Biografi Amien Rais
Muhammad Amien Rais—Meskipun tak semua nama otomatis mewakili kepribadian seseorang, namun
membaca nama Tokoh Sentral Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah cukup
sebagai referensi awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof. Dr. Muhammad
Amien Rais, MA. yang lebih populer dikenal Amien Rais adalah sosok pemimpin
terpercaya di republik ini. Lahir pada 26 April 1944 di Surakarta. Orang tuanya
berharap putra kedua dari enam bersaudara ini menjadi kyai dan melanjutkan
pendidikan agama ke Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan
Sudalmiyah, ayah dan ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama
yang sangat menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak
membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan sekitarnya, Amien Rais juga banyak
belajar tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat dekat dengan kondisi
keluarga miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk ruang
tidur dan dapurnya yang alakadarnya.
Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di
Sekolah Dasar Muhammadiyah I Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga
selesai di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat sarjana Amien Rais
selesaikan di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya juga menerima gelar
Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di
masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais terlibat aktif dan berperan di berbagai
organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua Dewan
Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master
bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Indiana, dan selesai tahun
1974. Dari universitas yang sama juga memperoleh Certificate on
East-European Studies. Sedangkan gelar Doktoralnya diperoleh dari University
of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan mengambil spesialisasi di bidang
politik Timur Tengah dan selesai tahun 1984. Disertasinya yang cukup terkenal,
berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi
Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali).
Program Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun
1986 dan di UCLA pada tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya
tahun1967, sebuah penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien
Rais hanya berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak pernah tidak
kritis.” Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik
di Universitas Gadjah Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik
Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah, Teori-teori Sosialisme,
hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik di Program
Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu, Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK), lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian
dan penelitian sebagai bentuk keprihatinan atas terbatasnya produk kebijakan
menyangkut masalah-masalah strategis yang berorientasi pada penguatan
pilar-pilar kehidupan masyarakat. Perjalanan pendidikan Amien Rais memberinya
tak sedikit pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu
mengantarnya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan
di berbagai negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke
Tanah Air setelah sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman
Sam, tugas-tugas intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik
berupa transformasi keilmuan dengan mengajar di berbagai universitas maupun
dengan melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung--
meneguhkan sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata dan dapat
dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik di
Indonesia. Dan sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais juga seringkali
melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri
Amerika, sebuah negeri tempatnya sendiri belajar tentang demokrasi dan hak
asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya
terhadap intervensi asing dan budaya koorporatokrasi yang menjagal hak-hak
dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri terekam jelas dalam buah pikirnya
pada buku: Selamatkan Indoenesia; Agenda Mendesak Bangsa. Dalam
komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak segan-segan mengakuinya sebagai Angry
Book (buku yang marah). “Saya mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang
sudah dibrainwashing sejak jaman londo dahulu, dan sekarang masih
melekat sebagai mental inlander. Tanpa melepaskan mental inlander (mental
budak), kita tidak bisa bangkit. Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti
Sultan Agung Mataram tapi malah mengikuti Amangkurat I dan II yang menjual
Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing) dan memanggil eyang pada Gubernur
Jendral Belanda”. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah
kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu,
perannnya sebagai cerdik cendekia terkemuka telah menempatkannya di posisi
Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang lahir dan
besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah
terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya
mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang silang
sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta
eksploitasi serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah
perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga
banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI. Namun
kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap
sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu
kemudian menuai dukungan penuh. Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir
Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu
besar, yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat
itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram.
Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui
suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar
yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen
Rais juga merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya karena mendapat support
penuh dari istri dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla,
Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.
”Saya dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut
beliau, melaksanakan amar ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak
setuju pun tidak marah. Tapi, melaksanakan nahi mungkar banyak
resikonya,” gugahnya nan bersahaja. Proses ragi politik yang terus membusuk dan
melemahkan sendi-sendi ekonomi bangsa pada dasawarsa kedua tahun 1990-an,
mendorong Amien Rais kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan
dengan desakan lebih luas: Reformasi Total. Berawal dari kasus Freeport dan
Busang, Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan perubahan sosial yang mendasar di
negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya berada di garda paling depan dalam
meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru. Sejak awal bergulirnya reformasi,
Amien Rais sudah menyatakan ”siap” mencalonkan diri sebagai presiden. Ini
sebuah pernyataan yang dinilai sangat berani pada saat itu meskipun diakuinya
sendiri hanya sebatas political education. Namun wacana pencalonan
dirinya sebagai presiden, bukanlah semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa
melainkan cermin sikap high politic-nya yang konsekwen mendorong upaya
pengentasan penderitaan rakyat akibat distorsi kepemimpinan nasional yang
otoriter dan korup. Amien Rais melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki
mulai dari tampuk kekuasaan.
Keterlibatan Amien Rais di Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua
Majelis Tabligh. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta, Amien
Rais terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meninggalnya K.H.
Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah pada tahun 1994 kemudian
mendaulat Sang Pemberani ini ke posisi puncak itu. Muktamar Muhammadiyah
ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya
melanjutkan tampuk nakhoda Muhammadiyah. Dapat dikata, aktivitas
bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya
terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya perlu direformasi untuk
menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim
Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun,
situasi politik berlangsung mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama
berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat
Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang
mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai
disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa yang menginginkan perubahan
paradigma politik Indonesia, Amien Rais kemudian mendirikan partai politik
yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai konsekuensi dari
langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak
dapat mengelakkan rasa haru. Kiprah Amien Rais selama mamainkan peran awal
hingga sekarang di pentas politik nasional cukup fenomenal. Partai Amanat
Nasional yang kemudian dinakhodainya sendiri berhasil cukup gemilang dalam
mengikuti pemilu pertamakali tahun 1999, dimana partai berlambang matahari itu
mampu meraup perolehan suara 7% dan menempatkan posisinya di peringkat ke-5
dalam perolehan suara nasional seluruh partai kontestan. Posisi tersebut,
berhasil pula mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas lembaga tertinggi negara itu, Amien
Rais menjadi king maker regulasi demokrasi nasional. Bahkan dengan
kepiawaian dan kecerdasan politiknya, Amien Rais menggulirkan gagasan Poros
Tengah untuk membangun jalan baru dari dua titik ekstrim dalam kubu politik
yang cenderung berlaku zero some game sebab tersandung kebekuan hubungan
politik, sampai kemudian berhasil mencalonkan, mengawal dan sekaligus
mengantarkan Abdurrahman Wahid ke tampuk kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata,
gagasan Poros Tengah itu mampu memberi pengaruh pula bagi upaya merajut
hubungan harmonis Muhammadiyah-NU yang sebelumnya kerap bersebrangan tegang
dalam pilihan instrumen dan gerak dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu
tak lama disemai, sebab proses politik setelahnya berlangsung di luar duga,
dimana presiden ke-4 RI yang tak lain tokoh sentral NU itu akhirnya
dilengserkan secara konstitusional oleh MPR RI yang kebetulan masih dikomandanu
Amien Rais.
Meskipun Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi
presiden ke-5 RI dalam kontestasi Pemilu Presiden yang diselenggarakan
pertamakali secara langsung (2004), namun prestasi politiknya tak terpungkiri
sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok bapak dan sekaligus
sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai istimewa rapor politikus
era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan bersih. Kini, menjelang usia
lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin Rais masih segar sumringah
berkiprah di Muhammadiyah.
Sumber : Web muhammadiyah.or.id. (1) dan muhammadiyah.or.id. (2)
0 komentar: