Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Membuka Kunci Hermeneutika Baru


Oleh Rijal Ramdani
Sebagai bentuk persembahan terhadap Ikatan yang menginjakan usia 51 tahun, perlu rasanya saya berpikir untuk memberikan sumbangan ide-gagasan dan juga saran terhadap perkembangan nalar intelektual kader Ikatan. Miminjam istilah yang selalu disampaikan oleh Presedium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), mas Pradano Boy ZTP, saya ingin memberikan ringkasan terhadap tugas utama kader Ikatan untuk terus berusaha menemukan kunci-kunci hermeneutika baru sebagai turunan dari kunci hermeneutika utama yang telah ditemukan oleh Kyai Dahlan di dalam memahami masyarakat. Sehingga tidak henti-hentinya mas Boy selalu mengatakan bahwa Kyai Dahlan adalah manusia yang telah melampaui zamannya. Istilah kunci Hermeneutika; jauh berbeda dengan makna hermeneutika yang bisa kita telaah dari filsup semisal Friedrich Schleiermacher (1768-1834), Jean-François Lyotard (1924-1998) atau Paul Ricoeur (1913-2005). Dimana hermeneutika yang dimaksud hanyalah pisau analisis untuk membedah makna di balik teks. Teks-teks terikat oleh ruang sejarah; teks tidak lahir dari ruang yang kosong, begitupun manusia yang melahirkan teks sangat terpengaruh oleh latar belakang sejarahnya. Pembaca dengan teks berjarak dan apalagi dengan penulisnya. Itulah jarak epistemology.
Maka tugas pembaca adalah mencari tahu konteks dari teks itu supaya mampu memahami makna di baliknya sesuai dengan kehendak sang penulis. Konteks bisa apapun; kondisi sosiologis; kebudayaan dan sejarah. Pada akhirnya kebenaran itu menjadi sangat relative, karena teks akan melahirkan makna yang beragam sebanyak jumlah pembaca yang menafsirkannya. Kebenaran menjadi tidak tunggal; kebenaran sangat berpareative tidak bisa satu penafsir mengclaim sebagai hasil tafsiran yang paling sesuai dengan kehendak sang penulis. Bahkan saat teks dibaca; pada hakikatnya penulis sudah mati; itulah yang disebut dengan the dead of aouther. Pembaca tidak bisa mengkonfirmasi tafsirannya terhadap penulis; penulis pun harus menjaga jarak dengan pembaca. Itulah yang menyebabkan teks selalu hidup; dan teks akan terus semakin hidup. Apabila penulis ikut terlibat mengkonfirmasi teks maka pintu-pintu kebenaran akan tertutup; padahal belum tentulah penjelasan konfirmative yang dijelaskan penulis merupakan makna tunggal dari teks itu.
Dan itulah makna hermeneutika yang sangat sempit, rancu yang sering dikonfrontasikan dengan Nalar Arab masa lalu; Ia seolah berhadapan dengan Ushul Fiqih, Mustolahul Hadits, Tafsir bil Ma’sur, Tahlili, Ijmali, Bayani dan Burhani. Marilah kita buka maknanya ke wilayah epistemology yang lebih luas; sehingga hermeneutika bisa dipahami sebagai apapun alat yang bisa digunakan untuk mencari kebenaran. Teks bukanlah hanya apa-apa yang tertulis, melainkan teks adalah keseluruhan dari basis ontologis. Kunci Hermeneutika merupakan inti dari proses berepistemology yang akan menghasilkan turunan-turunan kunci-kunci hermeneutika lainnya. Untuk menyederhanakan istilah kunci hermeneutika ini; marilah kita belajar kepada ulama-ulama masa lalu kita yang telah menemukannya. Mari kita bandingkan temuan Kyai A. Dahlan pendiri persyarikatan kita ini dengan Hasan Bandung intelektual Persatuan Islam.
Di zaman keduanya hidup, Jawa terjajah, kemiskinan sudah sampai pada titik nadir, akibat tindakan semena-mena Pemerintahan Kolonial yang memaksa kaum pribumi untuk beralih tanam dari tanaman pangan ke Tebu. Tanah dirampas dan pajak begitu memberatkan. Kemiskinan dan kebodohan menjadi satu; kelaparan di mana-mana; migrasi begitu massif dari Desa ke kota. Kota penuh dengan gepeng dan glandangan. Di sisi lain tanah jawa pun kehilangan banyak Ulama akibat dari pembantaian yang dilakukan Amangkurat dan diperparah dengan pecahnya perang Diponegoro yang juga banyak menewaskan kaum santri dan Ulama. Atas keadaan itulah; masyarakat yang miskin menjadi kehilangan pegangan; mereka lapar; mereka berpenyakit; dan mereka pun tak memiliki tempat untuk bertanya dan peneduh; yaitu para Ulama. Akibatnya praktek-praktek kemusyrikan di mana-mana; tak sedikit yang kembali ke tradisi nenek-moyangnya; rasionalitas hilang; mitos menjalar; bahkan institusi agama diperjualkan oleh Ulama-Ulama gadungan yang mencari penghidupan darinya. Institusi agama sangat menindas; ritual-ritual baru diciptakan demi dan untuk melanggengkan hegemoni keagamannya. Diperparah dengan pembelajaran Agama yang sangat kolot berhadapan dengan pendidikan modern yang sangat sekuler.
Atas kondisi itulah A. Dahlan meresponnya melalui gerakan pendidikan Islam yang mencoba menggabungkan ilmu-ilmu Agama dengan Ilmu-Ilmu Moderen, Dahlan pun membangun Rumah Sakit dengan dbantu Budi Utomo dan Dokter-Dokter Belanda, dan Dahlan pun menyebarkan kasih melalui gerakan Welas Asih untuk memelihara anak-anak yatim dan para Jompo. Semua gerakan itu diwadahi di dalam satu persyarikatan yang bernama Muhammadiyah. A.Dahlan telah menemukan Kunci hermeneutika yang utama atas pembacaannya terhadap kondisi sosio-cultural masyarakat; yang diikat oleh tiga kata kunci; Takhayul, Bida’ah dan Khurafat, kemudian A. Dahlan meresponnya melalui seperangkat kunci-kunci hermeneutika turunannya; gerakan Pendidikan, Kesehatan dan Welas Asih. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Hasan Bandung, sekalipun Kunci Utama Hermeneutika yang ditemukan sama, tetapi kunci-kunci hermeneutika turunannya berbeda; dimana Hasan Bandung lebih memlih jalur debat dan penerbitan sebagai bentuk responnya. Sehingga kalakteristiknya berbeda; bila A. Dahlan meningglkan institusi amal Shaleh yang begitu besar sementara Hasan Bandung meninggalkan karya dan murid-murid yang mahir berdebat. Dan itu tidak ditinggalkan oleh A.Dahlan; sebaliknya Hasan Bandung pun tak memiliki peninggalan seperti yang ditinggalkan A. Dahlan.
Masyarakat terus mengalami perubahan; dari agraris ke industry-mesin, dari industry ke konsumsi tinggi, ke modern dan paska modern. Munculah manusia-manusia yang teralienasi baik secara ekonomi maupun yang terserabut dari akar kebudayaannya. Pembacaan terhadap kondisi masyarakat harus terus dilakukan; direproduksi dengan tanpa henti; tanpa mampu membaca arus perubahan yang cepat; maka sulitlah untuk menemukan Kunci-Kunci Hermeneutika yang baru; melanjutkan turunan yang telah diletakkan oleh A. Dahlan dan Hasan Bandung. Instutusi Muhammadiyah sudahlah tidak memiliki kebaruan apa-apa; apa yang dilakukan Muhammadiyah saat ini sama dan telah dilakukan oleh A. Dahlan Satu Abad lalu. Sehingga patut dipertanyakan untuk dikatakan sebagai organisasi Islam pembaharu; apalah yang saat ini baru dari Muhammadiyah? Yang berbeda dari apa yang telah dilakukan A.Dahlan? Apalagi bila melihat Persatuan Islam-nya Hasan Bandung; sudah jauh ketinggalan jaman, sangat ortodoks; terjebak pada romantisme dan taklid buta terhadap tokoh-tokoh yang dikeramatkan. Padahal taqlid itulah yang menjadi fokus utama kritik Hasan Bandung di masa lalu. Persis hari ini tidak mampu membaca arus zaman yang telah berubah. Apalagi zaman yang akan datang. Bagamana mungkin institusi lama bisa hidup di tengah masyarakat yang baru dan terus baru?
Oleh karenanya perlulah generai-generasi muda seperti kita-kita ini untuk menemukan turunan Kunci-Kunci hermeneutika yang barunya. Itulah tugas kita yan utama. Itulah perjuangan kita sebagai Intelektual Muslim. Namun hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah; dulu A.Dahlan sampai belajar berlama-lama di Mekkah untuk menemukannya, Hasan Bandung membaca dan menelaah begitu tekunnya; Muhammad pun mencontohkan untuk menemukan kunci hermeneutika di zamannya dengan bertahanus di Goa Hira. Bagi kita hari ini; untuk menemukan kunci hermeneutika itu haruslah jua melakukan ritual seperti itu; hilang sejenak bertahanus; tak diketahui hiruk pikuk manusia; tapi bukan di Goa melainkan di kampus-kampus bergengsi; Eropa, Australia atau Amerika; untuk kemudian datang dengan membawa turunan-turunan kunci hermeneutika baru seperti Muhammad, A. Dahlan dan Hasan Bandung yang telah menemukan kunci-kunci hermeneutika yang utama.
Tak banyaklah kaum Muda yang mau melakukan pekerjaan itu; harus hilang dan tak diakui keberadaannya; harus hidup apa adanya. Tapi percayalah Tuhan maha menjamin bagi hambanya yang bercita-cita untuk melanjutkan risalah kenabian. Buya A. Syafii Maarif selalu menasehati bahwa kerja intelektual itu adalah kerja seuumur hidup. Begitupun Ust. A Zakaria, tak henti selalu berpesan, generasi kita harus jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi mereka. Muhammadiyah mungkin tidaklah terlalu ketinggalan, paska munculnya Amien Rais, Syafii Maarif dan Din Syamsudin; ketiga tokoh intelektual itu mampu membaca arus zaman; dengan latar belakang basis hermeneutis yang dimilikinya, tapi Persis sudah jauh ketinggalan; Persis perlu untuk ditolong dan diselamatkan untuk tidak habis dimakan arus zaman. Tak adalah muncul tokoh-tokoh Persis yang berlatar belakang Timur dan Barat dalam satu sosok. Bisa B. Arab dan B.Inggris; mengerti Qur’an-Hadis tapi juga mengikuti perkembangan Jurnal Ilmiah Internasional. Yang sekarang ada hanyalah Timur saja atau Barat saja. Dan yang berlatar Barat pun di Persis tak terpakai akibat penyakit kolotnya.
Sementara NU yang selalu dijelek-jelekkan saat ini sudah berkembang begitu pesat. NU sudah melampau zamannya; seperti A.Dahlan yang dulu melampaui zamannya. Paska Gus Dur NU seolah hidup kembali. Bahkan masa depan Indonesia bisa dipastikan ke depan adalah milik kader-kader Nahdatul Ulama. 
Sumber : direpost dari website penulis (klik)  


0 komentar: