Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Islam dan Terorisme

Makhrus Ahmadi
(Pegiat MIM Indigenous School, Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Artikel dimuat di SatelitPost)

TIAP tanggal 11 September, selalu diperingati tragedi runtuhnya gedung pencakar langit World Trade Centre (WTC) di AS akibat ditabrakkannya dua pesawat jet penumpang yang dibajak kelompok militan pada gedung tersebut pada tanggal 11 September 2001. Secara gamblang Presiden AS George W Bush waktu itu menyebut Al Qaedah sebagai dalang dari peristiwa menakutkan di negeri Paman Sam tersebut. Hingga menyebabkan dunia menjadi 2 kutub. Kutub dunia tersebut terjatuh pada negara atau mereka yang mendukung teroris: Osama Bin Laden juga Al Qaedah. Dan negara atau mereka yang tidak mendukung teroris adalah mereka yang dibacking AS dan para sekutunya.
 
Dengan dalil propaganda untuk melawan terorisme. AS pada tahun 2001 menginvasi Afganistan yang saat itu dipimpin Taliban karena dengan sengaja melindungi keberadaan Osama Bin Laden; buronan yang selama ini dicarinya. Tahun 2003 atas dasar adanya senjata pemusnah massal AS kembali menyerbu Iraq. Meski hasilnya nihil total dan hanya menumbangkan Saddam Husain. Rejim yang telah berkuasa beberapa tahun di Iraq. Kecaman dari berbagai belahan dunia atas kedua perang itu pun tidak diindahkan AS dan sekutunya. 
 
Kecurigaan beberapa pihak atas invasi AS ke Afganistan dan Iraq bukan secara serta merta persoalan terorisme dan senjata pemusnah massal. Melainkan juga persoalan minyak. Terlebih, Saddam Husain tahun 2000 meminta kepada PBB agar minyak Iraq di beli dengan mata uang Euro bukan dengan Dolar yang selama ini digunakan dalam transaksi perjualan minyaknya. Hal tersebut juga diamini oleh Alan Greenspan mantan Gubernur Bank Central AS (The Fed) tahun 1988-2007 lewat buku yang ditulisnya The Age of Turbulence Adventures in New a World (2007) bahwa perang di Iraq sebagian merupakan persoalan minyak. Bahkan, Alan Sabrosky mantan marinir AS dengan sangat tegas menyatakan aktor intelektual pengeboman WTC 11 September 2001 adalah Mossad agen intelejen Israel. Meski akhirnya Presiden Bush mengakui kekeliruannya terhadap perang tersebut walaupun sudah terlambat sebab korban perang sudah banyak berjatuhan dari kedua belah pihak. Dan persepsi proganda islam saling bertalian terorisme semakin menjadi bola liar.
 
Efek domino melawan terorisme yang dilakukan AS ini tidak hanya melanda kaum muslim di negeri muslim. Melainkan juga melanda warga AS yang beragama islam. Salah satunya Kapten James Yee. Dalam buku For God And Country (2005) yang tulisnya dia menceritakan diskriminasi yang dialaminya pasca tragedi WTC 11 September 2001. Ragam tuduhan menyambar padanya mulai dari karena dia sebagai seorang muslim: pemeluk agama yang dianggap mengajarkan kekerasan (terorisme), spionase, kesalahan menangani dokumen rahasia, melakukan perzinahan yang merupakan perbuatan kriminal dalam dunia meliter, mengakses film porno dan membuat pernyataan salah dalam melakukan dinas kemeliteran. Diskriminasi terhadap Kapten Yee yang lulusan West Point (sebuah akademi militer elit di AS) ini kian berlanjut yang kemudian mengantarkannya ke penjara Guantanamo (penjara khusus teroris). 
 
Ditengah situasi global, tidak pelak Indonesia bisa menghindarkan diri dari posisi terorisme ini. Tragedi double bom Bali, Bom kedutaan Australia, Double Bom Hatel JW Marriot, Bom masjid Banten, Bom buku dan semua kejadian aksi teror lainnya semakin memposisikan Islam dalam posisi yang sulit. Islam kemudian dipandang sebagai agama yang mengajarkan tentang kekerasan. Pencetak kaum radikal yang menebar teror. Bahkan pengebiran terhadap terminologi jihad kemudian dianggap sebagai biang keladi atas rentetan aksi terorisme.
 
Jebakan Terorisme
Benarkah Islam mengajarkan tentang aksi terorisme?. Pertanyaan tersebut akan menjadi pertanyaan jebakan untuk membangun propaganda dalam bawah sadar setiap orang bahwa Islam mengajarkan aksi terorisme atau radikalisme. Pertanyaan ini akan menjadi sangat liar apabila diiringi dengan aksi nyata teror yang kemudian oleh sebagian kalangan yang dianggap terorisme. Dan akhirnya, apabila terjadi rentetan teror pasti dengan sangat refleks alam bawah sadar terkoneksi sang pelaku merupakan “orang Islam”. Meski setelah dibuktikan bukan dari orang Islam seperti yang terjadi pada aksi teror saat peluncuran film Bat Man di AS beberap waktu lalu. Koneksivitas alam bawah sadar tersebut barangkali kita lihat dalam film India My Name Is Khan dan New York. Bagaimana seorang muslim mendapat stigma curiga teroris atas keberagamaannya. Jika My Name Is Khan menceritakan perjuangan seorang muslim memperjuangkan identitas diri dan agamanya dengan jalan membangunkan kesadaran kemanusiaan— universalitas ajaran agama. Film New York merupakan kisah seseorang yang terlanjur mendapat lebel teroris atas sebuah ketidaksengajaannya. Setidaknya, kedua film ini dapat menggambarkan bagaimana pola doktrin halus terorisme itu dibentuk lewat opini dan propaganda—tentuya, islam yang tersudut.

Michael Kinsley seorang kolumnis Washington Pos (5/10/2001) mengatakan bahwa upaya untuk mendefinisikan terorisme menjadi sesuatu yang cukup mustahil. Hal ini terjadi karenakan definisi terorisme masih menjadi termenologi yang kabur. Definisi terorisme lebih dominan dipaksakan oleh penguasa dengan kekuatan meliter, politik, ekonomi teknologi dan kekuatan budayanya. Maka tindakan perintah AS pasca tragedi WTC terhadap Islam barangkali mewakili terminologi terorisme yang kabur tersebut, yang kemudian menggiring persepsi alam bawah sadar sebagian orang bahwa Islam agama mengajarkan terorisme. Hal tersebut didasari pada terjadinya aksi terorisme dan motif agama—jihad. 
 
Bentuk aksi terorisme yang dilakukan selama ini setidaknya mengacu pada 3 hal. Pertama, ketidakadilan global terhadap Islam. Diskriminasi terhadap umat Islam dibelahan dunia terutama yang dilakukan oleh negara-negara barat jelas menimbulkan ketidaksabaran dalam memberikan respon kepedulian atas nama sesama satu agama; termasuk dengan jalan kekerasan. Kedua, fanatisme dan pandangan terhadap agama yang sempit. Aktor aksi teror belakangan ini lebih memiliki pola yang beragam terutama dalam perekrutan pengantin—pelaku teror. Mereka biasanya sekelompok orang yang hanya dimengenal dan mendalami ajaran agama dalam hitungan waktu yang tidak lama hingga menyebarkan ajaran agama dapat dilakukan dengan jalan kekerasan. Ketiga, penciptaan lebel. Upaya ini tidak lain merupakan pembentukan issue maupun opini dalam berbagai media yang kemudian melebelkan stigma teroris pada agama, ormas dan kelompok tertentu.
 
Dari segi penanganan aksi terorisme semantara ini masih berbentuk eksekusi bukan dengan pola pencegahan. Karenanya, solusi yang ditawarkan pada saat pencegahan malah menimbulkan keresahan. Misalnya, timbul wacana perombakan kurikulum pesantren yang dianggap radikal atau bahkan rencana akan mengadakan sertifikasi terhadap ulama—yang terkesan akan mempertajam arus pertentangan Islam dan negara. Ketegangan ini akan semakin mengungat bagi mereka (ulama) yang selama ini dipandang sebagai kaum radikal. Terlebih selama ini kejadian terorisme atau radikalisme dipandang sebagai bentuk pengalihan isu. Tidaklah salah kita menaruh tanya atas propaganda terorisme global yang berbalut lokal. Terlebih di negeri yang suka gagap dengan propaganda lewat permainan isu memang sangat rentan dimainkan, apalagi tidak untuk kelanggengan kekuasaan. (*)


0 komentar: