Menyoal Penyelenggaraan Pendidikan*
Ari Susanto
Pegiat MIM Indigenous School;
Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam
‘Mencerdaskan
kehidupan bangsa’ yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pokok
pemikiran orisinil dari pendiri bangsa. Pokok fikiran tersebut merupakan
kesadaran akan masa depan pemerintahan negara Indonesia. Sehingga dapat kita
tangkap bahwa sesungguhnya para pendiri bangsa ini, berkeyakinan kuat bahwa
dalam mengisi pemerintahan Indonesia selanjutnya dibutuhkan para generasi
bangsa yang cerdas. Cerdas dalam fikir, moral, spiritual dan memiliki karakter
keindonesiaan agar mampu membawa kemajuan negara Indonesia.
Dalam
‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dilakukan berbagai upaya dan cara untuk
mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satunya fondasi tersebut adalah
yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31. Untuk menjamin setiap
warga negara dalam mengakses pendidikan, maka pemerintah membuat program wajib
belajar yang dalam penyelenggaraannya dibiayai oleh negara. Bahkan untuk
menyukseskan penyelenggaraan dalam dunia pendidikan pemerintah menjanjikan
sekurang-kurangnya 20% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
Republik Indonesia, dan serta Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Fikiran orisinil yang merupakan cita-cita kebangsaan itu, hingga saat ini memiliki catatan hitam yang tak kunjung usai. Berdasarkan diskusi oleh berbagai stakeholder pendidikan, saya menyimpulkan dunia pendidikan kita telah tercoreng oleh perilaku para pemangku pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Bukti catatan hitam ini dapat kita saksikan, misalnya berdasarkan data aduan dan laporan ke Lembaga Ombudsmen DIY tahun 2015, di bidang pendidikan tercatat sebesar 13,15 % (Persen), persentasi ini tertinggi di bandingkan dengan aduan di bidang lainnya, seperti kesehatan dan sosial.
Penyimpangan
Berdasarkan
hasil diskusi, survei, dan aduan seputar pendidikan setidaknya ada beberapa
persoalan yang saya tangkap akibat dari pelaku pendidikan yang tidak
bertanggung jawab yaitu pertama, sekolah
berperan sebagai pembisnis. Sekolah yang selayaknya mendidik dan mengajar, kini
menambah perannya sebagai pembisnis. Misalnya, pihak sekolah memanfaatkan momen
tahun ajaran baru untuk mengkordinir pembuatan seragam sekolah. Kemudian, pihak
sekolah memperjual-belikan bahan ajar, seperti buku yang tidak tersetandar oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan. Perilaku bisnis ini tidak dibenarkan sesuai
dengan permendikbud no 17/2010 pasal 181 huruf (a).
Kedua,
Pungutan. Sekolah melakukan kegiatan penambahan beban biaya sekolah dengan
mengadakan pungutan. Pungutan disini diartikan penerimaan biaya pendidikan baik
berupa uang dan / atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal
dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib,
mengikat, serta jumlah dan jangkauan waktu pungutannya ditentukan oleh satuan
pendidikan dasar (UU No. 44/2010). Sedangkan program wajib belajar sudah di
dukung oleh berbagai program pembiayaan seperti Bantuan Oprasional Sekolah
(BOS) dari Pusat hingga Daerah I dan II, dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Ketiga,
Penahanan Ijazah. Ijazah merupakah sertifikat peserta didik atas hasil
pelaksanaan pendidikan di satuan pendidikan, yang kelak digunakan sebagai sarat
adminitrasi seperti untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau
untuk melamar pekerjaan. Penahanan ijazah kepada masyarakat miskin dan kurang
mampu tidak dibenarkan oleh UUD 1945. Masih saja terjadi penahanan ijazah oleh
pihak sekolah akibat ketidak mampuan membayar biaya pendidikan yang dibebankan
sekolah.
Ketiga
temuan penyimpangan penyelenggaraan pendidikan diatas dapat kita analisa
sebagai berikut, pertama, kurangnya
pemahaman masyarakat dan sekolah dalam memahami secara utuh peraturan-peraturan
pendidikan. Kedua, kurangnya
pengawasan dan kontrol dari pemangku kebijakan. Ketiga, tidak adanya sanksi tegas atas pelanggaran diatas.
Formulasi Penanganan
Sebagai
upaya untuk mengembalikan di jalur yang benar jalan penyelenggaraan pendidikan,
maka di butuhkan kepedulian stakeholder
(pemangku kepentingan) dalam mengawal penyelenggaraan pendidikan. Oleh sebab
itu dibutuhkan formulasi penanganan peneyelenggaraan pendidikan sebagai
berikut. Pertama, dibutuhkan pemahaman seluruh stakeholder akan peraturan pendidikan. Misalnya terkait dengan
ketiga penyimpangan diatas di butuhkan pemahaman akan UUD 1945 pasal 31 tentang
pendidikan, UU No. 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU
perubahannya, PP No. 17/2010 dan perubahan melalui No. 66/2010 tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. PP No. 8/2008 tentang pendanaan
pendidikan serta Permendikbud no. 44/2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya
pendidikan. Jalan dalam memahami peraturan menjadi faktor utama dalam
menjalankan penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan.
Kedua,
Pengawasan dari stakeholder (pemangku
kepentingan). Setelah memahami aturan yang ada langkah selanjutnya adalah
pemangku kepentingan saling memberi pengawasan sehing meminimalisir terjadinya
penyimpangan oleh berbagai pihak. Sekolah hendaknya di kontrol oleh masyarakat,
orang tua, komite, dewan sekolah, lembaga swadaya masyarakat dalam mengawal
penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga dibutuhkan formulasi sinergisitas
stakeholder dalam mengawal
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Ketiga,
pemberian sanksi yang tegas bagi pelaku yang terlibat dalam melakukan
penyimpangan. Ketika tersangka diberikan beban sanksi yang ringan maka akan
melanggengkan para mafia pendidikan. Serta akan dimungkinkan melakukan hal yang
sama dengan cara yang lebih baru dan canggih lagi dalam operasinya.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bernas Jogja (17/10/2016), dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.
NB: Gambar utama diambil dari sini
Mantep,,Ari Susanto...lanjutken
BalasHapusMantep,,Ari Susanto...lanjutken
BalasHapus