Krisis Global: Konsolidasi Kapital Atau Titik Nadir Neoliberal?
Noor Afif Fauzi
Beberapa dekade terakhir ini, berita
tentang instabilitas, resesi, gejolak, atau fluktuasi ekonomi secara berkala
dan semakin sering menjadi headline media dan alur diskursus dominan.
Fenomena-fenomena tersebut memunculkan berbagai hipotesis baik dari level mikro
(agen) maupun makro (sistemik) mengenai sistem ekonomi neoliberal
Turut andilnya negara (termasuk negara
yang dianggap sebagai pusat ekonomi tersebut seperti Amerika Serikat dan Eropa,
red) dalam mekanisme penyelesaian krisis dengan memperketat regulasi,
memberikan bail out, memperkuat sistem jaminan sosial, dan berbagai bentuk
intervensi yang lain menimbulkan dilema tersendiri. Debat klasik antara diktum
dasar neoliberal: bahwa pasar, dengan invisible hand-nya, mampu memulihkan diri
dan mencapai titik keseimbangan (equilibrium)
baru, dengan diktum Keynesian: bahwa negara selalu dibutuhkan dan menggantikan
peran pasar kembali mengemuka.
Terlebih dalam era saat ini, ketika dunia
sedang mengalami restrukturisasi fundamental yang disebut sebagai globalisasi.
Bersama dengan liberalisasi dan finansialisasi, ketiga hal tersebut telah
menjadi tren utama dalam kajian dan praktek ekonomi-politik. Selain (diklaim)
telah berhasil menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia, ketiga hal
tersebut diatas juga memiliki implikasi berupa burst (surut) dalam conjuctur
(siklus ekonomi).
Sebuah siklus turunnya perekonomian sering
menjelma sebagai krisis yang dianggap wajar dan bahkan sebuah keharusan untuk
mencapai keseimbangan baru perekonomian. Namun kehadiran krisis yang semakin
sering beberapa dekade belakangan yang diserta dengan intensitas yang semakin
meningkat menimbulkan pertanyaan tersendiri: jika memang fluktiasi adalah
sesuatu yang alamiah seperti yang dipercaya penganut paham kapitalis, sampai
kapan kurva yang ada mampu menahan proses boom-burst
ini? Jika suatu saat lower point dari kurva akhirnya jebol, apakah tatanan
sistem ekonomi ini akan runtuh sesuai ramalan kaum Marxist? Tanpa ingin
terjebak pada perdebatan paradigmatik, tulisan ini mencoba untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
0 komentar: