Dilema Israel, Derita Gaza
Oleh : Faris Alfadh*)
Pertempuran delapan hari antara Israel dan Hamas, yang menewaskan
sekitar 160 warga Palestina dan lima penduduk Israel, akhirnya berakhir
dengan gencatan senjata, Rabu (21/11). Upaya damai tersebut sangat
penting bagi warga Palestina, karena tidak saja dapat menghindari
jatuhnya lebih banyak korban, tetapi sekaligus memberikan harapan untuk
kembali membangun puing-puing kehidupan yang sempat runtuh.
Bagaimana menjelaskan operasi militer Israel kali ini, serta apa yang
diinginkan negara Yahudi tersebut melalui palagan terbuka? Setidaknya
ada tiga argumen. Pertama, sebagai bagian dari upaya
melumpuhkan kekuatan anti-Israel Palestina, terutama kelompok militan
yang menggunakan strategi militer seperti Hamas. Kedua, serangan
bombardir ke Gaza dapat memaksa Palestina, juga negara-negara Arab,
untuk duduk di meja perundingan. Ketiga, pertimbangan atas
kepentingan-kepentingan politik domestik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Hamas dipandang sebagai ancaman paling
serius bagi cita-cita terwujudnya Israel Raya, yang mencakup keseluruhan
wilayah Israel dan Palestina. Untuk itu, memukul habis Hamas menjadi
amat penting. Namun benarkah Israel berniat menghabisi Hamas?
Noam Chomsky, intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi, dalam bukunya Middle East Illusions: Including Peace in the Middle East? Reflections on Justice and Nationhood
(2003), percaya bahwa Israel punya kekuatan untuk menang di setiap
pertempuran melalui serangan-serangan ekplosif. Persenjataan Israel
adalah yang paling canggih di Timur Tengah. Namun kemenangan tersebut,
menurut Chomsky, juga berarti kerugian bagi Israel. Jurang kebencian
rakyat Palestina akan semakin dalam, niat balas dendam pun akan kuat
bersemayam. Selain itu negara-negara di Timur Tengah sepert Mesir,
Suriah, Lebanon, dan Iran siap menabuh genderang perang. Oleh karenanya,
Israel sadar betul bahwa upaya menghabisi Hamas sama saja membangun
kehancuran sendiri.
Asumsi kedua tampak lebih masuk akal. Konflik serupa yang terjadi
sebelumnya di tahun 2006 dan 2008, menunjukkan bagaimana gencatan
senjata hadir pasca pertempuran yang menyakitkan. Namun menjelaskan
agresi Israel dari sudut pandang ini juga terbilang absurd. Gencatan
senjata justru kerap kali mentah di tangah Israel sendiri. Pasca
kesepakan damai Rabu kemarin, misalnya, pernyataan Perdana Menteri
Israel, Benjamin Netanyahu, tetap memberi celah bagi dilakukannya
kekerasan lanjutan. Israel akan mengambil segala langkah yang diperlukan
untuk melindungi warganya.
Konteks politik domestik Israel lebih dapat menjelaskan alasan
operasi militer kali ini. Kekuatan-kekuatan politik Israel terpolarisasi
ke dalam ideologi konserfatif dan moderat. Partai Likud, yang saat ini
berkuasa, bersama partai lainnya seperti Yisrael Beitenu, Shah, National
Union, dan The Jewish Home, berada pada spektrum kanan yang lebih
mengedepankan opsi militer dalam menghadapi kekuatan anti-Israel.
Sementara Partai Kadima, beserta Partai Buruh, United Torah Judaism,
United Arab List, dan Meretz berada di sayap kiri yang masih memberi
ruang bagi negosiasi demi perdamaian.
Persoalannya adalah, rakyat Israel lebih banyak (meski tidak semua)
mendukung kebijakan-kebijakan yang keras terhadap Hamas. Sehingga dalam
hal ini, pilihan untuk mendapatkan dukungan publik menjadi pertaruhan,
terlebih di saat-saat menjelang pemilu. Asher Arian, pengamat politik
dari Haifa University, Israel, pernah berujar bahwa “partai-partai
berkuasa kerap menjadikan perang sebagai propaganda untuk menangguk
untung”.
Menjelang pemilu pada 22 Januari 2013 mendatang, sangat esensial bagi
PM Netanyahu menujukkan konservatisme pemerintahan Partai Likud.
Dukungan mayoritas publik amat dibutuhkan mengingat partai berkuasa
belum sepenuhnya menguasai parlemen dengan solid, seperti yang terlihat
baru-baru ini terkait soal penyusunan anggaran. Ini pula yang bisa menjelaskan mengapa Netanyahu terang-terangan
mendukung calon presiden Mitt Romney dari Partai Republik sebelum pemilu
presiden AS awal November lalu. Sesuatu yang cukup berbahaya
sebenarnya. Sikap Netanyahu merupakan upaya untuk menegaskan sikap
politiknya bersama Partai Likud kepada publik Israel, mengingat Romney
beraliran hawkish, yang lebih mengedepankan militer sebagai solusi,
ketimbang Barack Obama yang dipandang terlalu lunak.
Apa yang dilakukan pemerintahan Partai Kadima di bulan Desember tahun
2008 juga bisa dilihat dari perspektif ini. Meski ideologi partai yang
kala itu dipimpin Tzipi Livni berhaluan kiri-tengah, operasi militer ke
Gaza tetap dilakukan bahkan dalam spektrum yang lebih mengerikan
dibanding tahun 2012. Partai Kadima tampaknya berharap dapat meraup
dukungan publik menjelang pemilu 10 Februari 2009. Israel akan selalu terjebak pada dua pilihan yang sulit. Di satu sisi
masih memendam cita-cita bisa hidup normal seperti bangsa-bangsa lain,
yang artinya jalan negosiasi dengan Palestina musti ditempuh. Namun di
sisi yang lain kepentingan politik domestik menggiring untuk diambilnya
opsi-opsi konfrontatif, yang sama saja semakin mengubur upaya damai. Hal
inilah yang akan terus menjadi bopeng bagi proses perdamaian dua
negara.
Sayangnya, dilema yang dihadapi Israel tidak saja menjadi hambatan
bagi terwujudnya perdamaian dan kehidupan yang lebih baik, tetapi
sekaligus fragmen memilukan bagi rakyat Palestina, terutama yang hidup
di Jalur Gaza. Rudal-rudal yang ditembakkan hanya akan menambah derita
di antara puing-puing reruntuhan kota Gaza.
*) Pegiat senior MIM Indigenous School. Dosen HI UMY. Kini sedang menempuh S3 (P.hD) di Murdoch University.
**) Sumber tulisan : direpost dari hi.umy.ac.id (Klik)
0 komentar: