Islam dan Terorisme
Makhrus Ahmadi
(Pegiat MIM Indigenous School, Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Artikel dimuat di SatelitPost)
TIAP tanggal 11
September, selalu diperingati tragedi runtuhnya gedung pencakar langit World Trade Centre (WTC)
di AS akibat ditabrakkannya dua pesawat jet
penumpang yang dibajak kelompok militan pada gedung tersebut pada tanggal 11
September 2001. Secara gamblang Presiden AS George W Bush waktu itu menyebut Al Qaedah sebagai
dalang dari peristiwa menakutkan di negeri Paman Sam tersebut. Hingga
menyebabkan dunia menjadi 2 kutub. Kutub dunia tersebut terjatuh pada negara
atau mereka yang mendukung teroris: Osama Bin Laden juga Al
Qaedah. Dan negara atau mereka yang tidak mendukung teroris adalah mereka yang dibacking AS dan para sekutunya.
Dengan dalil
propaganda untuk melawan terorisme. AS pada tahun 2001 menginvasi Afganistan
yang saat itu dipimpin Taliban karena dengan sengaja melindungi keberadaan
Osama Bin Laden; buronan yang selama ini dicarinya. Tahun 2003 atas dasar
adanya senjata pemusnah massal AS kembali menyerbu Iraq. Meski hasilnya nihil
total dan hanya menumbangkan Saddam Husain. Rejim yang telah berkuasa beberapa
tahun di Iraq. Kecaman dari berbagai belahan dunia atas kedua perang itu pun
tidak diindahkan AS dan sekutunya.
Kecurigaan
beberapa pihak atas invasi AS ke Afganistan dan Iraq bukan secara serta merta
persoalan terorisme dan senjata pemusnah massal. Melainkan juga persoalan
minyak. Terlebih, Saddam Husain tahun 2000 meminta kepada PBB agar minyak Iraq
di beli dengan mata uang Euro bukan dengan Dolar yang selama ini digunakan
dalam transaksi perjualan minyaknya. Hal tersebut juga diamini oleh Alan
Greenspan mantan Gubernur Bank Central AS (The Fed) tahun 1988-2007
lewat buku yang ditulisnya The Age of Turbulence Adventures in New a World
(2007) bahwa perang di Iraq sebagian merupakan persoalan minyak. Bahkan, Alan
Sabrosky mantan marinir AS dengan sangat tegas menyatakan aktor intelektual
pengeboman WTC 11 September 2001 adalah Mossad agen intelejen Israel. Meski
akhirnya Presiden Bush mengakui kekeliruannya terhadap perang tersebut walaupun
sudah terlambat sebab korban perang sudah banyak berjatuhan dari kedua belah
pihak. Dan persepsi proganda islam saling bertalian terorisme semakin menjadi
bola liar.
Efek domino
melawan terorisme yang dilakukan AS ini tidak hanya melanda kaum muslim di
negeri muslim. Melainkan juga melanda warga AS yang beragama islam. Salah
satunya Kapten James Yee. Dalam buku For God And Country (2005) yang
tulisnya dia menceritakan diskriminasi yang dialaminya pasca tragedi WTC 11
September 2001. Ragam tuduhan menyambar padanya mulai dari karena dia sebagai
seorang muslim: pemeluk agama yang dianggap mengajarkan
kekerasan (terorisme), spionase, kesalahan menangani dokumen rahasia, melakukan
perzinahan yang merupakan perbuatan kriminal dalam dunia meliter, mengakses
film porno dan membuat pernyataan salah dalam melakukan dinas kemeliteran.
Diskriminasi terhadap Kapten Yee yang lulusan West Point (sebuah akademi
militer elit di AS) ini kian berlanjut yang kemudian mengantarkannya ke penjara
Guantanamo (penjara khusus teroris).
Ditengah situasi
global, tidak pelak Indonesia bisa menghindarkan diri dari posisi terorisme
ini. Tragedi double bom Bali, Bom kedutaan Australia, Double Bom
Hatel JW Marriot, Bom masjid Banten, Bom buku dan semua kejadian aksi teror
lainnya semakin memposisikan Islam dalam posisi yang
sulit. Islam kemudian dipandang sebagai agama yang mengajarkan tentang
kekerasan. Pencetak kaum radikal yang menebar teror. Bahkan pengebiran terhadap
terminologi jihad kemudian dianggap sebagai biang keladi atas rentetan aksi
terorisme.
Jebakan Terorisme
Benarkah Islam mengajarkan tentang aksi terorisme?. Pertanyaan tersebut
akan menjadi pertanyaan jebakan untuk membangun propaganda dalam bawah sadar
setiap orang bahwa Islam mengajarkan aksi
terorisme atau radikalisme. Pertanyaan ini akan menjadi sangat liar apabila
diiringi dengan aksi nyata teror yang kemudian oleh sebagian kalangan yang
dianggap terorisme. Dan akhirnya, apabila terjadi rentetan teror pasti dengan
sangat refleks alam bawah sadar terkoneksi sang pelaku merupakan “orang Islam”. Meski setelah dibuktikan bukan dari orang Islam seperti yang terjadi pada aksi teror saat peluncuran film Bat
Man di AS beberap waktu lalu. Koneksivitas alam
bawah sadar tersebut barangkali kita lihat dalam film India My Name Is Khan
dan New York. Bagaimana seorang muslim mendapat stigma curiga teroris
atas keberagamaannya. Jika My Name Is Khan menceritakan perjuangan
seorang muslim memperjuangkan identitas diri dan agamanya dengan jalan
membangunkan kesadaran kemanusiaan— universalitas ajaran
agama. Film New York merupakan kisah seseorang yang terlanjur mendapat
lebel teroris atas sebuah ketidaksengajaannya. Setidaknya, kedua film ini dapat
menggambarkan bagaimana pola doktrin halus terorisme itu dibentuk lewat opini
dan propaganda—tentuya, islam yang tersudut.
Michael Kinsley
seorang kolumnis Washington Pos (5/10/2001) mengatakan bahwa upaya untuk
mendefinisikan terorisme menjadi sesuatu yang cukup mustahil. Hal ini terjadi
karenakan definisi terorisme masih menjadi termenologi yang kabur. Definisi
terorisme lebih dominan dipaksakan oleh penguasa dengan kekuatan meliter,
politik, ekonomi teknologi dan kekuatan budayanya. Maka tindakan perintah AS
pasca tragedi WTC terhadap Islam barangkali mewakili
terminologi terorisme yang kabur tersebut, yang kemudian menggiring
persepsi alam bawah sadar sebagian orang bahwa Islam agama mengajarkan
terorisme. Hal tersebut didasari pada terjadinya aksi terorisme dan motif
agama—jihad.
Bentuk aksi
terorisme yang dilakukan selama ini setidaknya mengacu pada 3 hal. Pertama,
ketidakadilan global terhadap Islam. Diskriminasi
terhadap umat Islam dibelahan dunia terutama yang dilakukan
oleh negara-negara barat jelas menimbulkan ketidaksabaran dalam memberikan
respon kepedulian atas nama sesama satu agama; termasuk dengan jalan kekerasan.
Kedua, fanatisme dan pandangan terhadap agama yang sempit. Aktor aksi
teror belakangan ini lebih memiliki pola yang beragam terutama dalam perekrutan
pengantin—pelaku teror. Mereka biasanya sekelompok orang
yang hanya dimengenal dan mendalami ajaran agama dalam hitungan waktu yang
tidak lama hingga menyebarkan ajaran agama dapat dilakukan dengan jalan
kekerasan. Ketiga, penciptaan lebel. Upaya ini tidak lain merupakan
pembentukan issue maupun opini dalam berbagai media yang kemudian melebelkan
stigma teroris pada agama, ormas dan kelompok tertentu.
Dari segi
penanganan aksi terorisme semantara ini masih berbentuk eksekusi bukan dengan
pola pencegahan. Karenanya, solusi yang ditawarkan pada saat pencegahan malah
menimbulkan keresahan. Misalnya, timbul
wacana perombakan
kurikulum pesantren yang dianggap radikal atau bahkan rencana akan mengadakan
sertifikasi terhadap ulama—yang terkesan akan mempertajam arus
pertentangan Islam dan negara. Ketegangan ini
akan semakin mengungat bagi mereka (ulama) yang selama ini dipandang sebagai
kaum radikal. Terlebih selama ini kejadian terorisme atau radikalisme dipandang
sebagai bentuk pengalihan isu. Tidaklah salah kita menaruh tanya atas
propaganda terorisme global yang berbalut lokal. Terlebih di negeri yang suka
gagap dengan propaganda lewat permainan isu memang sangat rentan dimainkan, apalagi tidak untuk kelanggengan kekuasaan. (*)
0 komentar: