Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Konflik Komunal Lampung Salah Siapa?


Nizar Mohammad
 
Suasana tegang dan mencekam begitu terasa saat bis (milik perusahaan salah satu etnik yang bertikai) yang penulis naiki hendak merepat ke terminal Bakauheni lantaran pertikaian Komunal di Kalianda sejak Minggu hingga Senin—28-20 Oktober, yang menewaskan 14 orang itu. Kali ini Lampung  Selatan sebagai pintu masuk dan keluar Sumatera-Jawa atau sebaliknya kembali dihadapkan pada masalah kekerasan massa yang mengganggu arus lalu lintas antardua kawasan tersebut. Konsekuensinya bukan hanya aktivitas masyarakat Lampung  Selatan yang terganggu, akan tetapi aktiviats sosial dan ekonomi antardua kawasan tersebut terancam lumpuh.

Deretan reklame di sepanjang jalan yang memajang wajah-wajah penguasa kota Tapis ini menjadi tidak ber-tajih ketika konflik antardua kelompok itu terus memakan korban jiwa dan harta. Dengan kata lain, apapun yang menjadi latar belakang pecahnya konflik etnik Kalianda ini ketidakhadiran elit penguasa di lapangan dalam usaha mencegah meluasnya konflik patut dimintai pertanggungjawaban publik.

Sementara Gubernur Lampung, Sjacroedin Z.P berdalih bahwa akar konflik di atas pokok persoalannya adalah program Transmigrasi era Orde Baru, yaitu para pendatang diberikan rumah dan lahan gratis, sementara penduduk pribumi hanya menjadi penonton (TRIBUNLAMPUNG.co.id/01/11/12/09:51 WIB). Pendapat Sjacroedin ini bertolak belakang dengan catatan historis program transmigrasi ketika itu di mana para pendatang terlebih dahulu harus membabat hutan belantara untuk memiliki tanah garapan. Artinya, rumah dan tanah yang diberikan oleh pemerintah tidak dalam bentuk rumah layak pakai dan lahan siap ditaburi benih, tapi untuk bertahan hidup mereka mau tidak mau harus menaklukan alam dan bahkan binatang buas.

Namun, pandangan Sjaroedin di atas dapat dibenarkan juga bahwa program transmigrasi menimbulkan persoalan konflik agraria di kemudian hari, hal ini karena tidak jelasnya kepemilikan tanah. Bagi masyarakat asli, tanah yang digarap oleh para pendatang adalah milik nenek moyang mereka, sementara bagi para pendatang tanah tersebut diberikan oleh negara. Masalah ini menjadi semakin serius pascatumbangnya rezim Orde Baru ketika di satu sisi ketidaktuntasan masalah kepemilikan lahan di atas  dan di sisi lain para pendatang mulai menikmati hasil keringat orang tua atau kakek buyut mereka dari program transmigrasi tersebut.

Berdasarkan ingatan historis masyarakat Lampung, konflik antara masyarakat Bali (pendatang) dengan masyarakat Asli bukanlah konflik baru, tapi dua etnik tersebut ibarat minyak dan air yang sulit untuk didamaikan. Maka, tidak mengherankan jika hanya karena masalah sepele, seperti cekcok mulut di parkiran, kesulut rokok tidak disengaja, atau kenakalan remaja antara dua invidu dari latarbelakang etnik yang berbeda tersebut, dapat berbuntut menjadi pertikaian etnik.

Sementara itu, setiap kali terjadi konflik resolusinya melulu mempertemukan ketua adat dua kubu yang bertikai, menurut saya cara pendekatan ini tidak menyentuh kontradiksi pokok akar persoalan konflik laten di Lampung selama ini. Kontradiksi pokok akar konflik komunal di Lampung disebabkan karena tidak tuntasnya distribusi dan hak kepemilihan tanah oleh rezim Orba antara masyarakat pendatang dan masyarakat asli, kondisi ini menjadi semakin kusut ketika pemerintah pusat melimpahkan dan menyerahkan semua persoalan di daerah pada Pemerintah Daerah (baca: Disentralisasi dan Otonomi Daerah).

Selain itu, wilayah pertahanan dan keamanan yang menjadi wewenang pusat menjadi senjata ampun untuk menutupi kesalahan peran negara dalam mengurusi masalah konflik komunal. Dalam kasus konflik Lampung kali ini, Kepala Kepolisian Daerah Lampung, Brigjen Pol. Jodie Rooseto dicopot oleh pusat karena dianggap gagal menangani keributan antarwarga di Kalianda kali kedua ini.

Sungguh tidak terbayang oleh bapak Jodie itu dimana dia harus meletakkan jabatannya gara-gara keisengan sekolompok pemuda yang mengganggu dua gadis yang baru pulang belanja di Kalianda sana—gadis tersebut jatuh dari motor karena pahanya ditarik oleh salah seorang pemuda dan mengakibatkan luka memar (Lampost/01/12). Tetapi, sekali lagi konflik komunal di Lampung bukanlah masalah “moral,” jadi seribu kali para ketua adat dikumpulkan dan seribu kali jabatan Polda lampung ganti pucuk pimpinan, selama kontradiksi pokoknya tidak pernah disentuh dan dikoreksi ulang oleh pemerintah, maka kejadian sepele antarindividu seperti kasus keisengan di atas hanyalah sebuah api pemantik belaka…sebab tidaklah rasional hanya gara-gara luka memar harus dibalas dengan nyawa, ratusan rumah terbakar, dan ribuan orang harus mengungsi menahan tangis dan lapar yang entah sampai kapan?

Note: tulisan ini murni refeksi penulis selama sekitar satu (1) tahunan menetap di Lampung. Terima kasih atas koreksi pembaca bila pandangan ini keliru dan sangat berterima kasih atas kritik dan sarannya.

Salam Damai Bumi Nusantara.

Tulisan ini direpost dari (notes) Facebook penulis. Penulis merupakan Mantan Kabid IPTEK IMM AR. Fakhruddin dan saat ini menjadi Dosen di salah satu universitas Lampung.

0 komentar: