Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Mencari Pola Gerakan Kader Madya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah


Dewi Setiyaningsih
(Kabid Keilmuan PC IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta)

Pendahuluan

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dalam anggaran dasarnya menyatakan tujuan dari organisasi tersebut ialah adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Dalam hal ini, berati IMM memaknai dirinya memiliki tugas mencetak individu kader sebagai upaya penebusan dosa individu (mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia), dan yang kedua IMM sebagai bentuk yang memiliki peran sosial diantara masyarakat sebagai upaya menebus dosa sosialnya (dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah). Dengan demikian, arah gerak Ikatan sebenarnya telah cukup jelas jika menggunakan landasan konseptual tujuan tersebut, ditambah atribut trilogi IMM yang dapat menjadi ukuran dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut. 

Berangkat dari penafsiran atas tujuan IMM tersebut, tulisan ini mencoba mencari pola gerakan IMM dengan mengadakan pengkategorian tugas IMM dalam mencetak individu kader dan bentuk peran sosialnya. Di dalam pengerjaan dua tugas tersebut, IMM sesungguhnya secara utuh memiliki basis ontologis, epistemologi, dan aksiologi gerakan. Ontologis IMM berupa hakikat dari keberadaan IMM itu sendiri, yakni sebagai khairu ummah. Epistemologi atau upaya untuk mngidentifikasi diri kader-kader IMM tersebut khairu ummah atau bukan yakni melalui proses kaderisasi yang berjenjang-jenjang. Aksiologinya atau nilai yang kemudian hasilkan dari identifikasi tersebut berupa peran sosial IMM.

Yang perlu dirumuskan kemudian ialah bagaimana kader IMM mencari pola gerakan yang dalam hal ini mencakup landasan, metodologi dan aksi. Pola yang perlu dibangun tentu bukanlah IMM dalam kategori organisasi semata, namun mengikuti layaknya pola kaderisasi dan kepemimpinan di dalam tubuh Ikatan yang terbagi menjadi: kader Dasar, Madya dan Paripurna, sementara bentuk kepeimpinannya dibagi menjadi level Pimpinan Komisariat, Cabang, Daerah dan Pusat. Maka, yang akan ditawarkan dalam rumusan ini bukanlah sebuah arah gerak yang terbatas pada lingkup Pimpinan Cabang (internal organisasi) namun lebih berdasarkan bagaimana pola gerak kader Ikatan level madya, dengan begitu tulisan ini sekaligus ingin meruntuhkan persepsi yang telah dibangun selama ini mengenai kader Madya IMM seolah-olah hanyalah ia yang menduduki kepemimpinan di level cabang datau DPD.

Mencetak Individu Kader

Tugas mendasar IMM yang pertama, yakni mencetak individu kader. Mengingat pentingnya kader sebagai pewaris perahu ideologis IMM, kader ibaratkan pendaung-pendayung yang mengarahkan perahu ke tujuan tertentu. Tanpa adanya pendayung yang paham menggunakan dayung serta tahu rute perjalanan, cita-cita IMM pun mustahil terwujud dan Ikatan tersebut menjadi tak ubahnya komunitas yang tak memiliki ruh ideologis, saat itulahkader-kader IMM hanya menjadi buih yang tak terhingga.

Rumusan mengenai jenjang kaderisasi IMM yang terbagi ke dalam level Dasar, Madya dan Paripurna setidaknya telah memudahkan kader-kader dalam mengenali kapasitas dan takaran perjuangannya. Jika demikian, maka alangkah pentingnya masa pencetakan kader dasar, karena seorang kader paripurna yang ideal tidak akan terbentuk melainkan melalui kader dasar yang militan. Untuk itu, perlu kiranya memberikan perhatian besar pada proses perkaderan di level dasar yang dalam prakteknya akan diupayakan oleh pimpinan komisariat dengan difasilitasi oleh pimpinan cabang. Pimpinan cabang memiliki tanggungjawab dalam perumusan profil kader ikatan di tingkatan dasar.

Upaya yang bisa dilakukan oleh pimpinan cabang yakni membagi jenjang kaderisasi dengan interval satu tahun, dimana tahun pertama fokus perkaderan adalah ideologisasi, tahun kedua berupa pendalaman kapasitas keilmuan dan tahun ketiga adalah mengasah kepribadian (personality) kader melalui peran kepemimpianannya sebagai pimpinan komisariat.

               
Tahun pertama, kader diarahkan untuk tahap ideologisasi melalui pintu gerbang perkaderan formal yakni DAD (Darul Arqam Dasar). Pengenalan dimulai dari hal mendasar atribut-atribut Muhammadiyah hingga genealoginya dan ditarik ke dalam konsepsi IMM melalui bacaan-bacaan yang bersifat pemikiran dan ideologis (sesuai karakter Muhammadiyah). 

Agar ideologisasi tersebut tidak bersifat doktriner, maka di tahun kedua kader diarahkan untuk mendalami wacana-wacana keilmuan, dengan tujuan agar kader mampu memahami gerakannya secara nalar bukan dogma, konsekuensinya kader juga dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam tubuh gerakannya baik Ikatan maupun persyarikatan (critical thingking). Wacana keilmuan yang dimaksud tentu bukan saja yang bersifat akademis, filsafat barat, sosiologi, ilmu hukum, ilmu sains dll, melainkan khasanah ilmu pengetahuan secara umum, baik itu ilmu kontemporer dan tradisi. Dengan demikian, kader tidak terjebak pada salah satukeyakinan ilmiah yang disakralkan, misalnya sebagian kader mentah-mentah menerima pemikiran Islam modern tanpa mau mengenal metode kalam tradisional (nalar arab) atau sebaliknya, kader terpenjarakan pada keyakinan tradisional dan secara mentah-mentah menolak nalar modern (yang bercirikan pemikiran Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Arkoun, Omid Safi, Essack, dll).

Di tahun ketiga, kader mulai melatih kepribadiannya melalui kepemimpinan di komisariat. Maka, secara ideal yang menjadi pimpinan komisariat adalah kader tahun ke-tiga. Jikapun dalam realitanya komisariat kekurangan kader dan terpaksa harus mengangkat kader tahun kedua sebagai pimpinan, hal tersebut tidaklah bermasalah, karena pimpinan yang dimaksud disini ialah kader inti (penggerak dan penggagas). Untuk lebih mudah memetakannya, kader dalam komisariat dibedakan menjadi ring I (tahun ke-1)- ring II (tahun ke-2) – Ring III (tahun ke-3).Dengan begitu, meskipun kader tahun kedua secara struktural organisasi menjabat di pimpinan, namun secara substansial ia bukanlah ring pertama. Itulah mengapa jabatan struktural di IMM pada level komisariat hanyalah peran semata demi proses kaderisasi. Hal tersebut, untuk menghindari persoalan psikologis kader, misalnya jika kader tahun kedua lebih unggul secara wacana dan pemikiran dari kader tahun ketiga (yang menjalani proses pengasahan kepemimpinan), ia tidak serta-merta dapat dijatuhkan secara psikologis kepemimpinannya. Ditahun inilah, proses kaderisasi dasar berakhir.

Di tahun keempat, kader memasuki jenjang madya dengan diawali kaderisasi formal berupa DAM (Darul Arqam Madya). Maka, materi-materi di tingkat madya sesungguhnya lebih diarahkan pada wacana dan persoalan-persoalan kontemporer yang sifatnya konkret. Karena kader level madya telah melewati masa critical thingkingyang tahap selanjutnya mewajibkan ia harus mengatasi persoalan umat secara konkret. Kader Madya mengalami proses perkaderan dalam hal peran sosialnya di masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. Jika di level dasar ia hanya bergelut dengan masalah kampus dan sekitarnya, di level madya kader diharapkan untuk bergelut dengan ranah persoalan kota. Setelah satu tahun beradaptasi dengan persoalan kota, ia diharapkan menjadi kader madya yang matang dan siap berdialektika dengan persoalan daerah. Disinilah kader memasuki tahun kelima-nya, menerbitkan karya, menjadi dosen, melanjutkan struktural ke DPD, membangun komunitas, menjadi peneliti, dll, hingga akhirnya kader siap untuk menjadi kader paripurna.

Dengan demikian, ukuran seorang kader bukanlah pada karirnya di organisasi internal Ikatan, akan tetapi sesuai atau tidaknya kapasitas dan kepribadian dirinya dengan profil kader ikatan yang ditujukkan dengan kontribusinya ke masyarakat melalui berbagai saluran yang sesuai dengan keahliannya. Setidak-tidaknya produk dari kaderisasi tersebut berupa cetak kader umat, cetak kader bangsa dan cetak kader persyarikatan. Dimana pemaknaan tiga cetak kader ini dimaknai sebagai pendiasporaan di akar rumput, di ranah kebijakan publik, dan di dalam internal organisasi.

Pada level Madya, cetak kader umat dapat ditempuh melalui karir akademik kader ataupun minat dan bakat kader, setak kader bangsa bisa ditempuh melalui keikutsertaan dalam kaderisasi partai, dan kader persyarikatan dapat ditempuh melalui kepemimpinan dalam internal organisasi. Yang perlu dicata ialah, tidak ada pengistimewaan salah satu cetak kader, karena ukurannya bukanlah cetak kader itu sendiri melainkan profil kader ikatana (dasar, madya dan paripurna). Maka, pimpinan cabang sesungguhnya hanya menjadi salah satu saluran saja bagi lahan kerja ideologis kader, lahan-lahan yang lain tersebar di berbagai lini sosial, misalnya: kader umat dapat melakukan perannya menjadi asisten dosen, menghimpun suatu komunitas, menjadi jurnalis, dll. Sementara kader bangsa dapat pula menjalankan perannya sebagai kader di salah satu sayap partai politik, dan belajar bagaimana mengupayakan masyarakat ideal melalui pendekatan strategi (bukan budaya semisal kader umat). Dan kader persyarikatan berperan sebagai penjaga “rumah” agar tetap bereproduksi dalam mencetak kader maupun mengamankan peran sosialnya. Untuk itu tugas pimpinan cabang dalam wilayah perkaderan yakni: Memfasilitasi dan bertanggungjawab terhadap proses pencetakan kader dasar dengan membuat pola kaderisasi beserta kriteria profil kader ikatan di tingkat komisariat (dasar).

Bentuk Peran Sosial IMM

Kedua adalah tugas IMM di masyarakat atau peran sosialnya. Bentuk peran sosial yang akan coba dirumuskan disini ialah IMM secara organisatoris di level madya, harapannya agar memiliki arah yang jelas, terprogam dan terstruktur agar dalam prjalanannya bisa menuai hasil yang konkret sebagaimana materi-materi di jenjang perkaderan madya yang berupa persoalan-persoalan konkret di masyarakat.

Jika hanya berpedoman pada IMM memiliki tanggungjawab moral sebagai pembela kaum papa, beramal ma’ruf nahi munkar, tentu saja masihlah bersifat abstrak dan umum. Maka, dalam melaksanakan peran sosial IMM di masyarakat tentunya harus diobjektivikasikan dalam bentuk konkret. Dengan begitu, menetukan jalan bergeraknya IMM pun akan mudah, analoginya apakah IMM harus berbentuk seperti kapal hingga jalurnya harus diatas bahtera, ataukah layaknya kendaraan beroda hingga harus melaju di jalan raya.

Melihat setting sosial hari ini, peran aktor berupa civil society organization memiliki pengaruh yang berarti terhadap dampak kebijakan publik. Selain bisa mempengaruhi secara strategis melalu advokasi kebijakan publik, juga mampu berperan dalam proses pembentukan norma suatu setting sosial masyarakat. Melihat potensi basis masa yang dimiliki IMM, bentuk gerakan sosial lah yang dirasa paling cocok untuk dipakai dalam menjalankan aktivismenya. Mengingat terlalu sempit IMM jika diartikan sebagai komunitas, terlalu riskan untuk diperankan sebagai parpol, terlalu praktis jika IMM menjadi sebuah bentuk LSM yang tergantung pada funding. 
 
Keunggulan IMM sebagai gersos yang pertama yakni dalam basis masa, dimana IMM memiliki sekutu strategis dan sekutu taktis yang lumayan luas. Sekutu strategis sendiri, pimpinan level cabang memiliki komisariat-komisariat baik yang terhimpun dalam bentuk creative minority di bawah naungan cabang maupun secara langsung melalui pimpinan komisariat, itulah mengapa bidang-bidang yang berada di komisariat pun tidak jauh berbeda dengan yang ada di cabang, dan itu mengapa cabang hanya terdiri dari pimpinan dan sekretaris, sementara basis masa berada dibawah pimpinan komisariat. Sekutu strateagis IMM juga dapat dijangkau melalui PDM dengan bidang atau lembaga yang sesuai dengan isu strategis yang diadvokasi oleh IMM, terkahir, sekutu strategis ini bisa dihimpun melalui AMM. Sementara sekutu taktis IMM dapat dijangkau melalui gerakan mahasiswa, lembaga riset, dan LSM, mengingat IMM mampu bergerak di mahasiswa maupun instansi.

Keunggulan kedua IMM, yakni IMM memiliki pilihan isu strategis yang cukup luas, dalam arti tidak dibatasi oleh kelas tertentu. Misalnya seperti GMNI yang jelas basis kelasnya ialah petani, gerakan kiri yang cenderung ke kelas buruh. Disini IMM memiliki potensi besar dalam merebut isu yang selama ini didominasi advokasinya oleh gerakan kiri ataupun isu yang terkesan elit yang didominasi oleh LSM-LSM. Dengan begitu seharusnya IMM mampu mewarnai isu-isu di kalangan pergerakan mahasiswa.

 

Komponen basis masa dan isu strategis tersebut adalah modal bagi IMM dalam terselenggaranya advokasi makro[1]. Basis masa tidak merupakan sebuah entitas obyek yang ingin dipengaruhi semata, namun dapat menjadi sumber data, dana hingga instrumen, yang disesuaikan dengan isu strategis. Data yang diperoleh melalui bais masa inilah yang kemudian dilengkapi dengan metodologi (alat baca kader yang diperoleh dari perkaderan di komisariat selama tiga tahun) IMM melakukan analisis. Hasil dari analisis tersebut memunculkan dua produk yakni wacana dan aksi. Wacana terdiri dari diskusi dalam rangka penyebaran gagasan, melalui saluran komunitas (non akademis) maupun gerakan mahasiswa (akademis-kritis), dan yang kedua publikasi melalui saluran media alternatif, jurnal dan publikasi ilmiah. Sementara aksi terdiri dari advokasi kebijakan publik yakni melalui saluran lembaga strategis di Muhammadiyah (LHKP, Satgas AMM, dll), dan pengorganisiran masyarakat yakni melalui saluran creative minority di AR ataupun lembaga pemberdayaan di Muhammadiyah.

Kesimpulan

Sesuai dengan jenjang perkaderan, dasar-madya-paripurna dengan representasi DAD – DAM –DAP, beban ideologis dan kriteria kader seharusnya mengikuti jenjang tersebut. Jadi yang merupakan kader bukanlah mereka yang menduduki jabatan struktural di organisasi saja. Implikasi dari pengkategorian kader menurut jenjang kaderisasinya (bukan karir dalam internal organisasinya) salah satunya membuat pola kerja kader madya tidak sesempit dalam lingkup Pimpinan Cabang. Justru ketiga cetak kader ini akan mampu membuat peta gerakan IMM itu sendiri dengan lebih strategis dalam upaya menjalankan peran sosialnya. Untuk memudahkan pola strategis tersebut, kita bisa melihat konteks sosial hari ini di duduki oleh tiga aktor, yakni Pemerintahan (yang secara umum dipasok melalui partai politik) – Civil Society Organization (yang terdiri dari ormas, gersos,interest group) – dan Individu .

Di tarik ke konteks kader Madya, peran yang bisa dimainkan adalah CSO melalui simbol Ikatan di level cabang itu sendiri, Negara atau pemerintahan diperankan melalui kader-kader Madya yang tersebar dalam kaderisasi parpol (BM PAN misalnya), sementara Individu yang berperan sebagai kader umat bisa memasuki LSM-LSM, aktif di pusat studi, mendirikan wirausaha. Ketiganya akan bersama-sama dalam membangun misi idelogis Ikatan, dengan demikian relasi-relasi di Ikatan juga tidak melulu hanya diperjuangkan melalui simbolitas IMM secara organisatoris, di sisi lain, IMM mampu menjangkau lebih banyak lini kelas dalam aktivismenya.         

 
  
Refleksi

Bagi penulis, apapun dan bagaimanapun polanya, sebenarnya bukan hal paling penting selama atribut-atribut seperti Trilogi dan Visi Misi Ikatan masih terinternalisasi menjadi nilai dalam kepribadian kader, bukan hanya menjadi simbol semata. Karena ideologisasi yang meresap secara mendalam tersebutlah yang sebenarnya merupakan komponen penting dalam IMM. Ketika semua nilai tersebut mengalami kemacetan dalam transfernya, maka yang ada IMM menjadi tak ubahnya sebuah komunitas semata, tempat kumpul-kumpul kader sembari menjalankan agenda seremonial.

Inilah yang membedakan study club dan organisasi pergerakan, dalam hal ideologisasi, study club bisa mati ketika pendirinya mati karena tidak ada upaya transfer ideologi dalam keberlangsungannya, namun organisasi pergerakan tidak lantas mati meskipun pendirinya mati karena adanya transfer ideologi. Kurang lebih seperti itulah yang disampaikan IMMawan Rijal Ramdani dalam buku “Menatap Masa Depan IMM” yang diterbitkan oleh DPD IMM DIY dalam rangka jelang setengah abad IMM, 2012 lalu.

Untuk menakar seberapa berhasilnya transfer ideologi terebut tidaklah begitu sulit kiranya. Wujud dari kecintaan terhadap Ikatan dan melekatnya ideologi akan terefleksi pada seberapa kader menuntaskan beban ideologisnya, menebus dosa sosial (selain dosa individu) melalui level kepemimpinan di Ikatan maupun di luar organisasi. Itulah mengapa KADERISASI merupakan fase terpenting. Dan tidak adanya mimpi di benak para kader terkait gagasan membangun Ikatan kedepannya sebagai bentuk regenerasi merupakan salah satu indikasi bahwa transfer ideologi itu bermasalah! Tidak hanya mengalami regresivitas, namun kian lama Ikatan ini akan mati, dan hanya menjadi sebuah komunitas haha-hihi ketika kader-kadernya tidak mewarisi ideologi.Atau yang terburuk ialah internal IMM di wilayah Cabang (ataupun seterusnya) hanya menjadi lahan pertarungan gengsi ketimbang gagasan!


[1]Advokasi, berasal dari kata belanda ‘advocate’ bermakna pembelaan. Dalam pengistilahan Edi Suharto, advokasi makro bercirikan aktor aktivis dan yang dibela masyarakat kelas, berbeda dengan advokasi mikro yang aktornya adalah broker dan yang dibela individu.

0 komentar: