Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Anomali Sweeping Ormas

Makhrus Ahmadi *)

Berita KR 19/7/2013 halaman 8 yang memuat mengenai bentrok warga dengan ormas Front Pembela Islam (FPI) di Sukorejo Kendal yang menewaskan 1 orang dan merusak beberapa kendaraan sungguh begitu disayangkan. Apalagi hal tersebut terjadi saat bulan puasa. Niat baik untuk memberantas penyakit masyarakat, malah justru berujung keresahan masyarakat. Bila saja niat baik dilakukan dengan lebih humanis, barangkali kejadian tragis ini bisa diantisipasi sebelumnya.

Bentuk sweeping ormas manapun, yang berujung pada kekisruhan dan kekerasan di masyarakat merupakan bentuk tindakan sangat tidak dibenarkan, sebab sweeping yang dilakukan justru terkesan mengeliminir fungsi pihak aparat. Apalagi bentuk sweeping belakangan ini, justru tidak jarang berujung dengan tindak kekerasan maupun pengrusakan. Karenanya, mempercayakan kepada pihak aparat sebagai pihak yang bertanggung jawab merupakan cara yang jauh lebih logis, daripada menujukkan arogansi atas sebuah tindakan. Apalagi, hampir sebagian besar pemerintah terkait jelang bulan suci atau hari besar keagamaan melarang larangan atau pembatasan jam operasional tempat hiburan.

Letak anomali sweeping ormas dapat terlihat dengan tiga hal. Pertama, sweeping kerapkali dilaksanakan pada bulan tertentu seperti bulan Ramadan, alasan yang sering terlontar untuk menjaga hikmat beribadah, padahal realitanya masih banyak masyarakat yang kurang nyaman dan terganggu, sehingga bentrok ormas dengan warga tidak bisa dihindari. Kedua, bentuk sweeping yang dilakukan untuk memberantas penyakit masyarakat, kadangkala berujung dengan pengrusakan maupun penyetaan secara sepihak seperti yang terjadi di daerah Depok beberapa hari yang lalu. Ketiga, aksi sweeping ormas menimbulkan kesan ketidakpercayaan terhadap aparat untuk menjaga keamanan, ketertiban dan kenyamanan di masyarakat. Aksi sweeping ormas yang frontal justru mengambil alih peran aparat dan mengaburkan simpatik dari masyarakat.

Seharusnya, bentuk simpatik bisa dilakukan dengan cara-cara yang jauh lebih elegan. Terlebih yang memberi bentuk simpatik berasal ormas lebel agama tertentu. Bukankah menyampaikan pesan kebaikan dan ajaran agama tidaklah harus dengan cara yang frontal, melainkan masih bisa dilakukan dengan kebaikan (hikmah). Jika kemungkaran dihadapi dengan kemungkaran, pada akhirnya juga akan menghadirkan kemungkaran yang baru.

Stigma kekerasan

Sweeping merupakan salah satu bentuk cara untuk menangani atau menjaga sebuah aturan. Dimana bentuk aturan yang berlaku bisa ditegakkan tanpa adanya pelanggaran ataupun meminimalisir pelanggaran dari aturan tersebut. Sweeping bisa dianggap sebuah ekspresi atau sikap atas sebuah keadaan yang dianggap kurang ideal dari keadaan tertentu. Bentuk keadaan tersebut bisa berasal dari pemahaman terhadap aturan, pemahaman keagamaan, pemahaman budaya dan lainnya. Jadi, Sweeping bisa menjadi dua sisi yang saling terikat untuk menghapus atau menangani sesuatu. Sisi tersebut bisa positif dan negatif, tergantung dari sudut pandang tersebut bermula. 

Bentuk sweeping ormas agama yang tidak jarang berujung dengan kekerasan, menimbulkan kesan tindak kekerasan termanifestasi dari sebuah ajaran agama. Pemahaman keagamaan yang dipahami oleh kelompok tertentu, yang cenderung memaksakan untuk bisa diterima oleh kelompok yang lain atau bahkan yang berbeda agama tidak bisa dibenarkan begitu saja. Ahmad Syafii Ma’arif pernah menyebut kelompok yang menggunakan kekerasan dalam menyampaikan nilai luhur agama dengan sebutan “preman berjubah”. Jauh sebelumnya Nurcholis Madjid pernah menulis artikel berjudul “Pesan untuk Generasi Muda” yang berisi tentang pentingnya menggali kembali wawasan keagamaan yang al-hanifah al-samhah, pesan yang berisi tentang keberagaman yang kelapangan dan sikap toleran.

Dalam kontek sweeping, kedua tokoh ini memberikan isyarat bahwa agama harus mampu memberikan kesejukan terhadap seluruh umat manusia, termasuk bagi mereka yang melakukan kemungkaran. Oleh sebab itu, pendekatan yang lebih humanis menjadi kunci untuk menyelesaikan perbedaan dan kesalahan, sehingga konflik maupun kekerasan atas nama apapun, termasuk nama agama tidak bisa dibenarkan. Dari sinilah pendekatan dan tingkat kesadaran menemukan ruang untuk saling bertukar dan memahami.

Akhirnya, segala bentuk kegagapan atas sebuah masalah masih didiaogkan. Masih banyak cara mengampaikan kebenaran dan kepedulian secara lebih humanis, tanpa selalu berujung dengan pengrusakan dan keresahan. 

*) Pegiat MIM Indigenous School

Link gambar (klik)

0 komentar: