruan Tinggi terkemuka daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan 60 orang responden, menunjukkan: pertama, mereka yang kuliah di perguruan tinggi ternyata berasal tidak hanya dari Sekolah Luar Biasa (SLB), sebagian dari mereka menempun jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan SMK. Ini menunjukkan bahwa kurikulum SMA mampu diterima oleh difabel tunanentra (p. 23).
Kedua,  bahwa sebagian besar responden (kaum difabel tunanetra) menempuh kuliah di fakultas Bahasa, Sastra dan Seni (Satra Ingris, Perancis, Seni Rupa dll), mengindikasikan bahwa aksesibilitas fasilitas, kurikulum fakultas ini memang memadai untuk mereka menempuh kuliah di fakultas tersebut. Sedangkan fakultas yang paling sedikit adalah teknik, hal ini menunjukkan kurikulum atau fasilitas fakultas ini belum mampu memberikan pendidikan inklusif bagi mereka (Ibid.). Ketiga, latar belakang pendidikan orang tua yang beragam mulai SD hingga Sarjana-Pasca sarjana tidak serta merta mempengaruhi performance mereka dalam pembelajaran, indikatornya dalam penelitian ini adalah nilai matematika responden, menunjukkan bahwa responden dengan latar belakang pendidikan orang tua Pasca-sarjana mempunyai nilai lebih rendah dibanding dengan mereka yang latar belakang orang tuanya dari jenjang Sekolah Menengah. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang orang tua berpendidikan tinggi tidak terlalu berpengaruh terhadap kepandaian mahasiswa, keadaan seperti ini juga jamak terjadi pada mahasiswa non-difabel. Pelabelan negative yang sering dilakukan kepada kaum difabel merupakan tindakan yang keliru.
Dua penelitian sebelumnya yang membahas kaum difabel dalam kaitannya dengan literasi politik dan pendidikan tinggi, memberikan gambaran bagi kita bahwa mereka mempunyai potensi yang harus dan perlu dikembangkan, melalui berbagai ragam pengembangan penelitian untuk kemudian memberikan gambaran; apa tindakan yang harus diambil dalam rangka mengangkat kemampuan dan harkat mereka berdasar pada hasil riset yang telah dilakukan. Pertanyaan yang akan timbul kemudian, Bagaimana dengan implementasi undang-undang pemerintah mengenai fasilitas umum yang ramah difabel? Apakah kaum difabel sudah ikut merasakan kenyamanan menggunakan transporatsi umum; dari bus (terminal) hingga pesawat terbang (bandara)? Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah (baik daerah maupun Pusat) dan perusahaan mengenai kesempatan bekerja bagi penyandang difabel? dst. Kiranya pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab melalui penelitian-penelitian, yang didahului oleh diskusi dan pembacaan mendalam mengenai berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal tersebut, termasuk peran LSM/NGO yang fokus garapannya adalah kaum difabel.
Selain perlunya pengembangan kajian difabel seperti penulis kemukaan sebelumnya, menarik untuk diteliti dan dikembangkan kajian mengenai hubungan/relasi sosial antara laki-laki dan perempuan dari kalangan difabel. Karena, apa yang dijadikan bahan kajian selama ini hanya berkutat pada relasi sosial antar laki-laki dan perempuan yang jamak dikata orang sebagai kaum “normal”. Maka, menarik untuk dianalisis, apakah hubungan antara laki-laki dan perempuan kalangan difabel memberikan gambaran bahkan contoh hubungan yang egaliter, punya posisi yang adil bahkan karena punya keadilan peran yang proporsional, keluarga dari kalangan difabel terhindar dari kasus-kasus KDRT.
Pemahaman akan gender yang selama ini minim sekali dikaji adalah pemahaman peran laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam lingkup keluarga, ditinjau dari perspektif kaum difabel. Sejauh yang penulis ketahui, belum ada literature yang secara komprehensif dan ilmiah membahas pola hubungan dan peran laki-laki dan perempuan dari kalangan difabel. Bagaimana mereka memahami peran perempuan dalam kehidupan sosial? Bagaimana mereka membagi peran antara suami dan istri? Pertanyaan-pertanyaan inilah kiranya yang menjadi awal gender dalam perspektif kaum difabel. Banyak kajian dan penelitian ilmiah yang membahas mengenai hak-hak politik, pendidikan, dan itu memang tetap penting. Hanya saja, perlu kiranya diteliti pula mengenai pemahaman kaum difabel terhadap peran sosial serta posisi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.  

Masalah Kontrasepsi
Melihat ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan laki-laki (bahkan difabel) dalam gender, selalu mendasarkan penjelasannya pada point-point: subordinasi dan marginalisasi, stereo-type, dan kekerasan (violence). Hal ini tentu saja membutuhkan kontekstualisasi permasalahan, artinya subordinasi dan mraginalisasi pada masa sekarang tentu sangat berbeda dengan masa 30 tahun yang lalu. Sehingga, dalam memahamai point penting gender, perlu adanya pemahaman akan permasalahan kontemporer yang akan diangkat sebagai bagian dari persoalan diskriminasi.
Salah satu permasalahan kontemporer yang bisa diangkat dalam rangka memperluas kajian gender adalah kontrasepsi, lebih tepatnya penggunaan kontrasepsi. Dalam rangka pengendalian laju pertumbuhan penduduk, Pemerintah mempromosikan adanya program Keluarga Berencana (KB), dengan slogan:”Dua anak cukup”. Dalam implementasinya, pemerintah melalui berbagai pusat pelayanan kesehatan dan swasta memberikan pelayanan-pelayanan penggunaan kontrasepsi bagi keluarga yang ingin mengatur kehamilan anak-anak mereka. Pertanyaan yang akan timbul kemudian: apakah kontrasepsi adalah kewajiban yang wajib dijalankan hanya bagi perempuan? Adakah alat kontrasepsi bagi laki-laki? Berapakah persen perbandingan pengguna kontrasepsi perempuan dan laki-laki?, kiranya relevan untuk kita bahas  dan jawab dengan argumen disertai data yang ada.
Alat kontrasepsi merupakan alat yang digunakan untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan serta mengontrol (menunda) kehamilan, dalam rangka mensukseskan program Keluarga Berencana (KB) (Kemenkes RI, 2014) sebagai bagian dari program pengendalian penduduk dunia yang tercantum dalam Millenium Development’s Goals(MDGs). Kontrasepsi sesungguhnya bukanlah kewajiban yang hanya dibebankan kepada perempuan (yang ingin menunda, mengatur kelahiran) akan tetapi juga berlaku bagi laki-laki (suami). Umumnya, KB, kontrasepsi selalu idenik dengan perempuan, sehinngga tidak mengherankan jika ketika diperdengarkan kata kontrasepsi, sebagian besar kita memandang bahwa hal tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan. Bukan tanpa sebab, karena kontrasepsi berhubungan erat dengan kehamilan, dan hanya wanita-lah (istri) yang bisa melahirkan, sehingga seolah-olah perempuan juga-lah yang harusnya mengunakan kontrasepsi untuk mengatur kehamilan. Padahal tidak sepenugnya demikian. Karena perkembangan alat kontrasepsi, alat yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki juga ada, artinya bahwa mengatur kehamilan, jarak usia anak, bukan semata-mata tugas seorang perempuan (istri) akan tetapi peranan laki-laki di dalam mengatur bahkan menunda kehamilan juga tidak kalah penting. Keluarga Berencana sebaiknya dibangun dengan kesadaran akan penggunaan alat kontrasepsi yang seimbang-proporsional antara suami dan istri. Sehingga, pengaturan kelahiran dan jarak usia anak merupakan usaha bersama suami-istri tanpa ada pembebanan ‘tugas’ di salah satu pihak.
Secara umum, kontrasepsi berdasarkan lama waktunya dibagi menjadi dua, yaitu KB MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang)  dan Non-MKJP. Yang pertama, terdiri dari IUD (Intra Uterine Device), jenis susuk/implant, MOW (Metode Operasi Wanita/Tubektomi), MOP (Metode Operasi Pria/Vasektomi). Kontrasepsi jenis ini mempunyai efektivitas jangka panjang; untuk IUD mampu efektif selama 10 tahun, Implant mampu selama 3-5 tahun, sedangkan MOW dan MOP mempunyai efektivitas seumur hidup atau permanen, karenanya jenis kontrasepsi ini dianjurkan bagi PUS (Pasangan Usia Subur) yang tidak menginginkan anak lagi. Jenis kedua, Non-MKJP, yang termasuk di dalam kontrasepsi jenis ini antara lain: kondom, pil KB, suntik serta metode lain yang tidak termasuk MKJP. Jenis kontrasepsi ini lebih bersifat sementara dalam jangka waktu pendek (Nasution, 2011: 6-10). Tentu saja, baik MKJP maupun Non-MKJP, keduanya mempunayi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dari gambaran umum di atas, kita mampu membaca lebih dalam, bahwa begitu banyak metode-metode kontrasepsi yang ada, dan tidak hanya diperuntukkan bagi kaum hawa saja akan tetapi juga disediakan bagi kaum adam. Jadi, pengendalian laju penduduk melalui kontrasepsi tidak hanya bertumpu pada peran wanita sepenuhnya akan tetapi menuntut peran laki-laki. Berikut ini, disajikan data pengguna kontrasepsi menurut jenis kelamin:
Sumber: KEMENKES RI, 2014
Dari data tersebut, bisa dilihat bahwa 93,66% yang memakai kontrasepsi adalah kaum perempuan, sedangkan sisanya yaitu sebesar 6,34% adalah kaum laki-laki. Artinya, pandangan yang menekankan perempuan harus memakai kontrasepsi ketika suatu keluarga (rumah tangga) hendak mengatur pengendalian keturunan, masih ada dan nyata di lapangan. Maka dari itu, perlu usaha-usaha untuk menyadarkan kaum laki-laki bahwa peran mereka juga sangat penting dalam pengendalian keturunan.
Selain persoalan pembagian tugas yang kurang proporsional antara laki-laki dan perempuan dalam masalah kontrasepsi ini, penting kiranya untuk juga menelaah faktor apa saja yang secara signifikan mempengaruhi seseorang (baik laki-maupun perempuan) dalam menhambil keputusdan untuk melakukan MKJP. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2011) mencoba meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian kontrasepsi MKJP di enam (6) wilayah di Indonesia meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Beberapa faktor tersebut antara lain: Umur PUS (Pasangan Usia Subur), Jumlah anak masih hidup, Lama menikah, Pendidikan, Wilayah tempat tinggal, Tujuan ber-KB, Tahapan keluarga dan Sumber pelayanan. Sederet faktor-faktor inilah yang ikut mempengaruhi pemakaian MKJP. Setiap daerah yang diteliti secara umum mempunayi kesamaan bahwa sengain besar faktor tersebut mempengaruhi keputusan untuk memakai MKJP, akan tetapi adan perbedaan kecil, misalnya saja yang terjadi di daerah Jawa, dimana faktor umur PUS sangat mempengaruhi keputusan MKJP sedangkan di daerah Sumatra faktor tersebut tidak berpengaruh. Selain itu, di daerah Bali-Nusa Tenggara, variabel (faktor) jumlah anak masih hidup tidak mempunyai pengaruh terhadap keputusan MKJP sedangkan di Jawa dan Sumatera, faktor tersebut ikut mempengaruhi keputusan memakai MKJP. Perbedaan ini tentu suatu hal yang niscaya, namun Nasution menyimpulkan bahwa secara umum pengunaan MKJP tidak terlalu berbeda antar satu daerah dengan yang lain. Sebagian besar responden yang menggunakan MKJP adalah PUS yang berumur lebih dari 30 tahun, jumlah anak lebih dari atau sama dengan tiga, sudah menikah lebih dari 10 tahun, memliki tingkat pendidikan SMA ke atas, tinggal di perkotaan dan tujuan ber-KB adalah untuk mengakhiri kehamilan.
Selain faktor yang dikemukakan pada penelitian Nasution, kajian yang dilakukan Puspitasari dan Winarni (2011: 2) mengemukakan faktor lain yang juga ikut berpengaruh pada penurunan penggunaan kontrasepsi, dalam hal ini IUD, adalah  fasilitas yang kurang maksimal, belum meratanya promosi kontrasepsi (IUD), kurang memadainya jumlah KIE di lapangan dan terbatasnya jumlah IUD yang beredar di masyarakat. Faktor-faktor tersebut tentu lebih kompleks dari apa yang dituliskan, dan yang perlu diperhatikan pula, masih banyak faktor lain yang perlu dikembangkan, terutama variabel yang menyebabkan kurangnya peranan suami dalam ikut serta menggunakan kontrasepsi. Karena, data-data penelitian di atas, masih didominasi oleh istri sebagai pengguna kontrasepsi.  

Penutup
Sebagai penutup, perlu kiranya kira rumuskan beberapa langkah ke depan yang bisa kita lakukan, setelah melihat penjelasan dalam paparan sebelumnya. Pertama, dalam jangka pendek, perlu diadakan campaign untuk  dua masalah; difabel dan juga kontrasepsi, yang bisa dilakukan melalui media sosial dengan membuat meme, video singkat instagram,hingga membuat puisi-video guna memperoleh perhatian public (juga anak muda) untuk ikut serta dalam pemihakan terhadap permasalahan kontemporer difabel. Hal ini harus diikuti juga dengan melihat perkembangan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai kaum difabel, untuk kemudian membautnya menjadi meme tertentu agar relevansinya ada dengan masalah yang ada di lapangan. Kedua, jangka menengah, perlu adanya kajian dengan mengundang berbagai kalangan; untuk masalah difabel dari pemangku kepentingan kebijakan, LSM yang menangani masalah difabel dan perwakilan dari kelompok/organisasi difabel (semua jenis difabel) serta perlu mengunadang pakar kesehatan reprosuksi untuk masalah kontrsepsi, dan LSM gender. Forum diskusi ini menjadi perlu agar berbagai ragam perspektif bisa dipertemukan, sehingga pandangan serta analisis dalam membahas masalah tersebut semakin luas, karena dilihat dari berbagai sudut pandang; baik dari sudut teori maupun praktik. Dengan kegiatan ini diharapkan ada tindak lanjut di langkah ketiga, jangka panjang untuk melakukan penelitian lapanagan terhadap dua masalah yang menjadi pembahasan di atas, yaitu difabel dan kontrasepsi. Wallāhu a’lamu bis-shawāb
Bahan Bacaan
Fakih, Mansour. (1999). “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum Difabel”. Makalah dipresentasikan dalam Diseminasi Nasional “Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua” di Yogyakarta, 27-28 September 1999.
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. (InfoDATIN: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI).
Nasution, Sri Lilestina. (2011). Analisis Lanjut Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP di Enam Wilayah di Indonesia. (BKKBN: Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan KS).
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). (1990). K-159 Konvensi Rehabilitasi Vokasional dan Lapangan Kerja (Difabel). Konvensi yang diselenggarakan di Jenewa pada sidang Umum ke 69, 1 Juni 1983.
Puspitasari, Diah dan Winarni, Endah. (2011). “Kajian Implementasi Kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD”. Policiy Brief 3. (BKKBN: Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan KS).
Sabiq et al., Ahmad. (2015). “Literasi Politik Kaum Difabel: Studi Kasus pada Pemilih Tunanetra di Kabupaten Banjarnegara dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014”.Laporan Riset Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam PEMILU. (KPU Kabupaten Banjarnegara, 2015).
Sugiono et al. (2014). “Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Backround Histories dan Studying Performance”. Indonesian Journal of Disability Studies, Vol. 1 Issue 1, June 2014, pp. 20-26.

0 komentar: