Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Perlu Kajian Mendalam Menuju Kemaslahatan*




Ari Susanto

Pegiat MIM Indigenous School; 

Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam



Dengan adanya Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, mengamanahkan pemerintah provinsi untuk mengambil alih pelaksanaan tugas pendidikan menengah. Pelimpahan penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menengah kepada pemerintahan provinsi, yang sebelumnya dilaksanakan oleh kabupaten/kota, membuat Dewan Perwakilan Daerah (DPR) harus membuat peraturan daerah (perda) baru sebagai acuan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensi atas pengalihan tugas diatas, terjadi konversi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kabupaten/kota ke provinsi, kini menjadi beban provinsi dan mengurangi beban kabupaten/kota.
Untuk menguji ke komperhensifan rancangan perda, DPRD DIY menggelar workshop naskah akademik dan raperda pendidikan menengah (28/9), dengan menghadirkan presenter, peserta dari pendidik dan organisasi masyarakat serta Lembaga Ombudsmen (LO) DIY. Penulis mencatat banyak kelemahan dalam rancangan peraturan tersebut, seperti misalkan data kondisi pendidikan DIY, sehingga diperlukan penyempurnaan untuk pembahasan berikutnya, sebelum di ketok menjadi Peraturan Daerah.


Kondisi Pendidikan kini

Sebelum membuat peraturan, diperlukan kajian mendalam yang tertuang dalam naskah akademik. tujuannya sebagai acuan untuk membuat peraturan, naskah akademik setidaknya harus memuat gagasan tentang urgensi peraturan, pendekatan, ruang lingkup dan materi. Karena ada muatan yang jelas terkait dengan visi pemerintahan DIY, yaitu menjadikan DIY sebagai pusat pendidikan, kebudayaan dan pariwisata pada tahun 2020. Sehingga kajian mendalam yang diperlukan yaitu membaca kondisi pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan DIY sampai saat ini. setidaknya permasalahan yang terbaca sampai saat ini terkait dengan kesenjangan.


Pertama, terkait dengan pemerataan pendidikan. Sebaran pendidikan menegah menurut data statistik DIY, jika di lihat dengan pendekatan wilayah kesenjangan ini nampak jelas, pemerintah Kota dengan luas wilayah yang 32,5 km2  memiliki 56 Sekolah Menengah, sedangkan kabupaten KulonProgo dengan luas 586,27 km2 memiliki 19 sekolah menengah. Telah nampak kesenjangan pembangunan antara di ibu kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo.  Seharusnya, untuk menjadikan pusat pendidikan sesuai dengan misi pemerintahan DIY, kesenjangan jumlah sekolah seharusnya tidak terlalu jauh. Untuk itu di perlukan peraturan yang jelas, mengakomudir daerah-daerah yang ada.

Kedua, terkait dengan soal mutu pendidikan. untuk mendukung visi pemerintahan DIY maka mutu pendidikan di DIY harus seimbang. Mulai dari pembangunan, sarana, prasarana, tenaga kependidikan harus seimbang dan merata memiliki standar pelaksanaan yang sama. Saat ini masih terlihat, kualitas mutu di DIY masih jauh. Semakin sekolah berada jauh dari pusat kota maka yang terjadi adalah fasilitas, sarana, dan prasaranan semakin memprihatinkan dan tidak memenuhi standar pendidikan, beda dengan sekolah yang berda di kota atau dekat dengan kota, bahwa sarana, prasaranan dan fasilitas memenuhi standar pendidikan.


Ketiga, terkait dengan relevansi. Pendidikan menengah apakah memberikan relevansi atas pembangunan tarah hidup, keterserapan di dunia kerja, kemandirian (enterprenuership), pengembangan ilmu pengetahuan, keterserapan di perguruan tinggi dan lain sebagainya. Misalnya, Lapangan kerja di DIY yang cenderung kecil, membuat dasa saing semakin besar dan menimbulkan pengangguran. Oleh sebab itu sekolah harus menghadirkan dan mengantarkan siswa membaca peluang masa depan.



Aspek Dasar

Ukuran dasar peraturan harus memuat tiga nilai dasar hukum manfaat, kepastian dan keadilan. Pertama adalah kemanfaatan,  peraturan harus memberikan aspek kemanfaatan bagi masyarakat luas, menghindari adanya diskriminasi serta marginalisasi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Sehingga aspek kemanfaat harus di dapat oleh semua stakeholder (pemangku kepentingan), pemerintah, dinas, sekolah, guru, masyarakat, lembaga dan lainnya. Misalnya kekurangan dalam raperda adalah, tidak terakomodasinya Madrasah Aliyah dalam pemaknaan pendidikan menegah, Pendidikan masih bersifat eksklusif, mengesampingkan anak berkebutuhan khusus.


Kedua, kepastian hukum. Kepastian ini mengandung kejelasan dan kerasionalan. Kejelasan diartikan tidak menimbulkan keragu-raguan ataupun multi tafsir. kerasionalan dapat diartikan menjadikan suatu norma dengan yang lainnya tidak bertentangan ataupu benturan yang kemudian akan menimbulkan ketidak pastian. Dalam raperda itu, yang menjadi ketidak pastian adalah belum adanya pemberi sangsi dan sangki apa yang diberikan saat sekolah melanggaran peraturan. Misalnya lagi, terkait dengan penggolongan siswa tidak mampu dan berprestasi . Tidak diberikan ukuran/ indikator yang jelas tentang siswa yang tidak mampu, dan siswa yang berprestasi dalam apa. Dalam konsideran juga, kurangnya merujuk pada peraturan yang terkait, sehinga ini akan menimbulkan tumpang tindih hukum.


Ketiga, keadilan. Keadilan menjadi filsafat hukum, bahwa hukum harus membawa keadilan, Untuk itu peraturan harus menampilkan sisi keadilan. Keadilanan harus meletakkan dengan jelas posisi hak dan kewajiban, sehingga tidak ada yang dirugikan dengan adanya peraturan.


Dengan berbagai kekurangan dan kelemahan, Raperda pendidikan menegah DIY sebelum disahkan menjadi perda, harus menjadi peraturan yang komperhensif. Sehingga perda nantinya akan membawa kemaslahatan (kebahagiaan) bagi semua warga negara, dengan kepastian hukum dan mengedepankan keadilan dalam dunia pendidikan. peraturan komperhensip adalah yang mampu memfasilitasi setiap warga negara danpa adanya diskirminasi.


*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bernas Jogja (01/10/2016), dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

 NB: Gambar utama diambil dari sini

0 komentar: