Krisis Global: Konsolidasi Kapital atau Titik Nadir Neoliberal? *)
Noor Afif Fauzi **)
Only through the conscious action of the
working masses in city and country can it be brought to life, only through the
people's highest intellectual maturity and inexhaustible idealism can it be
brought safely through all storms and find its way to port.
(Rosa Luxemburg)
(Rosa Luxemburg)
Prawacana
Beberapa
dekade terakhir ini, berita tentang instabilitas, resesi, gejolak, atau
fluktuasi ekonomi secara berkala dan semakin sering menjadi headline media dan
alur diskursus dominan. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan berbagai
hipotesis baik dari level mikro (agen) maupun makro (sistemik) mengenai sistem
ekonomi neoliberal.
Turut
andilnya negara (termasuk negara yang dianggap sebagai pusat ekonomi tersebut
seperti Amerika Serikat dan Eropa, red) dalam mekanisme penyelesaian krisis
dengan memperketat regulasi, memberikan bail out, memperkuat sistem jaminan
sosial, dan berbagai bentuk intervensi yang lain menimbulkan dilema tersendiri.
Debat klasik antara diktum dasar neoliberal: bahwa pasar, dengan invisible
hand-nya, mampu memulihkan diri dan mencapai titik keseimbangan (equilibrium) baru, dengan diktum
Keynesian: bahwa negara selalu dibutuhkan dan menggantikan peran pasar kembali
mengemuka.
Terlebih
dalam era saat ini, ketika dunia sedang mengalami restrukturisasi fundamental
yang disebut sebagai globalisasi. Bersama dengan liberalisasi dan
finansialisasi, ketiga hal tersebut telah menjadi tren utama dalam kajian dan praktek
ekonomi-politik. Selain (diklaim) telah berhasil menjadi motor penggerak
pertumbuhan ekonomi dunia, ketiga hal tersebut diatas juga memiliki implikasi
berupa burst (surut) dalam conjuctur (siklus ekonomi).
Sebuah
siklus turunnya perekonomian sering menjelma sebagai krisis yang dianggap wajar
dan bahkan sebuah keharusan untuk mencapai keseimbangan baru perekonomian.
Namun kehadiran krisis yang semakin sering beberapa dekade belakangan yang
diserta dengan intensitas yang semakin meningkat menimbulkan pertanyaan
tersendiri: jika memang fluktiasi adalah sesuatu yang alamiah seperti yang
dipercaya penganut paham kapitalis, sampai kapan kurva yang ada mampu menahan
proses boom-burst ini? Jika suatu
saat lower point dari kurva akhirnya jebol, apakah tatanan sistem ekonomi ini
akan runtuh sesuai ramalan kaum Marxist? Tanpa ingin terjebak pada perdebatan
paradigmatik, tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pendekatan
Teoritis tentang Krisis
Krisis
sendiri sebenarnya bukanlah sebuah fenomena yang baru melainkan telah mempunyai
sejarah yang cukup panjang. Hal ini sejalan dengan perjalanan siklus ekonomi
itu sendiri, sehingga menemukan pola dari siklus gejolak krisis dalam bentang
sejarah menjadi sangat perlu meskipun masing-masing kejadian krisis mempunyai
keunikan dan konteks masing-masing. Pada tahun 1636-1637 gejolak ekonomi yang
dikenal sebagai “tulip mania”
menyerang Eropa. Tulip menjadi simbol status sosial sehingga permintaan
komoditas tersebut melonjak tajam. Harga yang membumbung tinggi membuat jutaan
orang berspekulasi untuk berinvestasi besar-besaran menanam bunga tersebut.
Ketika harga tiba-tiba menurun drastis akibat ulah “mania” atau spekulan, terjadi kebangkrutan besar-besaran.
Krisis
selanjutnya adalah The Missisipi and South Sea Bubble pada tahun 1720. Para
spekulan dari pengelola perusahaan mengambil resiko besar dalam mengakses
hutang sehingga perusahaan terbebani secara serius dan mengalami gagal bayar (default). Pola yang hampir sama terus
terjadi pada krisis-krisis selanjutnya seperti Black Tuesday tahun 1932, krisis
minyak tahun 1970an, krisis dot com pada 1990-an, krisis moneter Asia pada
1997-1998, krisis financial global pada 2008, dan krisis hutang Eropa pada
2012.
Pengalaman
sejarah seperti tersebut diatas membuktikan bahwa sektor finansial memiliki
potensi resiko sangat besar untuk terjadi krisis. Hal ini sejalan dengan tesis
Schumpter yang menyatakan bahwa kapitalisme memiliki sisi instabilitas dalam
jangka panjang. Sisi endogen dalam kapitalisme inilah yang menjadikan persoalan
krisis menjadi persoalan di dalam struktur kapitalisme itu sendiri. Dalam
bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy yang menjadi dasar pemikiran
evolusi ekonomi menyatakan bahwa dinamika ekonomi tak lain adalah hasil dari
konstruksi sosial, konflik, dan kesepakatan (konvensi) yang bersifat permanen.
Hal ini mengharuskan inovasi dan kompetisi harus dilakukan untuk membawa sistem
ekonomi dalam keanekaagaman sehingga instabilitas mau tidak mau menjadi konsekuensi
dari hal tersebut.
Hal
lain yang menjadi faktor instabilitas tersebut adalah keberadaan uang yang tak
lagi murni sebagai alat tukar tapi telah menjelma menjadi komoditas. Uang
menjadi bias dan tidak netral dan memiliki pasarnya sendiri yang sering tidak
sinkron dengan pasar riil barang dan jasa. Menurut Keynes, uang adalah konvensi
sosial dan menjadi faktor utama yang mempengaruhi motif dan keputusan sehingga
menciptakan ketidakpastian. Perbankan memiliki andil dalam proses penyediaan
uang sebagai kredit untuk modal produksi. Hal ini kemudian menjadikan siklus
uang jangka panjang dan masuk dalam tahapan boom-burst
ekonomi.
Para
agen ekonomi menjadi aktor lain dalam sistem ini, termasuk sektor finansial
dengan pasar derivatif nya. Di dalam pasar derifatif ini, dengan tiadanya
peraturan yang ketat dan anggapan bahwa dinamika derifatif menjadi hal penting
dalam pertumbuhan ekonomi, menjadikan sisi inovasi finansial, sebagai salah
satu proposisi utama Schumpter, dapat dengan mudah menjelma menjadi spekulasi.
Seseorang yang dengan inovasi memperoleh keuntungan dalam transaksi pertama
memiliki kecenderungan psikologis untuk berspekulasi pada transaksi kedua.
Faktor psikologis, spekulasi, kepanikan, dan kadang kesembronoan yang menjadi
sifat alamiah dasar manusia inilah yang menjadi salah satu booster dan memperbesar kemungkinan terjadinya krisis.
Lingkaran
(Setan) Sistem Kapital dan (Pseudo) Neoliberal
Kompleksitas
konsep teoritis dan paradigma mengenai hal-hal tersebut kadang membingungkan
dalam memahami secara utuh krisis itu sendiri. Paling tidak ada tiga generasi
teoritis fluktuasi ekonomi sebagai pintu masuk logika untuk memahami sejarah
krisis. Pertama, krisis generasi
pertama yang memahami krisis sebagai fenomena kesalahan manajemen
(mismanajemen) ekonomi makro pemerintah. Contohnya seperti kebijakan hutang
berlebihan (seignorate) yang terjadi
di Amerika Latin pada tahun 1970-an.
Kedua, krisis generasi kedua yang memahami krisis
sebagai bagian dari kepanikan pemegang likuiditas. Spekulasi bahwa pemerintah
tidak mampu mempertahankan nilai tukar mata uang menjadikan pemegang likuiditas
tersebut beramai-ramai melakukan aksi beli mata uang asing yang mnjadikan
kolaps nilai mata uang lokal. Tipikal ini terjadi pada tahun 1980an. Ketiga,
krisis generasi ketiga mengandung kesalingterkaitan antara berbagai sektor baik
mikro maupun makro seperti perbankan (finansial), korporasi (produksi),
pemerintah (regulasi), dan masyarakat (konsumsi). Krisis generasi terakhir ini
sangat kompleks dan saling terhubung yang semakin meningkatkan ketidakpastian
siklus ekonomi. Secara sederhana, relasi dan saling keterkaitan ini.
Skema
diatas (tak terbaca; Adm) memperlihatkan bagaimana setiap
struktur dalam ekonomi makro telah saling terkaitan dan rentan menyebabkan
domino keruntuhan sistem secara keseluruhan. Dalam kasus krisis global tahun
2008, banyak negara memberikan bail out ekonomi untuk mengatasi krisis. Namun
tentu saja ini adalah solusi parsial, kemunculan kembali krisis obligasi di
Eropa menghasilkan kesimpulan stimulus yang dianggap sebagai panacea tak lagi
mujarab dalam mengobati turbulensi yang semakin menghujam tajam.
Salah
satu alasan mendasar kegagalan tersebut tak lepas dari logika pemisahan
institusi politik dan ekonomi sebagai prasyarat wajib neoliberal sebenarnya tak
pernah terjadi. Perkembangan restrukturisasi dan reorganisasi kapital yang
diakomodasi dalam rezim Bretton Wood-Washington Consessus dengan World
Bank-IMF-WTO sebagai regulator utama menghasilkan sistem neoliberal dengan
perangkat-perangkat teoritiknya menjadi arus utama terutama dalam praktek
ekonomi global. Oleh para penganutnya, ketiga institusi ini merupakan syarat
penting untuk menjamin siklus dan proses perdagangan, investasi, dan transaksi
ekonomi bisa berjalan dengannya diharapkan akan berefek pada semakin
meningkatnya pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Namun
kritik terhadapnya juga tidak sedikit. Konsesus yang diklaim sebagai
kesepakatan global terhadapnya dianggap tak lebih dari koersi hegemonik sebagai
kontrol logika untuk melanggengkan imperium dan akumulasi kapital. Bahkan David
Harvey mengatakan bahwa akumulasi ini dilanggengkan oleh negara neoliberal tak
hanya dengan menggunakan logika hegemonik melainkan juga imperialistik dengan
penjarahan capital (accumulation by
dispossession). Disiplin kerja dan iklim bisnis yang baik adalah fatwa
wajib yang harus dipatuhi, negara yang menolak akan diklarifikasikan sebagai
negara gagal dan bahkan berandal. Dengan payung perlindungan ketiga institusi
diatas, institusi keuangan negara-negara neoliberal (ex: departemen keuangan
AS) berkolaborasi dengan institusi finansial (ex: wall street) dan institusi negara neoliberal Eropa dan Jepang
untuk melanggengkan surplus kapital tersebut.
Bias
ini secara tidak langsung berpengaruh pada penguatan ketidakpastian kurva
kapital, mengacaukan harmoni tiga sistem ekonomi kontemporer: liberalisasi
finansial global, deregulasi nasional, dan inovasi produk finansial perusahaan.
Dengan mekanisme nonpasar yang diambil, alih-alih menyembuhkan, malah sekedar
menutupi kerusakan sistemik pasar. Alasan inilah yang kemudian menciptakan
munculnya ketidakseimbangan informasi (asymmetric
information) yang berefek pada distorsi akses dan kapital.
Hal
ini diperparah dengan kecenderungan spekulasi dan perilaku berbondong-bondong (herd behavior) yang semakin menambah
ketidakpastian. Dalam skala yang lebih luas, infomasi asimetris menyebabkan
negara berkembang menjadi pihak yang paling dirugikan dalam proses sistemik ini.
Dalam sistem negara berkembang yang terhubung dengan sistem internasional,
ketergantungan yang tinggi terhadap investasi asing dan perdagangan luar negeri
yang tidak diimbangi dengan payung perlindungan, kerangka kemandirian nasional,
serta jerat peraturan legal menyebabkan ketika krisis terjadi akan dengan mudah
berefek pada berbagai aspek baik itu sosial dan politik. Hal ini pernah terjadi
di Indonesia ketika terjadi krisis ekonomi 1998.
Bubble economy (ekonomi gelembung) yang menjadi salah satu
efek dari liberalisasi dan inovasi finansial global menjadikan perekonomian tak
bisa dipahami secara riil semata. Faktor derifatif memiliki pengaruh yang cukup
penting bagi pelaku, produk, maupun tindakan yang diambil. Dengan konsepsi ini,
indikator makro sering tidak menggambarkan kondisi riil yang sesungguhnya.
Kadang ruang kosong yang ada dalam gelembung tersebut malah merupakan
representasi dari ketimpangan gini dan akumulasi capital yang terbatas pada
golongan tertentu. Dalam akses ruang derifatif yang tertutup, faktor psikologis
spekulatif yang berkelindan dengan sifat kerakusan menghasilkan sebuah ironi.
Ketika resesi terjadi, imbasnya akan berefek pada indikator ekonomi riil yang
kadang tidak mempunyai andil sedikitpun dalam aksi spekulatif tersebut. Mungkin
ekonomi balon inilah penjelasan dari konsep perluasan ruang dari Lavebre (1976,
yang dia sendiri gagal menjelaskan, red) yang merupakan bentuk dari
reorganisasi dan restrukturisasi kapital. Keseimbangan baru yang didapat dalam
kurva sebenarnya juga merupakan keseimbangan semu.
Kembali
ke pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan, indikator yang menjadi basis
data dalam kurva tersebut pada dasarnya tidak terlalu menggambarkan kondisi
yang sebenarnya. Fenomena siklus krisis yang semakin sering dan dengan
intensitas yang semakin mengkhawatirkan menjadi indikator penting terjadinya
ledakan gelembung yang lebih besar. Hal ini diperparah dengan adanya tiga
proyeksi dari para ekonom mengenai penyebab krisis yang akan datang yakni:
harga emas, harga minyak, dan obligasi (surat hutang). Krisis surat hutang saat
ini tengah dialami sebagian besar negara Eropa. Turbulensi politik di timur
tengah menjadikan krisis minyak masih menjadi ancaman utama. Emas juga telah
mulai kehilangan peran sentralnya sebagai instrument investasi safe haven.
Kesimpulan
Ketika
kedua variable di atas digabungkan, maka bukan tidak mungkin ledakan besar
gelembung akan benar-benar berimplikasi pada runtuhnya kurva ekonomi secara
keseluruhan. Untuk saat ini, negara sebagai instrument non-pasar memang masih
memiliki peluang untuk menjaga ledakan ini tidak berlarut-larut. Namun jika
tetap tidak ada perubahan fundamental dalam governance keuangan dan
perekonomian global, maka aka ada dua kemungkinan implikasi. Pertama,
kapitalisme semakin tidak dapat beradaptasi dengan kontradiksi internalnya
sehingga bukan tidak mungkin ramalan mark tentang determinisme historis menjadi
kenyataan. Kedua, sesuai tesis Lenin dan Luxemburg, adaptasi ini dilakukan
dengan praktek (neo)imperialism, akumulasi kapital dengan koersi seperti yang
dilakukan Amerika Serikat di Irak dan Afganistan sekarang ini.
Daftara pustaka:
1. A Prasetyantoko. 2008. Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik. Jakarta. Kompas
2. Bonnie Setiawan. 2012. Rantai Kapitalisme Global; Reorganisasi Fundamental Rantai Pasokan Global. Yogyakarta. Resist Book
3. Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru: Geneologi dan Logika Kapitalisme Kontemporer (terj). Yogyakarta: Resist Book
4. Revrisond Baswir. 2009. Bahaya Neoliberalisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
International Forum on Globalization. 2003. A Better World is Possible (terj), Yogyakarta: CPRC
International Forum on Globalization. 2003. A Better World is Possible (terj), Yogyakarta: CPRC
*)
Disampaikan dalam diskusi rutin tematik MIM (Madrasah Intelektual Muhammadiyah)
Indigenous School pada 2 Desember 2012.
**)
Mantan Kabid Hikmah PC IMM AR. Fakrhruddin Kota Yogyakarta dan tinggal di
Yogyakarta.
0 komentar: