Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Pengendalian Tembakau dan Penyelamatan Perokok Belia

Oleh : Makhrus Ahmadi *)

Peringatan Hari Tembakau Internasional yang jatuh pada tanggal 31 Mei acapkali diserukan bersamaan dengan pentingnya pengendalian tembakau di indonesia. Terlebih hingga saat ini Indonesia masih belum meratifikasi konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Tentu saja konvensi ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti Undang-Undang, namun setidaknya dengan adanya ratifikasi terhadap konvensi tersebut bisa berdampak positif terhadap keseriusan pemerintah untuk melindungi para perokok belia.

Dengan lahirnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dalam salah satu isinya menerangkan bahwa tembakau merupakan salah satu zat adiktif, memberikan harapan  terhadap kesehatan masyarakat khususnya saat berada di tempat-tempat umum. Dimana kemudian beberapa daerah mengeluarkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda KTR ini pun selain masih mengakibatkan pro-kontra tetang kebaradaannya juga terasa lemah dalam berapa dalam penerapannya, misalnya masih banyak orang yang merokok di tempat umum yang sudah dilarang.

Pengendalian tembakau tentu juga dianggap mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara dan tergerusnya lapangan pekerjaan khususnya PHK buruh pabrik rokok dan petani tembakau. Apalagi untuk kawasan Jawa Timur selain hampir mengsupport sekitar 40 % kebutuhan tembakau nasional diluar daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, dan Sumatra Utara. Namun kebutuhan terhadap tembakau masih kurang dari total kebutuhan nasional. Tahun 2010 produksi tembakau Indonesia hanya 80.000 ton, sedangkan kebutuhan tembakau di pabrik rokok 240.000 ton tiap tahunnya. Hal ini pun mengindikasikan bahwa jumlah perokok di indonsia cukup besar, yang ditandai dengan Indonesia sudah menjadi pengkonsumsi rokok nomor tiga dunia.

Sekalipun pemerintah Indonesia sudah ada roadmap tentang Industri Tembakau (2007-2020) yang mengedepankan tentang ketenagakerjaan, pendapatan negara dan kesehatan masyarakat dengan adanya regulasi terhadap batasan promosi dan batas usia pengkonsumsi tembakau, tidak secara serta merta berjalan dengan mulus. Salah satu sebabnya yakni minimnya pengetahuan masyarakat tentang pengendalian tembakau—termasuk para usia belia.

Menyelamatkan Perokok Belia

Publik beberapa waktu seakan terhenyak dengan ramainya pemberitaan anak berusia 5 tahun mengkonsumsi rokok dengan alasan yang cukup beragam. Bahkan KPAI pun juga turut andil dalam menyelesaikan masalah rokok ini. Tentunya, dengan alasan yang sama yakni keprihatinan terhadap perilaku merokok belia.  

Kematian karena kebiasaan mengkonsumsi rokok merupakan salah faktor yang tidak bisa dihindari, meskipun juga ada faktor lain yang menyebabkan kematian. Tahun 2010 diperkirakan ada sekitar 190.500 penduduk Indonesia meninggal dunia karena rokok. Jumlah ini pun sebenarnya merupakan fenomina gunung es yang tidak menutup kemungkinan lebih besar dari angka tersebut. Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya bersama sejak dini agar para generasi muda (belia) yang harapan hidupnya masih panjang bisa diselamatkan.

Pengendalian tembakau melalui kendali terhadap perokok belia dapat dilakukan dengan bebebrapa cara diantaraya. Pertama, penjualan rokok yang harus ditempatkan di tempat yang ruang minim jangkauan terhadap anak yang masih usia belia. Dengan minimnya akses tersebut mengakibatkan penjualan rokok terhadap orang dewasa jauh tepat sasaran. Kedua, sterilisasi lingkungan, perokok belia biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mengitarinya, barangkali hal tersebut dilakukan karena sifatnya yang cenderung imitatif. Ketiga, regulasi usia konsumsi yang ketat, pembatasan terhadap usia pengkonsumsi rokok masih terasa cukup longgar, dimana sementara ini regulasi yang ada masih bersifat himbauan dan belum menjadikan edukatif progresif dikalangan para pelajar sebagai bagian dari perokok belia. Padahal ketiga inilah yang seringkali terasa cukup jarang dilakukan, bahkan pabrik rokok malah menjadi sponsor utama dalam beberapa kegiatan yang berbau muda (belia).

Hanya dengan adanya kesadaran dan pemahaman bersama dalam setiap tindakan untuk meminimalisir para perokok belia. Tindakan yang dilakukan tentu saja bukan dengan konfrontasi larangan, melainkan dengan jalan edukatif-persuasif mengingat para perokok belia masih bisa dibina secara intensif. Kerap kali kehidupan perokok belia yang cenderung imitatif tidak jarang lebih mudah disisipi dengan adanya perasaan emosional untuk meniru kebiasaan yang diamati dan dilihat disekitarnya—tak terkecuali dalam masalah rokok.

Dari sinilah semua kalangan yang terlibat dalam aktivitas industri tembakau dituntut untuk sama-sama saling jujur, mensejahterakan dan memberikan pengaruh positif bagaimana pentingnya hidup sehat sehingga tidak hanya selalu bermotif keuntungan, apalagi dianggap mengebiri devisa dan memberangus pertanian (penghasilan) rakyat. Sehingga generasi dimasa yang akan datang menjadi lebih cemerlang tanpa adanya ketergantungan yang membebaninya. 

*) Pegiat MIM Indigenous School. Tulisan ini direpost di "Blog" pribadi penulis.

0 komentar: