Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Tajdid Abad ke-2 Muhammadiyah ?*


Ari Susanto

Pegiat MIM Indigenous School; 

Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam


Muhammadiyah sejak terhitung kelahirannya 12 November 1912 M atau 08 Dzulhijah 1330 H, kini telah memasuki usianya yang ke 104 hitungan Masehi dan 107 hitungan Hijriyah. Menjalani usianya pada abad yang ke-2 ini, dengan berbagai torehan prestasi di berbagai bidang kehidupan bagi bangsa Indonesia, kiranya Muhammadiyah perlu mempertajam kembali gerakan tajdid-nya, sebagai formulasi gerakan abad ke-2 Muhammadiyah.

Menurut beberapa pengamat, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Pengamatan itu ada benarnya, jika merujuk perkembangan Muhammadiyah dari 1912 hingga kini. Muhammadiyah secara struktur organisasi telah tersebar di 34 provinsi di Indonesia, tercatat ada 34 PWM, 488 PDM, 3655 PCM, 8107 PRM. Selain itu juga di dukung oleh 7 organisasi otonom Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci dan Hizbul Wathon.

Sedangkan, jika dilihat dari berbagai bidang garapan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), sebanyak 384 bidang sosial, sebanyak 461 bidang kesehatan, lebih dari 10.382 bidang pendidikan mulai Pendidikan Anak Usia Dini - Perguruan Tinggi, sebanyak 11.198 bangunan rumah ibadah dan 20.945.504 M2 aset tanah Muhammadiyah (Muhammadiyah.or.id). Dengan predikat itu, tentulah Muhammadiyah sangat bangga, namun sematan predikat itu tidak boleh ‘meninabobokan’ dan membuat terlena Muhammadiyah atas kebesarannya. Kejumudan terkadang hadir dari keterlenaan, sehingga lupa akan realitas dan tantangan yang harus dihadapi dan dipersiapakan untuk pembangun peradaban masa depan.

Membaca Ulang
Kebesaran Muhammadiyah diatas, tidak bisa terlepas dari gerakan Muhammadiyah masa lalu. Menilik kembali sejarah, menjadi sebuah keniscayaan sesuatu yang harus dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah agar kita mampu membaca dinamika kehidupan terhadap setting masyarakat pada saat itu, untuk kemudian menginspirasi pemikiran dan gerakan untuk kemajuan peradaban yang akan datang. Singkatnya, menilik sejarah sebagai sebuah upaya perfikir visioner dan futuristik dalam membangun peradaban.

Kiai Ahmad Dahlan dan rekan seperjuangannya, merupakan pelopor gerakan tajdid (pembaharu) pada gerakan Muhammadiyah. Beribu AUM dan Organisasi Otonom Muhammadiyah, merupakan dampak dari pemikiran terdahulu. Hal ini dapat kita lacak melalui dokumen persyarikatan Muhammadiyah, bahwa pada tahun 1920 diresmikan pengurus Muhammadiyah dengan empat bidang bagian yaitu; a) Muhammadiyah Bagian Sekolah diketua oleh H.M Hisjam; b) Bagian Tabligh diketua oleh H.M Fachruddin; c) Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), diketuai oleh H.M Soedja’ dan d) Bagian Taman Pustaka di ketuai oleh H.M Mochtar. Disini ada sifat istikomah (konsisten) dalam perjuangan serta kegigihan dalam beramal. Ini yang membuktikan Muhammadiyah tetap kokoh eksis di negara ini.

Pemahaman teologis KHA Dahlan dan rekannya, membuahkan gerakan praksis (nyata) dalam keseharian bermasyarakat. Istilah Amien Rais yaitu tauhid sosial, bahwa kesholehan individu harus memancarkan kesholehan sosial. Maka disini nampak bahwa Islam membawa misi kemajuan dalam kehidupan. Tajdid direproduksi dari pemikiran dan perenungan keagamaan untuk membangun sebuah peradaban. Berfikir visioner dan futuristik mencaji corak gerakan tajdid ini. Yang menarik, gerakan yang dilakukan KHA Dahlan dan rekannya tempo dulu bersifat akomodatif yang pada saat itu dibawah pemerintahan belanda. Inilah kelebihan gerakan Muhammadiyah tempo dulu.

Tajdid Abad ke-2
Di abad ke-2-nya, Muhammadiyah harus berfikir keras untuk merumuskan gerakan tajdid kembali, sebagai formulasi perjuangan membangun peradaban. Rumusan tajdid baru inilah yang kemudian di abad kedua menjadi fokus perjuangan Muhammadiyah dalam tataran nasional dan masyarakat global. Oleh sebab itu, mungkin yang perlu dipertimbangakan dalam menyusun agenda tajdid abad ke-2 ini yaitu;

Pertama, penegasan kebangsaan bahwa Indonesia sebagai darul ahdi wa syahadah pada Muktamar ke-47 di Makasar lalu harus disistematisasikan. Hal ini menimbang bahwa, konsep demokrasi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan baik. bahwa sesungguhnya kehidupan di dunia ini, kita tidak benar-benar bebas dari cengkraman dan target ‘kaum fir’aun’ dan ‘abu lahab’. Sependapat dengan buya Syafii maarif, bahwa Muhammadiyah harus menjadi penentu dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Langkah untuk menjadi penentu perjalanan bangsa harus mensisematiskan gerakan tajdid baik dalam bidang politik dan ekonomi, sebagai formulasi perjuangan Muahammadiyah abad ke-2.

Kedua, dalam dunia Internasional, Muhammadiyah harus menggaungkan suaranya untuk peradaban dunia yang lebih baik lagi. Misalnya khusus untuk umat muslim di dunia, untuk mempersatukan kalender hijriyah, Muhammadiyah telah tampil menawarkan konsep hisab dalam penetapan kalender hijriyah internasional. Secara umum dalam dunia Internasional Muhammadiyah agaknya perlu merumuskan agenda tajdid-nya dalam bersuara di dunia Internasional. Apa yang dilakukan pak Din Syamsudin agaknya patut diteruskan membuka forum dialog perdamaian antar umat agama di dunia internasional. Jika kedua agenda tajdid Muhammadiyah abad ke-2 ini berjalan, maka dapat dibenarkan pandangan pengamat bahwa Muhammadiyah organisasi terbesar yang membawa pengaruh di tingkat nasional maupun Internasional. Wa’allahu ‘alam bishawab 

 
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bernas Jogja (23/11/2016), dan dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

NB: Gambar utama diambil dari sini

0 komentar: