Mencari Pola Gerakan Kader Madya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Dewi Setiyaningsih
(Kabid Keilmuan PC IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta)
Pendahuluan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dalam anggaran dasarnya
menyatakan tujuan dari organisasi tersebut ialah adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam
rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Dalam hal ini, berati IMM memaknai
dirinya memiliki tugas mencetak individu kader sebagai upaya penebusan dosa
individu (mengusahakan terbentuknya
akademisi Islam yang berakhlak mulia), dan yang kedua IMM sebagai bentuk
yang memiliki peran sosial diantara masyarakat sebagai upaya menebus dosa
sosialnya (dalam rangka mencapai tujuan
Muhammadiyah). Dengan demikian, arah gerak Ikatan sebenarnya telah cukup
jelas jika menggunakan landasan konseptual tujuan tersebut, ditambah atribut
trilogi IMM yang dapat menjadi ukuran dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut.
Berangkat dari penafsiran atas tujuan IMM tersebut,
tulisan ini mencoba mencari pola gerakan IMM dengan mengadakan pengkategorian
tugas IMM dalam mencetak individu kader dan bentuk peran sosialnya. Di dalam
pengerjaan dua tugas tersebut, IMM sesungguhnya secara utuh memiliki basis ontologis, epistemologi, dan aksiologi
gerakan. Ontologis IMM berupa hakikat dari keberadaan IMM itu sendiri, yakni
sebagai khairu ummah. Epistemologi atau upaya untuk mngidentifikasi diri
kader-kader IMM tersebut khairu ummah atau bukan yakni melalui proses
kaderisasi yang berjenjang-jenjang. Aksiologinya atau nilai yang kemudian
hasilkan dari identifikasi tersebut berupa peran sosial IMM.
Yang perlu dirumuskan kemudian ialah bagaimana kader IMM
mencari pola gerakan yang dalam hal ini mencakup landasan, metodologi dan aksi.
Pola yang perlu dibangun tentu bukanlah IMM dalam kategori organisasi semata,
namun mengikuti layaknya pola kaderisasi dan kepemimpinan di dalam tubuh Ikatan
yang terbagi menjadi: kader Dasar, Madya dan Paripurna, sementara bentuk
kepeimpinannya dibagi menjadi level Pimpinan Komisariat, Cabang, Daerah dan
Pusat. Maka, yang akan ditawarkan dalam rumusan ini bukanlah sebuah arah gerak
yang terbatas pada lingkup Pimpinan Cabang (internal organisasi) namun lebih
berdasarkan bagaimana pola gerak kader Ikatan level madya, dengan begitu
tulisan ini sekaligus ingin meruntuhkan persepsi yang telah dibangun selama ini
mengenai kader Madya IMM seolah-olah hanyalah ia yang menduduki kepemimpinan di
level cabang datau DPD.
Mencetak
Individu Kader
Tugas mendasar IMM yang pertama, yakni mencetak individu
kader. Mengingat pentingnya kader sebagai pewaris perahu ideologis IMM, kader
ibaratkan pendaung-pendayung yang mengarahkan perahu ke tujuan tertentu. Tanpa
adanya pendayung yang paham menggunakan dayung serta tahu rute perjalanan,
cita-cita IMM pun mustahil terwujud dan Ikatan tersebut menjadi tak ubahnya
komunitas yang tak memiliki ruh ideologis, saat itulahkader-kader IMM hanya
menjadi buih yang tak terhingga.
Rumusan mengenai jenjang kaderisasi IMM yang terbagi ke
dalam level Dasar, Madya dan Paripurna setidaknya telah memudahkan kader-kader
dalam mengenali kapasitas dan takaran perjuangannya. Jika demikian, maka
alangkah pentingnya masa pencetakan kader dasar, karena seorang kader paripurna
yang ideal tidak akan terbentuk melainkan melalui kader dasar yang militan.
Untuk itu, perlu kiranya memberikan perhatian besar pada proses perkaderan di
level dasar yang dalam prakteknya akan diupayakan oleh pimpinan komisariat
dengan difasilitasi oleh pimpinan cabang. Pimpinan cabang memiliki
tanggungjawab dalam perumusan profil kader ikatan di tingkatan dasar.
Upaya yang bisa dilakukan oleh pimpinan cabang yakni
membagi jenjang kaderisasi dengan interval satu tahun, dimana tahun pertama
fokus perkaderan adalah ideologisasi, tahun kedua berupa pendalaman kapasitas
keilmuan dan tahun ketiga adalah mengasah kepribadian (personality) kader melalui peran kepemimpianannya sebagai pimpinan
komisariat.
Tahun pertama, kader diarahkan untuk tahap ideologisasi melalui
pintu gerbang perkaderan formal yakni DAD (Darul Arqam Dasar). Pengenalan dimulai
dari hal mendasar atribut-atribut Muhammadiyah hingga genealoginya dan ditarik
ke dalam konsepsi IMM melalui bacaan-bacaan yang bersifat pemikiran dan
ideologis (sesuai karakter Muhammadiyah).
Agar ideologisasi tersebut tidak bersifat doktriner, maka
di tahun kedua kader diarahkan untuk mendalami wacana-wacana keilmuan, dengan
tujuan agar kader mampu memahami gerakannya secara nalar bukan dogma, konsekuensinya
kader juga dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam tubuh gerakannya baik
Ikatan maupun persyarikatan (critical
thingking). Wacana keilmuan yang dimaksud tentu bukan saja yang bersifat
akademis, filsafat barat, sosiologi, ilmu hukum, ilmu sains dll, melainkan
khasanah ilmu pengetahuan secara umum, baik itu ilmu kontemporer dan tradisi.
Dengan demikian, kader tidak terjebak pada salah satukeyakinan ilmiah yang
disakralkan, misalnya sebagian kader mentah-mentah menerima pemikiran Islam
modern tanpa mau mengenal metode kalam tradisional (nalar arab) atau
sebaliknya, kader terpenjarakan pada keyakinan tradisional dan secara
mentah-mentah menolak nalar modern (yang bercirikan pemikiran Fazlur Rahman,
Hassan Hanafi, Arkoun, Omid Safi, Essack, dll).
Di tahun ketiga, kader mulai melatih kepribadiannya
melalui kepemimpinan di komisariat. Maka, secara ideal yang menjadi pimpinan
komisariat adalah kader tahun ke-tiga. Jikapun dalam realitanya komisariat
kekurangan kader dan terpaksa harus mengangkat kader tahun kedua sebagai
pimpinan, hal tersebut tidaklah bermasalah, karena pimpinan yang dimaksud
disini ialah kader inti (penggerak dan penggagas). Untuk lebih mudah
memetakannya, kader dalam komisariat dibedakan menjadi ring I (tahun ke-1)- ring II (tahun ke-2) – Ring III (tahun ke-3).Dengan
begitu, meskipun kader tahun kedua secara struktural organisasi menjabat di
pimpinan, namun secara substansial ia bukanlah ring pertama. Itulah mengapa
jabatan struktural di IMM pada level komisariat hanyalah peran semata demi
proses kaderisasi. Hal tersebut, untuk menghindari persoalan psikologis kader,
misalnya jika kader tahun kedua lebih unggul secara wacana dan pemikiran dari
kader tahun ketiga (yang menjalani proses pengasahan kepemimpinan), ia tidak
serta-merta dapat dijatuhkan secara psikologis kepemimpinannya. Ditahun inilah,
proses kaderisasi dasar berakhir.
Di tahun keempat, kader memasuki jenjang madya dengan
diawali kaderisasi formal berupa DAM (Darul Arqam Madya). Maka, materi-materi
di tingkat madya sesungguhnya lebih diarahkan pada wacana dan
persoalan-persoalan kontemporer yang sifatnya konkret. Karena kader level madya
telah melewati masa critical thingkingyang
tahap selanjutnya mewajibkan ia harus mengatasi persoalan umat secara konkret.
Kader Madya mengalami proses perkaderan dalam hal peran sosialnya di masyarakat
dalam lingkup yang lebih luas. Jika di level dasar ia hanya bergelut dengan
masalah kampus dan sekitarnya, di level madya kader diharapkan untuk bergelut
dengan ranah persoalan kota. Setelah satu tahun beradaptasi dengan persoalan
kota, ia diharapkan menjadi kader madya yang matang dan siap berdialektika
dengan persoalan daerah. Disinilah kader memasuki tahun kelima-nya, menerbitkan
karya, menjadi dosen, melanjutkan struktural ke DPD, membangun komunitas,
menjadi peneliti, dll, hingga akhirnya kader siap untuk menjadi kader
paripurna.
Dengan demikian, ukuran seorang kader bukanlah pada
karirnya di organisasi internal Ikatan, akan tetapi sesuai atau tidaknya
kapasitas dan kepribadian dirinya dengan profil kader ikatan yang ditujukkan
dengan kontribusinya ke masyarakat melalui berbagai saluran yang sesuai dengan
keahliannya. Setidak-tidaknya produk dari kaderisasi tersebut berupa cetak
kader umat, cetak kader bangsa dan cetak kader persyarikatan. Dimana pemaknaan
tiga cetak kader ini dimaknai sebagai pendiasporaan di akar rumput, di ranah
kebijakan publik, dan di dalam internal organisasi.
Pada level Madya, cetak kader umat dapat ditempuh melalui
karir akademik kader ataupun minat dan bakat kader, setak kader bangsa bisa ditempuh
melalui keikutsertaan dalam kaderisasi partai, dan kader persyarikatan dapat
ditempuh melalui kepemimpinan dalam internal organisasi. Yang perlu dicata
ialah, tidak ada pengistimewaan salah satu cetak kader, karena ukurannya
bukanlah cetak kader itu sendiri melainkan profil kader ikatana (dasar, madya
dan paripurna). Maka, pimpinan cabang sesungguhnya hanya menjadi salah satu
saluran saja bagi lahan kerja ideologis kader, lahan-lahan yang lain tersebar
di berbagai lini sosial, misalnya: kader umat dapat melakukan perannya menjadi
asisten dosen, menghimpun suatu komunitas, menjadi jurnalis, dll. Sementara
kader bangsa dapat pula menjalankan perannya sebagai kader di salah satu sayap
partai politik, dan belajar bagaimana mengupayakan masyarakat ideal melalui
pendekatan strategi (bukan budaya semisal kader umat). Dan kader persyarikatan
berperan sebagai penjaga “rumah” agar tetap bereproduksi dalam mencetak kader
maupun mengamankan peran sosialnya. Untuk itu tugas pimpinan cabang dalam
wilayah perkaderan yakni: Memfasilitasi dan bertanggungjawab terhadap proses
pencetakan kader dasar dengan membuat pola kaderisasi beserta kriteria profil
kader ikatan di tingkat komisariat (dasar).
Bentuk
Peran Sosial IMM
Kedua adalah tugas IMM di masyarakat atau peran
sosialnya. Bentuk peran sosial yang akan coba dirumuskan disini ialah IMM
secara organisatoris di level madya, harapannya agar memiliki arah yang jelas,
terprogam dan terstruktur agar dalam prjalanannya bisa menuai hasil yang
konkret sebagaimana materi-materi di jenjang perkaderan madya yang berupa
persoalan-persoalan konkret di masyarakat.
Jika hanya berpedoman pada IMM memiliki tanggungjawab
moral sebagai pembela kaum papa, beramal ma’ruf nahi munkar, tentu saja
masihlah bersifat abstrak dan umum. Maka, dalam melaksanakan peran sosial IMM
di masyarakat tentunya harus diobjektivikasikan dalam bentuk konkret. Dengan
begitu, menetukan jalan bergeraknya IMM pun akan mudah, analoginya apakah IMM
harus berbentuk seperti kapal hingga jalurnya harus diatas bahtera, ataukah
layaknya kendaraan beroda hingga harus melaju di jalan raya.
Melihat setting sosial hari ini, peran aktor berupa civil
society organization memiliki pengaruh yang berarti terhadap dampak kebijakan
publik. Selain bisa mempengaruhi secara strategis melalu advokasi kebijakan
publik, juga mampu berperan dalam proses pembentukan norma suatu setting sosial
masyarakat. Melihat potensi basis masa yang dimiliki IMM, bentuk gerakan sosial
lah yang dirasa paling cocok untuk dipakai dalam menjalankan aktivismenya.
Mengingat terlalu sempit IMM jika diartikan sebagai komunitas, terlalu riskan untuk
diperankan sebagai parpol, terlalu praktis jika IMM menjadi sebuah bentuk LSM
yang tergantung pada funding.
Keunggulan IMM sebagai gersos yang pertama yakni dalam
basis masa, dimana IMM memiliki sekutu strategis dan sekutu taktis yang lumayan
luas. Sekutu strategis sendiri, pimpinan level cabang memiliki
komisariat-komisariat baik yang terhimpun dalam bentuk creative minority di bawah naungan cabang maupun secara langsung
melalui pimpinan komisariat, itulah mengapa bidang-bidang yang berada di
komisariat pun tidak jauh berbeda dengan yang ada di cabang, dan itu mengapa
cabang hanya terdiri dari pimpinan dan sekretaris, sementara basis masa berada
dibawah pimpinan komisariat. Sekutu strateagis IMM juga dapat dijangkau melalui
PDM dengan bidang atau lembaga yang sesuai dengan isu strategis yang diadvokasi
oleh IMM, terkahir, sekutu strategis ini bisa dihimpun melalui AMM. Sementara
sekutu taktis IMM dapat dijangkau melalui gerakan mahasiswa, lembaga riset, dan
LSM, mengingat IMM mampu bergerak di mahasiswa maupun instansi.
Keunggulan kedua IMM, yakni IMM memiliki pilihan isu
strategis yang cukup luas, dalam arti tidak dibatasi oleh kelas tertentu.
Misalnya seperti GMNI yang jelas basis kelasnya ialah petani, gerakan kiri yang
cenderung ke kelas buruh. Disini IMM memiliki potensi besar dalam merebut isu
yang selama ini didominasi advokasinya oleh gerakan kiri ataupun isu yang
terkesan elit yang didominasi oleh LSM-LSM. Dengan begitu seharusnya IMM mampu
mewarnai isu-isu di kalangan pergerakan mahasiswa.
Komponen basis masa dan isu strategis tersebut adalah
modal bagi IMM dalam terselenggaranya advokasi makro[1].
Basis masa tidak merupakan sebuah entitas obyek yang ingin dipengaruhi semata,
namun dapat menjadi sumber data, dana hingga instrumen, yang disesuaikan dengan
isu strategis. Data yang diperoleh melalui bais masa inilah yang kemudian
dilengkapi dengan metodologi (alat baca kader yang diperoleh dari perkaderan di
komisariat selama tiga tahun) IMM melakukan analisis. Hasil dari analisis
tersebut memunculkan dua produk yakni wacana dan aksi. Wacana terdiri dari
diskusi dalam rangka penyebaran gagasan, melalui saluran komunitas (non
akademis) maupun gerakan mahasiswa (akademis-kritis), dan yang kedua publikasi
melalui saluran media alternatif, jurnal dan publikasi ilmiah. Sementara aksi
terdiri dari advokasi kebijakan publik yakni melalui saluran lembaga strategis
di Muhammadiyah (LHKP, Satgas AMM, dll), dan pengorganisiran masyarakat yakni
melalui saluran creative minority di AR
ataupun lembaga pemberdayaan di Muhammadiyah.
Kesimpulan
Sesuai
dengan jenjang perkaderan, dasar-madya-paripurna dengan representasi DAD – DAM
–DAP, beban ideologis dan kriteria kader seharusnya mengikuti jenjang tersebut.
Jadi yang merupakan kader bukanlah mereka yang menduduki jabatan struktural di
organisasi saja. Implikasi dari pengkategorian kader menurut jenjang
kaderisasinya (bukan karir dalam internal organisasinya) salah satunya membuat
pola kerja kader madya tidak sesempit dalam lingkup Pimpinan Cabang. Justru
ketiga cetak kader ini akan mampu membuat peta gerakan IMM itu sendiri dengan
lebih strategis dalam upaya menjalankan peran sosialnya. Untuk memudahkan pola
strategis tersebut, kita bisa melihat konteks sosial hari ini di duduki oleh tiga
aktor, yakni Pemerintahan (yang secara umum dipasok melalui partai politik) –
Civil Society Organization (yang terdiri dari ormas, gersos,interest group) –
dan Individu .
Di tarik ke
konteks kader Madya, peran yang bisa dimainkan adalah CSO melalui simbol Ikatan
di level cabang itu sendiri, Negara atau pemerintahan diperankan melalui
kader-kader Madya yang tersebar dalam kaderisasi parpol (BM PAN misalnya),
sementara Individu yang berperan sebagai kader umat bisa memasuki LSM-LSM,
aktif di pusat studi, mendirikan wirausaha. Ketiganya akan bersama-sama dalam
membangun misi idelogis Ikatan, dengan demikian relasi-relasi di Ikatan juga
tidak melulu hanya diperjuangkan melalui simbolitas IMM secara organisatoris,
di sisi lain, IMM mampu menjangkau lebih banyak lini kelas dalam aktivismenya.
Refleksi
Bagi
penulis, apapun dan bagaimanapun polanya, sebenarnya bukan hal paling penting
selama atribut-atribut seperti Trilogi dan Visi Misi Ikatan masih
terinternalisasi menjadi nilai dalam kepribadian kader, bukan hanya menjadi
simbol semata. Karena ideologisasi yang meresap secara mendalam tersebutlah
yang sebenarnya merupakan komponen penting dalam IMM. Ketika semua nilai
tersebut mengalami kemacetan dalam transfernya, maka yang ada IMM menjadi tak
ubahnya sebuah komunitas semata, tempat kumpul-kumpul kader sembari menjalankan
agenda seremonial.
Inilah yang
membedakan study club dan organisasi
pergerakan, dalam hal ideologisasi, study
club bisa mati ketika pendirinya mati karena tidak ada upaya transfer
ideologi dalam keberlangsungannya, namun organisasi pergerakan tidak lantas
mati meskipun pendirinya mati karena adanya transfer ideologi. Kurang lebih
seperti itulah yang disampaikan IMMawan Rijal Ramdani dalam buku “Menatap Masa
Depan IMM” yang diterbitkan oleh DPD IMM DIY dalam rangka jelang setengah abad
IMM, 2012 lalu.
Untuk
menakar seberapa berhasilnya transfer ideologi terebut tidaklah begitu sulit
kiranya. Wujud dari kecintaan terhadap Ikatan dan melekatnya ideologi akan
terefleksi pada seberapa kader menuntaskan beban ideologisnya, menebus dosa
sosial (selain dosa individu) melalui level kepemimpinan di Ikatan maupun di
luar organisasi. Itulah mengapa KADERISASI merupakan fase terpenting.
Dan tidak adanya mimpi di benak para kader terkait gagasan membangun Ikatan
kedepannya sebagai bentuk regenerasi merupakan salah satu indikasi bahwa
transfer ideologi itu bermasalah! Tidak hanya mengalami regresivitas, namun
kian lama Ikatan ini akan mati, dan hanya menjadi sebuah komunitas haha-hihi ketika kader-kadernya tidak
mewarisi ideologi.Atau yang terburuk
ialah internal IMM di wilayah Cabang (ataupun seterusnya) hanya menjadi lahan
pertarungan gengsi ketimbang gagasan!
[1]Advokasi, berasal dari kata belanda ‘advocate’ bermakna pembelaan. Dalam pengistilahan Edi Suharto, advokasi makro bercirikan
aktor aktivis dan yang dibela masyarakat kelas, berbeda dengan advokasi mikro
yang aktornya adalah broker dan yang dibela individu.
0 komentar: