Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Krisis Global: Konsolidasi Kapital atau Titik Nadir Neoliberal? *)


Noor Afif Fauzi **)

Only through the conscious action of the working masses in city and country can it be brought to life, only through the people's highest intellectual maturity and inexhaustible idealism can it be brought safely through all storms and find its way to port.
(Rosa Luxemburg)

Prawacana

Beberapa dekade terakhir ini, berita tentang instabilitas, resesi, gejolak, atau fluktuasi ekonomi secara berkala dan semakin sering menjadi headline media dan alur diskursus dominan. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan berbagai hipotesis baik dari level mikro (agen) maupun makro (sistemik) mengenai sistem ekonomi neoliberal.

Turut andilnya negara (termasuk negara yang dianggap sebagai pusat ekonomi tersebut seperti Amerika Serikat dan Eropa, red) dalam mekanisme penyelesaian krisis dengan memperketat regulasi, memberikan bail out, memperkuat sistem jaminan sosial, dan berbagai bentuk intervensi yang lain menimbulkan dilema tersendiri. Debat klasik antara diktum dasar neoliberal: bahwa pasar, dengan invisible hand-nya, mampu memulihkan diri dan mencapai titik keseimbangan (equilibrium) baru, dengan diktum Keynesian: bahwa negara selalu dibutuhkan dan menggantikan peran pasar kembali mengemuka.

Terlebih dalam era saat ini, ketika dunia sedang mengalami restrukturisasi fundamental yang disebut sebagai globalisasi. Bersama dengan liberalisasi dan finansialisasi, ketiga hal tersebut telah menjadi tren utama dalam kajian dan praktek ekonomi-politik. Selain (diklaim) telah berhasil menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia, ketiga hal tersebut diatas juga memiliki implikasi berupa burst (surut) dalam conjuctur (siklus ekonomi).

Sebuah siklus turunnya perekonomian sering menjelma sebagai krisis yang dianggap wajar dan bahkan sebuah keharusan untuk mencapai keseimbangan baru perekonomian. Namun kehadiran krisis yang semakin sering beberapa dekade belakangan yang diserta dengan intensitas yang semakin meningkat menimbulkan pertanyaan tersendiri: jika memang fluktiasi adalah sesuatu yang alamiah seperti yang dipercaya penganut paham kapitalis, sampai kapan kurva yang ada mampu menahan proses boom-burst ini? Jika suatu saat lower point dari kurva akhirnya jebol, apakah tatanan sistem ekonomi ini akan runtuh sesuai ramalan kaum Marxist? Tanpa ingin terjebak pada perdebatan paradigmatik, tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pendekatan Teoritis tentang Krisis

Krisis sendiri sebenarnya bukanlah sebuah fenomena yang baru melainkan telah mempunyai sejarah yang cukup panjang. Hal ini sejalan dengan perjalanan siklus ekonomi itu sendiri, sehingga menemukan pola dari siklus gejolak krisis dalam bentang sejarah menjadi sangat perlu meskipun masing-masing kejadian krisis mempunyai keunikan dan konteks masing-masing. Pada tahun 1636-1637 gejolak ekonomi yang dikenal sebagai “tulip mania” menyerang Eropa. Tulip menjadi simbol status sosial sehingga permintaan komoditas tersebut melonjak tajam. Harga yang membumbung tinggi membuat jutaan orang berspekulasi untuk berinvestasi besar-besaran menanam bunga tersebut. Ketika harga tiba-tiba menurun drastis akibat ulah “mania” atau spekulan, terjadi kebangkrutan besar-besaran.

Krisis selanjutnya adalah The Missisipi and South Sea Bubble pada tahun 1720. Para spekulan dari pengelola perusahaan mengambil resiko besar dalam mengakses hutang sehingga perusahaan terbebani secara serius dan mengalami gagal bayar (default). Pola yang hampir sama terus terjadi pada krisis-krisis selanjutnya seperti Black Tuesday tahun 1932, krisis minyak tahun 1970an, krisis dot com pada 1990-an, krisis moneter Asia pada 1997-1998, krisis financial global pada 2008, dan krisis hutang Eropa pada 2012.

Pengalaman sejarah seperti tersebut diatas membuktikan bahwa sektor finansial memiliki potensi resiko sangat besar untuk terjadi krisis. Hal ini sejalan dengan tesis Schumpter yang menyatakan bahwa kapitalisme memiliki sisi instabilitas dalam jangka panjang. Sisi endogen dalam kapitalisme inilah yang menjadikan persoalan krisis menjadi persoalan di dalam struktur kapitalisme itu sendiri. Dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy yang menjadi dasar pemikiran evolusi ekonomi menyatakan bahwa dinamika ekonomi tak lain adalah hasil dari konstruksi sosial, konflik, dan kesepakatan (konvensi) yang bersifat permanen. Hal ini mengharuskan inovasi dan kompetisi harus dilakukan untuk membawa sistem ekonomi dalam keanekaagaman sehingga instabilitas mau tidak mau menjadi konsekuensi dari hal tersebut.

Hal lain yang menjadi faktor instabilitas tersebut adalah keberadaan uang yang tak lagi murni sebagai alat tukar tapi telah menjelma menjadi komoditas. Uang menjadi bias dan tidak netral dan memiliki pasarnya sendiri yang sering tidak sinkron dengan pasar riil barang dan jasa. Menurut Keynes, uang adalah konvensi sosial dan menjadi faktor utama yang mempengaruhi motif dan keputusan sehingga menciptakan ketidakpastian. Perbankan memiliki andil dalam proses penyediaan uang sebagai kredit untuk modal produksi. Hal ini kemudian menjadikan siklus uang jangka panjang dan masuk dalam tahapan boom-burst ekonomi.

Para agen ekonomi menjadi aktor lain dalam sistem ini, termasuk sektor finansial dengan pasar derivatif nya. Di dalam pasar derifatif ini, dengan tiadanya peraturan yang ketat dan anggapan bahwa dinamika derifatif menjadi hal penting dalam pertumbuhan ekonomi, menjadikan sisi inovasi finansial, sebagai salah satu proposisi utama Schumpter, dapat dengan mudah menjelma menjadi spekulasi. Seseorang yang dengan inovasi memperoleh keuntungan dalam transaksi pertama memiliki kecenderungan psikologis untuk berspekulasi pada transaksi kedua. Faktor psikologis, spekulasi, kepanikan, dan kadang kesembronoan yang menjadi sifat alamiah dasar manusia inilah yang menjadi salah satu booster dan memperbesar kemungkinan terjadinya krisis.


Lingkaran (Setan) Sistem Kapital dan (Pseudo) Neoliberal

Kompleksitas konsep teoritis dan paradigma mengenai hal-hal tersebut kadang membingungkan dalam memahami secara utuh krisis itu sendiri. Paling tidak ada tiga generasi teoritis fluktuasi ekonomi sebagai pintu masuk logika untuk memahami sejarah krisis. Pertama, krisis generasi pertama yang memahami krisis sebagai fenomena kesalahan manajemen (mismanajemen) ekonomi makro pemerintah. Contohnya seperti kebijakan hutang berlebihan (seignorate) yang terjadi di Amerika Latin pada tahun 1970-an.

Kedua, krisis generasi kedua yang memahami krisis sebagai bagian dari kepanikan pemegang likuiditas. Spekulasi bahwa pemerintah tidak mampu mempertahankan nilai tukar mata uang menjadikan pemegang likuiditas tersebut beramai-ramai melakukan aksi beli mata uang asing yang mnjadikan kolaps nilai mata uang lokal. Tipikal ini terjadi pada tahun 1980an. Ketiga, krisis generasi ketiga mengandung kesalingterkaitan antara berbagai sektor baik mikro maupun makro seperti perbankan (finansial), korporasi (produksi), pemerintah (regulasi), dan masyarakat (konsumsi). Krisis generasi terakhir ini sangat kompleks dan saling terhubung yang semakin meningkatkan ketidakpastian siklus ekonomi. Secara sederhana, relasi dan saling keterkaitan ini.

Skema diatas (tak terbaca; Adm) memperlihatkan bagaimana setiap struktur dalam ekonomi makro telah saling terkaitan dan rentan menyebabkan domino keruntuhan sistem secara keseluruhan. Dalam kasus krisis global tahun 2008, banyak negara memberikan bail out ekonomi untuk mengatasi krisis. Namun tentu saja ini adalah solusi parsial, kemunculan kembali krisis obligasi di Eropa menghasilkan kesimpulan stimulus yang dianggap sebagai panacea tak lagi mujarab dalam mengobati turbulensi yang semakin menghujam tajam.

Salah satu alasan mendasar kegagalan tersebut tak lepas dari logika pemisahan institusi politik dan ekonomi sebagai prasyarat wajib neoliberal sebenarnya tak pernah terjadi. Perkembangan restrukturisasi dan reorganisasi kapital yang diakomodasi dalam rezim Bretton Wood-Washington Consessus dengan World Bank-IMF-WTO sebagai regulator utama menghasilkan sistem neoliberal dengan perangkat-perangkat teoritiknya menjadi arus utama terutama dalam praktek ekonomi global. Oleh para penganutnya, ketiga institusi ini merupakan syarat penting untuk menjamin siklus dan proses perdagangan, investasi, dan transaksi ekonomi bisa berjalan dengannya diharapkan akan berefek pada semakin meningkatnya pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Namun kritik terhadapnya juga tidak sedikit. Konsesus yang diklaim sebagai kesepakatan global terhadapnya dianggap tak lebih dari koersi hegemonik sebagai kontrol logika untuk melanggengkan imperium dan akumulasi kapital. Bahkan David Harvey mengatakan bahwa akumulasi ini dilanggengkan oleh negara neoliberal tak hanya dengan menggunakan logika hegemonik melainkan juga imperialistik dengan penjarahan capital (accumulation by dispossession). Disiplin kerja dan iklim bisnis yang baik adalah fatwa wajib yang harus dipatuhi, negara yang menolak akan diklarifikasikan sebagai negara gagal dan bahkan berandal. Dengan payung perlindungan ketiga institusi diatas, institusi keuangan negara-negara neoliberal (ex: departemen keuangan AS) berkolaborasi dengan institusi finansial (ex: wall street) dan institusi negara neoliberal Eropa dan Jepang untuk melanggengkan surplus kapital tersebut.

Bias ini secara tidak langsung berpengaruh pada penguatan ketidakpastian kurva kapital, mengacaukan harmoni tiga sistem ekonomi kontemporer: liberalisasi finansial global, deregulasi nasional, dan inovasi produk finansial perusahaan. Dengan mekanisme nonpasar yang diambil, alih-alih menyembuhkan, malah sekedar menutupi kerusakan sistemik pasar. Alasan inilah yang kemudian menciptakan munculnya ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) yang berefek pada distorsi akses dan kapital.

Hal ini diperparah dengan kecenderungan spekulasi dan perilaku berbondong-bondong (herd behavior) yang semakin menambah ketidakpastian. Dalam skala yang lebih luas, infomasi asimetris menyebabkan negara berkembang menjadi pihak yang paling dirugikan dalam proses sistemik ini. Dalam sistem negara berkembang yang terhubung dengan sistem internasional, ketergantungan yang tinggi terhadap investasi asing dan perdagangan luar negeri yang tidak diimbangi dengan payung perlindungan, kerangka kemandirian nasional, serta jerat peraturan legal menyebabkan ketika krisis terjadi akan dengan mudah berefek pada berbagai aspek baik itu sosial dan politik. Hal ini pernah terjadi di Indonesia ketika terjadi krisis ekonomi 1998.

Bubble economy (ekonomi gelembung) yang menjadi salah satu efek dari liberalisasi dan inovasi finansial global menjadikan perekonomian tak bisa dipahami secara riil semata. Faktor derifatif memiliki pengaruh yang cukup penting bagi pelaku, produk, maupun tindakan yang diambil. Dengan konsepsi ini, indikator makro sering tidak menggambarkan kondisi riil yang sesungguhnya. Kadang ruang kosong yang ada dalam gelembung tersebut malah merupakan representasi dari ketimpangan gini dan akumulasi capital yang terbatas pada golongan tertentu. Dalam akses ruang derifatif yang tertutup, faktor psikologis spekulatif yang berkelindan dengan sifat kerakusan menghasilkan sebuah ironi. Ketika resesi terjadi, imbasnya akan berefek pada indikator ekonomi riil yang kadang tidak mempunyai andil sedikitpun dalam aksi spekulatif tersebut. Mungkin ekonomi balon inilah penjelasan dari konsep perluasan ruang dari Lavebre (1976, yang dia sendiri gagal menjelaskan, red) yang merupakan bentuk dari reorganisasi dan restrukturisasi kapital. Keseimbangan baru yang didapat dalam kurva sebenarnya juga merupakan keseimbangan semu.

Kembali ke pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan, indikator yang menjadi basis data dalam kurva tersebut pada dasarnya tidak terlalu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Fenomena siklus krisis yang semakin sering dan dengan intensitas yang semakin mengkhawatirkan menjadi indikator penting terjadinya ledakan gelembung yang lebih besar. Hal ini diperparah dengan adanya tiga proyeksi dari para ekonom mengenai penyebab krisis yang akan datang yakni: harga emas, harga minyak, dan obligasi (surat hutang). Krisis surat hutang saat ini tengah dialami sebagian besar negara Eropa. Turbulensi politik di timur tengah menjadikan krisis minyak masih menjadi ancaman utama. Emas juga telah mulai kehilangan peran sentralnya sebagai instrument investasi safe haven.

Kesimpulan

Ketika kedua variable di atas digabungkan, maka bukan tidak mungkin ledakan besar gelembung akan benar-benar berimplikasi pada runtuhnya kurva ekonomi secara keseluruhan. Untuk saat ini, negara sebagai instrument non-pasar memang masih memiliki peluang untuk menjaga ledakan ini tidak berlarut-larut. Namun jika tetap tidak ada perubahan fundamental dalam governance keuangan dan perekonomian global, maka aka ada dua kemungkinan implikasi. Pertama, kapitalisme semakin tidak dapat beradaptasi dengan kontradiksi internalnya sehingga bukan tidak mungkin ramalan mark tentang determinisme historis menjadi kenyataan. Kedua, sesuai tesis Lenin dan Luxemburg, adaptasi ini dilakukan dengan praktek (neo)imperialism, akumulasi kapital dengan koersi seperti yang dilakukan Amerika Serikat di Irak dan Afganistan sekarang ini.

Daftara pustaka: 

1.       A Prasetyantoko. 2008. Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik. Jakarta. Kompas
2.       Bonnie Setiawan. 2012. Rantai Kapitalisme Global; Reorganisasi Fundamental Rantai Pasokan Global. Yogyakarta. Resist Book
3.       Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru: Geneologi dan Logika Kapitalisme Kontemporer (terj). Yogyakarta: Resist Book
4.       Revrisond Baswir. 2009. Bahaya Neoliberalisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
International Forum on Globalization. 2003. A Better World is Possible (terj), Yogyakarta: CPRC


*) Disampaikan dalam diskusi rutin tematik MIM (Madrasah Intelektual Muhammadiyah) Indigenous School pada 2 Desember 2012.
**) Mantan Kabid Hikmah PC IMM AR. Fakrhruddin Kota Yogyakarta dan tinggal di Yogyakarta.


0 komentar: