Menunggu Jawaban JIMM: Menyemai Gagasan Internasionalisasi Muhammadiyah
Oleh : Muhammad Hasan Syamsuddin*)
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan
yang besar di Indonesia saat ini telah melampaui masa kemapanannya. Ratusan
bahkan hingga ribuan amal usaha Muhammadiyah tersebar di berbagai penjuru
nusantara. Diawali dengan ide purifikasi-pemurnian ajaran agama islam akibat
beban kultural yang melekat pada masa-masa kolonial membuat Muhammadiyah tampil
sebagai salah satu organisasi keagamaan yang cukup berpengaruh. Konsep
dakwah yang tak hanya berkutat pada ide-ide purifikasi, namun juga ide-ide
pemberdayaan sosial-kemasyarakatan sesuai dengan teologi dakwah Muhammadiyah
yang populer dikenal dengan teologi Al Ma’un menjadi rel dakwah
Muhammadiyah dalam mengembangkan sayapnya. Tahun demi tahun sayap dakwah
Muhammadiyah terus meluas, semula keanggotaan Muhammadiyah banyak di dominasi
oleh pedagang muslim lokal perlahan Muhammadiyah mengalami heterogenisasi.
Ide dasar muhammadiyah dalam membersihkan
beban-beban kebudayaan warisan hindu-budha pada dasarnya merupakan bagian dari
gerakan pembaharuan pemikiran islam pada masa-masa itu. Hal tersebut terjadi
khususnya di timur tengah, lahirnya tokoh reformis islam seperti Muhammad Abduh
dan Jamalludin Al-Afghani dengan ide Pan islamismenya adalah bukti nyata
gerakan pembaharuan pemikiran islam sedang berkembang pesat. Menurut sejarawan
Kuntowijoyo, Muhammadiyah di awal periodenya sangat kualitatif dalam
menyebarkan ide-ide dakwahnya, sementara semakin lama gerak dakwah Muhammadiyah
semakin kuantitatif, hal tersebut dibuktikan dengan tersebarnya amal usaha
Muhammadiyah di pelosok-pelosok desa, disaat itulah Muhammadiyah masuk dalam
fase kemapanan. Memang sudah saatnya fase kemapanan ini diraih oleh
Muhammadiyah setelah se-abad berdiri untuk berdakwah.
Corak Muhammadiyah secara organisatoris tentu
berbeda dengan organisasi pada jamannya. Serikat Dagang Islam misalnya yang
merupakan organisasi politik perjuangan kelas kala itu, sementara Muhammadiyah
bukanlah organisasi politik walaupun dalam proses perjalanannya Muhammadiyah
harus bersentuhan dengan realitas politik di masa-masa Demokrasi Terpimpin.
Dalam menjalani fase kemapanan ini Muhammadiyah dihadirkan dengan
tantangan-tantangan baru. Beberapa kalangan muda Muhammadiyah menganggap
kebutuhan untuk menglobalkan Muhammadiyah atau Internasionalisasi Muhammadiyah
sebagai sebuah tantangan baru. Hal demikian tentu menjadi wacana segar terlebih
memang diaspora kader Muhammadiyah untuk go internasional tidak terlalu
mendapat tanggapan yang serius secara organisatoris, hal ini dapat dibuktikan
dengan hanya didirikannya Cabang Muhammadiyah yang akrab dikenal sebagai PCIM.
Ide segar ini, telisik demi telisik sedikit mengadopsi mode organisasi gerakan
dakwah asal Turki yang sedang populer yang dinamakan Gulen-Turkish.
Mengenai Gulen, dalam realitanya Gulen memang
berhasil melakukan diaspora kadernya di berbagai negara, setidaknya menurut
referensi di dua puluh negara dengan ribuan aset berbentuk pelayanan sosial-hizmet.
Asal muasal lahirnya Gulen sendiri didasari atas adanya fenomena gerakan
ekstrimisme yang identik dengan ajaran islam sehingga perlunya islam tampil
untuk menangkis labelling ekstrimisme tersebut dengan aksi pelayanan
sosial. Ajaran Fethullah Gulen sendiri secara filosofis memang menekankan akan
pentingya dakwah dengan landasan cinta dan kasih sayang. Jika berangkat dari
komparasi antara Muhammadiyah dan Gulen dapat ditemui berbagai persamaan,
misalnya adanya konsep dakwah dengan melayani umat melalui aksi-aksi konkret
seperti pembangunan gedung-gedung sekolah dan fasilitas-fasilitas lainnya,
hanya saja Gulen sukses go internasional sementara Muhammadiyah masih
bertaraf lokal. Jika memang dalam fase kemapanannya Muhammadiyah dituntut untuk
berkembang lebih jauh, maka tak mustahil jika Muhammadiyah dapat mengembangkan
sayapnya di negeri-negeri tetangga dengan tetap fokus pada aksi melayani umat.
Namun sebelum jauh melangkah, sudahkah perhitungan-perhitungan rasional
dilakukan sebelum menghantarkan Muhammadiyah untuk keluar dari sangkarnya?.
Perhitungan-perhitungan tersebut tentu bukan
hanya persoalan sumber dana dan sumber daya manusianya, hitung-hitungan
tersebut terkait dengan adaptasi ide-ide dakwah Muhammadiyah dengan kontur
sosial dan politik di negeri yang berbeda-akan dituju. Mungkin jika hanya
terbatas pada pembangunan fasilitas fisik semata Muhammadiyah tak akan terlalu kerepotan,
namun jika ide-ide dakwah Muhammadiyah dituntut untuk berinteraksi dengan
kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya di negeri yang akan dituju yangmana
unsur-unsur diatas menentukan corak struktur sosial dari satu wilayah maka hal
demikianlah yang perlu menjadi perhitungan real bagi Muhammadiyah untuk
melakukan objektifikasi atas ide-ide dakwahnya, kecuali jika Muhammadiyah hanya
akan menjadi lembaga filantropi semata atau lembaga komersil tanpa adanya
ideologisasi. Barangkali dengan internasionalisasi tak menutup kemungkinan
Muhammadiyah akan bervariasi, seperti sedikit ke-ikhwan-ikhwanan atau
bahkan cenderung liberal. Kita tunggu hasil studi persiapan yang mulai
digelorakan oleh JIMM-Jaringan Intelektual Muhammadiyah.
*) Mantan pimpinan PC IMM AR. Fakhruddin Kota
Yogyakarta.
Gambar : FAI UMS (Klik Sini)
kritik boleh gak nichh?
BalasHapusMonggo silahkan :)
Hapus