Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Kuliah Doktoral dan Publikasi di Finlandia

Oleh : Rijal Ramdani (Pegiat MIM Indigenous School)

Untuk bisa lulus S3 di Finland syarat utama harus memiliki publikasi di Jurnal sebanyak 4 artikel. Capture photo di bawah merupakan publikasi co-author PhD pertama saya, di Journal of Land Use Science, Tylor & Francis. Berdasarkan Scimago Jr, termasuk Q1, terindex Scopus, Thomson, dan Social Science Citation Index (SSCI). Alhamdulillah dalam prosesnya, bersama penulis lain saya ikut merumuskan ide naskah awal, judulnya, terjun 4 kali ke lapangan mengumpulkan data, dan ikut menulis di seluruh sub-bagian papernya.

Informasi tentang kewajiban publish 4 artikel untuk PhD di Finland, saya peroleh pertama kali sekitar bulan Mei tahun lalu dari calon supervisor saya, prof. Irmeli, melalui email. Kata dia, dia mau membimbing saya kalau bersedia publish sebanyak 4 artikel. Syarat utama dari kampus 3, tapi khusus di lingkaran tim risetnya, Natural Resources Research Group, harus 4.

Membaca email itu, pikiran saya langsung konek ke Scopus. Otak penuh pertanyaan, apakah bisa? Apakah saya mampu dalam waktu 4 tahun harus publikasi 4 artikel? Bukan kah banyak kolega bilang publish di jurnal Internasional itu susah dan memakan waktu bertahun-tahun? Namun dengan niat ingin belajar, bismillah, maka saya pun membelas email Irmeli itu bahwa saya siap untuk publikasi 4 artikel.

Sampai di Finland, di hari pertama ketemu Irmeli, saat makan siang di kantin kampus, saya langsung to the point, nggak basa-basi. "Irmeli, saya memiliki pengalaman riset di Indonesia, dalam beberapa tahun ini, tapi jujur saya belum pernah publikasi di Jurnal Internasional sama sekali, tolong bimbing dan ajari saya, publikasi 4 berat bagi saya. Saya siap mengikuti seluruh arahanmu. Saya ingin jadi mahasiswa baik dan bisa publikasi". Mendengar itu, Irmeli anteng-anteng aja makan, padahal saya sangat serius. Kebetulan saya tidak berselera makan. Pertama kali cicipi makanan Finland kurang pas dilidah; nanas mentah diblander, dicampur parudan timun, taburi engkol mentah dan tomat cincang, plus roti kering, itulah menu makan siang nya, aneh.

Irmeli pun kemudian merespon, minta saya ketemu dia satu minggu lagi. Kami menjadwalkan pertemuan. Saya pun ketemu dia di ruang kerjanya. Dia menjelaskan bagaimana langkah-langkah saya kuliah, mata kuliah yang diambil, list bahan bacaan wajib, kewajiban conference 4-5 x, sampai akhirnya penjelasan publikasi. Inilah yang paling saya tunggu. Kata dia, Disertasi itu terdiri dari Introduction, Framework, Research Method, Conclusion, plus 4 paper publish. Mengerjakannya dibalik, nulis dulu paper 4 dengan mengacu ke research proposal, baru nanti diakhiri dengan menulis introduction, framework, research method dan conclusion. Irmeli pun ngasih contoh Disertasi senior yang udah jadi, buku tipis tidak sampi 65 halaman, tapi saya check benar saja, ada 4 publikasi di dalamnya, semua di Jurnal ternama Elsevier.

Untuk publikasi PhD ini, 3 paper wajib sebagai penulis pertama, satu boleh sebagai second author, seperti publikasi pertama saya itu. Tapi kalau sebagai second author, kita harus menjelaskan dibagian mana sajakah kita memberikan kontribusi dalam penulisan paper itu. Makanya saya di atas jelaskan detail. Menulis paper tidak harus dengan supervisor, bisa dengan siapa saja, silahkan, bebas. Supervisor, sekalipun membimbing, mengarahkan, bahkan membantu dengan detail arah tulisan paper kita, tapi kalau dia tidak ikut menulis, maka mereka tidak mau untuk dicantumkan namanya. Ini ethicnya dalam authorship di Finland. Rsearch ethics mata kuliah wajib. Mereka, supervisor, mau dimasukan namanya, kalau ikut menulis sebagaimana kita menulis. Misal, dalam paper kedua saya, yang sudah disubmit 1,5 bulan lalu ke Forest Policy and Economics, Elsevier, Irmeli membimbing, memberikan masukan, bahkan sampai ikut mengedit kalimat tulisan saya yang kacau di bagian conclusion. Tapi Irmeli tidak mau dimasukan sebagai co-author. Kata Dia, ini bagian dari kewajiban dia sebagai pembimbing. Kalau mau masukan namanya, dia harus ikut memberikan ide awal dan ikut menulis seperti saya. Ini patut dicontoh oleh kita yang muslim, malu, sekularisme sudah mampu membangun etical justificationnya.

Selanjutnya, Irmeli menekankan untuk publish hanya di Jurnal yang masuk list JUFO. Di Finland untuk mengukur kualitas jurnal menggunakan peng-index JUFO namanya, indexing milik Finland sendiri. Ranking nya mulai 1 - 3, dari terendah ke tertinggi. Rankingnya JUFO ini lebih tinggi dibanding Scimago Jr, milik Elsevier. Misalkan paper co-author pertama saya itu, berdasarkan Scimago Jr termasuk Q1, tapi di JUFO levelnya hanya 1. Beda dengan paper Ke-2 yang sudah disubmit ke Elsevier itu, walaupun sama-sama Q1 berdasarkan Scimago Jr, tapi di JUFO levelnya 2, karena H-index nya jauh lebih tinggi. Di kampus saya, University of Eastern Finland, tidak boleh publish di Jurnal yang tidak masuk list JUFO walaupun terindex scopus atau web of science. Biasanya yang masuk dilist JUFO adalah jurnal-jurnal di database Elsevier, Tylor & Francis, dan Willey Online Library. Kalau PhD ingin cumlaude, harus bisa publish di jurnal level 3 berdasarkan JUFO. Dalam bidang saya yang masuk level 3, saya check baru nemu 2, yaitu World Development, Elsevier, chief editornya Arun Agrawal dan Journal of Peasant Studies, Tylor & Francis, Chief editornya Borras Jr. Kedua-duanya Jurnal kelas berat. Irmeli punya publikasi di World Development. Sekelas Policy Studies Journal (PSJ) aja masih level 2.

Untuk bisa publish tentu tidak mudah. Tapi kita tidak boleh pesimis dan apatis. Yang diperlukan adalah keinginan untuk belajar dan terbuka untuk menerima kebenaran baru. Alhamdulillah di kampus, saya mendapatkan fasilitas untuk belajar publikasi itu. Mata kuliah seperti sudah disetting bagaimana supaya mahasiswa PhD bisa publish. Misal, mata kuliah English for Doctoral Students, fokus mengajarkan bagaimana menggunakan dan memainkan grammar untuk abstract, introduction sampai conclusion saat menulis paper. Begitupun mata kuliah "How to Write an Internasional Article", dipandu seorang professor, guess editor Scandinavian Journal of Education Research, mengarahkan cara membangun logika paragraph per paragraphnya dari mulai Intro sampai Conclusion. Ditambah dengan mata kuliah "Research Publication", yang langsung mendatangankan Chief Editor dan Reviewer Journal. Mereka menjelaskan bagaimana kriteria penilaian journal-journal di Elsevier dalam menerima atau menolak suatu naskah. Gimana menulis cover letter, dan bahkan gimana cara menjawab komen dari reviewer saat kita harus merevisi.

Ditambah dengan professor pembimbing yang sangat-sangat akomodativ, membantu, benar-benar mengarahkan, super sabar menghadapi manusia kaya saya yang kadang lambat paham. Professor di Finland pasti punya seabreg publikasi. Mereka rata-rata guess editor di jurnal-jurnal terkemuka. Kalau menulis bareng dengan mereka, kita belajar banyak. Kalau tidak menulis dengan mereka, mereka tetap akan sabar mengarahkan. Saya nyaman dalam hubungan dengan professor di sini, penuh persahabatan, santai, bahkan sudah seperti ibu sendiri. Tapi orang Finland kerjanya santai, tidak terburu-buru, tenang dan harus fokus. Tidak boleh mengerjakan paper dua bersamaan, tidak boleh nulis atau baca hari Sabtu atau Minggu, karena Dua hari itu wajib Liburan. Orang Finland hanya bekerja saat jam kantor dan hari kerja saja. Kerjanya sangat efektif & efisien, gajinya besar. Makanya mungkin kenapa mereka termasuk Negara yang bahagia.

Sebagai penutup, saya termasuk yang mendukung dengan Publikasi di Jurnal Internasional, terindex Scopus, Thomson, atau SSCI. Pertama, ini trend dunia saat ini. Saya betul-betul merasakan dalam dunia akademik di Eropa atau Nordic countries khususnya, reputasi seorang ilmuan dilihat dari publikasinya. Kalau ada yang bilang publikasi ini sebagai jerat kapitalisme, komersialisasi, bla-bla, terus alternative lain untuk mengkomunikasikan temuan dan ide kita dengan ilmuan lain di bidang kita di dunia ini harus melalui apa? Kalau mahal akses? Elsevier, Tylor & France, dan Willey Online Library ngasih kesempatan Green Open Access. Bisa kita gunakan. Atau melalui researchgate.com, tahun 2016-2017 saya sering minta paper ke professor-professor terkemuka, mereka ngasih, cepet responnya.

Kedua, berbeda dengan buku, publikasi di Jurnal ada quality control dan ada discussionnya. Paper kita akan direview oleh ahli di bidang Ilmunya untuk diterima atau ditolak. Kalau tidak memberikan kebaruan, tentu akan ditolak. Kalau masih ada kekurangan, harus direvisi berkali-kali misalkan, ada proses kehati-hatian dan ada proses belajarnya. Paper co-author PhD pertama saya itu diriject 1x, lalu pindah ke journal Land Science itu, revisi 4 x selama 9 bulan, baru publish. Saya bersyukur, karena reviewernya betul-betul mengarahkan, memberikan bahan bacaan, dan mengoreksi detail bahasanya. Ini proses belajar. Kalau menulis buku, bagaimana quality controlnya? Siapa yang review? Gimana kalau apa yg kita tulis itu salah misalkan? Dalam ilmu sosial efeknya mungkin tidak langsung. Tapi dalam ilmu kedokteran, kalau informasi yang penulis sampaikan salah, bisa berakibat fatal, menyangkut nyawa pasien. Saya ikut nulis 2 buku, terbit tahun 2017 & 2018. Terbit aja ber ISBN, nggak ada proses review. Padahal kadang dalam menulis saya nggak yakin apa yang saya tulis benar. Tentu kalau bukunya terbit di Routledge atau Springer, ada proses peer-review-nya.

Ketiga, saya mengamati, menelaah, buku-buku yang terbit di Routledge atau Springer itu biasanya ditulisan oleh banyak orang, mereka hanya menulis 1 atau 2 chapter saja, sendiri atau bareng-bareng. Mirip seperti di Jurnal dalam Special Issue. Adapun ilmuan-ilmuan besar, hari ini (beda dengan filsup masa lalu ya), yang menulis buku, itu rata-rata dilakukan setelah mereka berkali-kali atau berpuluh kali menulis di Jurnal berdasarkan research-research empiris mereka di belahan bumi. Barulah setelah merasa kuat basis empirisnya, mereka menulis buku, sebagai model atau teori umum yang mereja bangun. Dalam bidang saya misalkan, ada Emerson yang nulis buku "Collaborative Governance", coba check berapa puluh article yang dia tulis, baru dia nulis buku. Ostrom nulis "Governing the Commons", saya kumpulkan artikelnya di Journal hampir seratus. Jesse Ribot nulis buku "Responsive Natural Resource Initiative", saya koleksi hampir 60 an artikel yang dia tulis, baru nulis buku.

Keempat, nulis artikel di jurnal dianggap exclusive tidak bermanfaat langsung terhadap masyarakat. Apakah betul? Kita lihat dalam Ilmu Kedokteran, seperti kanker, dll. Dokter-dokter spesialis melakukan treatment, tindakan medis terhadap pasien mengacu pada temuan-temuan terbaru di jurnal-jurnal bidang kesehatan. Dalam Ilmu Teknologi pangan, pertanian, dll, industri mengacu pada temuan-temuan ilmuan. Saya merasakan saat kuliah di sini, professor saat memberikan penjelasan pasti acuannya artikel di jurnal-jurnal bereputasi, baik tulisan dia atau tulisan orang lain. Bahkan professor bahasa inggris saja, saat menjelaskan hal sepele penggunaan grammar, argumennya berdasarkan hasil riset yang publish. Mungkin di kita di Indonesia, budayanya masih belum terbangun, penjelasan yang disampaikan oleh kita sebagai dosen ke mahasiswa lebih banyak cerita pribadi dibandingkan dengan mengacu ke hasil riset ilmiah. Begitupun kehidupan kita, lebih banyak dipandu informasi hoax di sosial media, dibandingkan hasil kajian ilmiah. Padahal peradabaan yang agung dalam setiap pase sejarah umat manusia itu lahir dan basisnya ilmu pengetahuan.

Terakhir, saat beberapa kali muncul tulisan di media masa nasional yang mengkritik tentang publikasi di jurnal Internasional, professor saya di jurusan, Ahmad Nurmandi, bilang "Coba check, orang yang kritik itu, lihat mereka punya publikasi atau tidak", di group WA dosen se kampus. Awalnya saya merasa, songong banget nih prof Nur, ngece. Saya buktikan, ternyata sang pengkritik di media masa itu benar tidak punya publikasi internasional. Bahkan satu-satunya paper dia dalam bahasa inggris, terbit di conference proceeding, refensinya website, termasuk wikipedia. Saya pensaran, check pengkritik lain, ternyata benar, tidak punya publikasi. Padahal kritik mereka diamini dan dielu-elukan oleh kita yang belum mau mencoba keluar dari zona nyaman. Apa salahnya mencoba dan belajar? Mohon arif untuk tidak mematahkan semangat kaum muda Indonesia yang ingin belajar publish. Mohon didoakan jangan dipatahkan semangatnya. Wallahu a'lam.

Finland, Midd-Summer 22 Juni 2019

Repost dari akun Rijak Ramdani (klik)




0 komentar: