Gerakan Sosial: Dialektika Spasial dan Produksi Harapan
Fauzi Fashri*)
PEMBUKA
Sejatinya, mereka yang aktif di gerakan sosial mengabdikan diri untuk
kehidupan yang lebih baik. Kalau melihat, kemungkinan untuk menjadi lebih buruk
juga ada. Ada banyak gejolak yang muncul, orang jengah tetapi bukan berarti
mereka apolitis. Mereka membuat metode sendiri untuk melakukan aksi protes
karena mereka jengah dengan lembaga negara yang tak lagi mampu mengatasi
persoalan rakyat. Mereka malas menunggu. Ini tantangan buat gerakan sosial yang
akan memahami artikulasi rakyat. Dengan segala keterbatasan ini gerakan sosial
harus memutuskan langkah yang paling baik. Bentuknya seperti apa kita belum
tahu. Karena masih terlalu pagi untuk menyimpulkan hal ini untuk bisa menjadi
titik pijak bergerak. Masih banyak seminarnya daripada gerakannya.
TITIK PIJAK
Dua hal penting yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan gerakan
sosial di Indonesia: (1) Ekspansi kapital dalam konteks
kompleksitas global; (2) Perubahan politik setelah pemilihan presiden 2014.
Poin pertama bersifat jangka panjang dan membawa pengaruh yang mendalam,
sementara poin kedua masih bersifat potensial dan pengaruh sesungguhnya masih
harus dibuktikan. Keduanya pada titik tertentu akan berkait-kelindan saling
mempengaruhi dan membentuk konteks bagi gerakan sosial.
Imajinasi gerakan sosial selama ini dibentuk oleh berbagai prinsip ideal
sementara dalam praktek perkembangannya dibatasi oleh pergulatan kuasa yang
sangat konkret. Jarak di antara keduanya membuat narasi gerakan sosial melulu
soal kekalahan/kegagalan dan kekurangan. Diperlukan perangkat konseptual
berbeda untuk memahami tempat gerakan sosial dalam pergulatan kuasa yang sangat
konkret. Pembedaan gerakan sosial dalam arena civil society dan political
society adalah langkah awal yang berguna.
ALAT BACA GERAKAN
Pertama, Gersos
sebagai Produksi Ruang (Pemikiran Henri Lefebvre). Henri Lefebvre merupakan
salah seorang filsuf kiri Prancis yang penting walau tidak sepopuler filsuf
Marxis di masanya seperti Althusser, Adorno, Benjamin, Marcuse, Heidegger,
Habermas atau Debord. Lahir di 1901 dan meninggal di tahun 1991, Perhatian
Lefebvre pada ruang-ruang sosial berawal dari keterlibatannya dengan gerakan
Situasionist International dalam perlawanan terhadap rezim Charles De Gaulle di
Paris yang berujung pada peristiwa Paris Riot di bulan Mei 1968. Lefebvre
banyak melakukan analisis terhadap kegagalan aksi massa tersebut. Menurutnya,
akses massa terhadap ruang-ruang kota menjadi kunci dari kegagalan itu. Itulah
awal pemikiran “The Right to the City”, yang kemudian melahirkan “The
Production of Space (1991)”.
Titik tolak yang penting dari “The Production of Space” adalah
kontribusi atas satu aspek yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Marxis,
Strukturalis dan bahkan oleh Marx sendiri. Yaitu peran ruang, peran
spasialisasi dalam kehidupan manusia dan bagaimana perebutan wacana yang
terjadi di dalamnya. Jika Marx berbicara mengenai relasi produksi dan akumulasi
kapital, maka itu semua tidak dapat berlangsung tanpa adanya ruang. Relasi
produksi itu sendiri juga menciptakan ruang yang khusus diperuntukkan baginya.
Kapitalisme bahkan lebih jauh lagi, menjadikan ruang sebagai sarana dari
akumulasi kapital. Misalnya tanah dan bangunan sebagai asset. Relasi sosial
menciptakan ruang, akan tetapi yang lebih penting bagi Lefebvre adalah melihat
bahwa ruang sosial adalah produk sosial. Ruang sosial memiliki logika yang
panjang untuk menjelaskan dirinya sendiri. Lefebvre menjelaskan,
“(Social) space is a (social) product … the space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of domination, of power; yet that, as such, it escapes on part from those who would make use of it. The social and political (state) forces which engendered this space now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has forced spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now strives to run it into the ground, then shackle and enslave it.” (1991, 26-27)
Secara sosial, ruang menjadi sarana untuk meraih dan menciptakan
kontrol. Ruang dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sarana pemikiran dan
tindakan, yang koheren sifatnya dengan upaya kontrol dan dominasi dalam relasi
produksi Marx. Dalam pengertian ini ruang diproduksi sedemikian rupa untuk
melanggengkan kekuasaan dan menciptakan dominasi. Ruang yang kemudian
diproduksi secara fisik oleh gersos tidak akan mungkin mewujud tanpa adanya
gagasan dan sketsa akan gersos. Relasi antara gagasan terhadap ruang dengan
praktik spasial merupakan sebuah kontinuum tempat historisitas manusia
direproduksi terus-menerus (melalui praktik spasial dan relasi sosial) sebagai
konstruksi sosio-historis. Hal inilah yang Lefebvre maksud sebagai relasi
antara Perceived, Conceived dan Lived Space. Gersos akan selalu diproduksi dan
memproduksi ruang sosial mengikuti konstruki sosio-historis manusia.
Kedua, Gersos
dalam Kajian Global Civil Society. Graeme Chesters, dalam papernya
Global Complexity and Global Civil Society [International Journal of Voluntary
and Nonprofit Organizations (2004)], mencoba menekankan keterkaitan antara
gerakan sosial dengan kompleksitas global dimana menurut pandangan Chesters,
gersos merupakan efek dari kompleksitas global itu sendiri. Gersos berpotensi
dalam memperkuat proses demokrasi yang terjadi di suatu negara yang berasal
dari ketidakpuasaan terhadap kelas-kelas politik dalam proses perpolitikan di
suatu negara yang kemudian diperparah oleh perubahan komposisi dan bentuk
masyarakat sipil yang telah terbentuk dengan baik.
Keterkaitan gersos dengan proses demokrasi suatu negara menurut Chester
dapat menghasilkan dua hal, yaitu 1) kapasitas dari organisasi masyarakat sipil
untuk mengasimilasi arus konflik dengan bentuk pseudo-states berkurang sehingga
menimbulkan penurunan legitimasi norma sosial oleh masyarakat sipil; 2)
Munculnya kesempatan atau peluang baru dari ekspresi politik bahwa tantangan
pemerintah sebagai lokus kekuasaan dan mencari cara lain. Termasuk dalam hal
ini ialah aksi secara langsung, alternatif self-organized, serta kampanye dan
jaringan di tingkat lokal, nasional, bahkan ekstranasional. Selanjutnya adalah
kupasan bagaimana keterkaitan antara negara dengan gersos dan globalisasi. Ide
yang menyatakan bahwa negara bangsa merupakan unit organisasi utama dari
kehidupan politik dan ekonomi telah menyebabkan adanya pertumbuhan ekstra
nasional badan administratif, korporasi transnasional, liberalisasi arus
kapital dan investasi. Hal ini kemudian membawa kepada suatu pendapat yang
disimpulkan bahwa “global networks”, “scapes”, dan “flows”, seharusnya menjadi
fokus utama dari investigasi dalam ilmu sosial sebagai “arsitektur sebenarnya
dari ekonomi global yang baru”. Pendapat ini menandai konsepsi gersos sebagai
penyaluran impuls konfliktual terhadap resolusi di dalam struktur negara dan
awal pembukaan dari beberapa jalan dan kesempatan yang akan digunakan untuk
melaksanakan hubungan konfliktual, termasuk target perusahaan dan sistem
internasional pemerintahan, alternatif kemungkinan dari self-organized
(Chesters, 2004: 4-5).
Impilkasi dari prespektif ini ialah bahwa harus dilihat konteks dari
luar negara pada proses interaksi jaringan antara aktor negara dan non-negara.
Hal ini tidak berarti bahwa negara tidak lagi penting, melainkan harus
mempertimbangkan lembaga-lembaga politik nasional dan ekstra-nasional,
perusahaan, dan aktor-aktor gersos yang menghasilkan efek yang “global.”
Kondisi kemudian memberikan tantangan bagi gersos maupun aktor-aktor lainnya
untuk mengkampanyekan dan memobilisasi isu lintas sektoral.
Gersos dalam melakukan gerakan-gerakannya –dalam pandangan Chesters-
dapat dikatakan sebagai suatu gerakan yang ‘antagonis’ atau gerakan menentang
(Chesters, 2004: 6). Menurut Melucci (dalam Chesters, 2004: 7) gerakan
antagonis ini secara teoritis merupakan gerakan yang menentang dalam produksi
sumber daya masyarakat dengan cara yang paling mendasar, tidak hanya dalam hal
alokasi sumber daya, tetapi dalam sifat dasar, distribusi produk mereka dan
pertukaran. Kemunculan dari apa yang disebut oleh Chesters dengan gerakan
antagonis ini merupakan sebuah ekspresi dari sebuah konflik mendasar atas
bentuk produksi dan distribusi sosial, ekonomi, dan ekologi barang (Chesters,
2004: 7). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gersos yang antagonis tersebut
terhubung kedalam struktur afinitas global melalui interaksi sosial yang intens
selama periode sekitar terjadinya suatu peristiwa protes yang sedang mereka
lakukan.
Gersos dengan tipikal antagonisnya telah menggunakan metode yang
inklusif-organisir, pola-pola pluralistik dari intervensi dan menargetkan
organisasi-organisasi atau institusi, kejadian, dan situasi yang memiliki
dampak global yang kemudian memiliki resonansi untuk melakukan gerakan sosial
secara global. Hal inilah yang menjadikan kompleksitas global memunculkan
gersos dalam kerangka masyarakat sipil global melalui gerakan-gerakan yang
mereka lakukan. Terdapat satu poin penting mengenai kompleksitas global dan
masyarakat sipil global yang disebut sebagai “plateux movements” (Chesters,
2004: 11). Gerakan plateux ini sendiri merupakan forum sosial, pertemuan
para grassroots dan peristiwa protes global dimana isu kepemimpinan,
pengambilan keputusan yang demokratis, dan bentuk organisasi menjadi suatu isu
yang dikedepannkan. Hal ini merupakan saat-saat untuk mereproduksi ruang
gerakan sosial guna mendefiniskan dan mengintregasikan perjuangan heterogen
dalam rubrik masyarakat sipil global.
Ketiga, Gersos
sebagai model resistensi (perspektif Gramscian). Secara umum, para teoritis
Gramscian membedah dua model gersos yang saling berkebalikan dalam sistem
global –merujuk pada Laclau & Mouffe: The Radical Democratic Imajinary
(Routledge: 1998); dan Ernesto Laclau: On Populist Reason (Verso: 2005)–. Model
pertama menyatakan bahwa gersos merupakan kooptasi dari hegemoni kapitalis dan
elit politik yang cenderung mendukung kepentingan kepentingan hegemonik dengan
mendistribusikan nilai–nilai yang ada pada neoliberalisme. Model kedua yaitu
melihat gersos sebagai infrastuktur untuk melakukan resistensi terhadap
kekuasan hegemonik yang ada.
Model pertama menyatakan bahwa proyek politik neoliberalisme
terepresentasikan dari adanya konvergensi negara dan aktor-aktor global,
termasuk perusahaan transnasional (TNCs) dan organisasi pemerintah
internasional. Alasan ini didasari oleh adanya kenyataan yang terlihat pada era
neoliberaslisme, dengan dukungan dari Amerika Serikat sebagai negara yang
dominan, serta sejumlah negara lainnya, antar negara, dan aktor non-negara
(seperti Uni Eropa, WTO, WB, dan IMF) mereka pada akhirnya membentuk blok
bersejarah, yang tidak diragukan lagi telah mengkooptasi organisasi besar dalam
masyarakat sipil global, dan menggunakan mereka untuk mempromosikan agendanya
di bawah dalih keterbukaan mereka. Model kedua gersos adalah yang memungkinkan
adanya kepemimpinan dan gerakan dari bawah. Kemudian juga didukung dengan
adanya kebutuhan bersama yang digerakkan melalui kesadaran dan akhirnya berujung
pada perubahan radikal. Pada akhirnya, hegemoni memerlukan kontra-hegemoni,
hegemoni dan kontra-hegemoni tersebut paling baik dilihat sebagai “gerakan
ganda simultan” yang saling memberikan timbal balik satu sama lain membentuk
hegemoni dalam bentuk kontra-hegemoni, dan kontra-hegemonik menyebabkan upaya
kekuatan hegemonik untuk kembali menyelaraskan dan mereorganisasi diri. Gerakan
sosil merupakan sebuah ruang kreatif, di mana kelompok subaltern, didorong oleh
para intelektual, dapat menyatu, membentuk blok bersejarah, dan terlibat dalam
perang kontra-hegemonik posisi untuk mengubah struktur ekonomi-politik.
Beberapa kondisi perlu muncul untuk mewujudkan tujuan ini, yakni: organisasi,
ideologi, dan implementasinya.
ARTIKULASI TEORI
Pertama Spatial
Fix dan Politik Kelas. Krisis ekonomi global mendorong kapital melakukan
spatial fix yakni menyelesaikan krisis dengan ekspansi secara geografis
merambah daerah baru untuk menjaga tingkat keuntungan. Proses ini berlangsung
secara brutal di seluruh dunia – gejala global land grabbing – termasuk di
Asia. Di Indonesia dalam duapuluh tahun terakhir terjadi perluasan areal
perkebunan, pertambangan dan produksi pangan, yang berakibat lebih dari lima
juta keluarga petani keluar dari sektor pertanian.
Kecenderungan ini akan semakin meningkat karena (1) tanah adalah
investasi yang aman/stabil di tengah krisis, (2) produksi pangan memberi
keuntungan berlipat dan (3) belum ada alternatif terhadap spatial fix setelah
menyusutnya e-commerce. UU No. 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan
membuka jalan bagi ekspansi kapital tidak terbatas di sektor produksi pangan,
tapi juga untuk proyek infrastruktur. Ekspansi kapital secara geografis ini
berpengaruh langsung pada ruang hidup masyarakat luas dan bermuara pada krisis
sosial. Pemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, konflik sosial tidak
terelakkan. Politik berbasis kelas semakin menonjol dalam situasi seperti ini
dan turut mewarnai proses demokratisasi. Aksi protes sudah menjadi metode
penting untuk menghalangi langkah kapital dan negara yang dianggap merugikan
dan juga untuk mendorong perubahan kebijakan. Desentralisasi menyerap energi
politik arus bawah ini dan melahirkan sederet pemimpin daerah yang populis atau
setidaknya mencoba terlihat demikian. Cukup banyak unsur gerakan sosial yang
terlibat dalam electoral alliance yang populis dan selanjutnya bekerjasama
dengan unsur lain dalam gerakan sosial untuk mendorong kebijakan pro-rakyat.
Menengok pada gagasan Karl Marx yang seringkali disalahpahami sebatas
bicara tentang penyederhanaan tapi inti gagasan Marx adalah mengenai polarisasi
kelas. Dalam karya-karya Marx cukup jelas ia tidak mengabaikan adanya kelas dan
lapisan lain di luar borjuasi dan proletariat. Tapi kapitalisme sebagai sistem
membuat alat produksi untuk expanded reproduction of capital terpusat di
tangan segelintir orang dan sekaligus memaksa orang lain (karena kehilangan
alat produksinya) menjual tenaga kerja untuk bertahan hidup. Politisasi akar
rumput dan arus bawah terjadi secara masif di masa reformasi dan melahirkan
beragam organisasi dan sosok baru dalam kehidupan politik. Penetrasi kapital
dan negara sampai ke tingkat desa mengubah imbangan kekuatan di tingkat akar
rumput. Di masa mendatang pelaksanaan UU Desa dibayangkan akan berdampak besar terhadap
hubungan sosial dan hubungan kuasa yang pada gilirannya akan berpengaruh pada
politik kelas. Populisme bisa mengaburkan batas-batas kelas yang sekarang
semakin nampak. Contoh menarik dari dinamika ini adalah kemunculan masyarakat
adat sebagai sebuah kategori politik.
Kedua, Pilpres
2014 dan Ledakan Partisipasi. Pilpres 2014 adalah peristiwa politik dan
kultural yang luar biasa dan belum pernah terlihat sebelumnya. Orang ramai
mengikuti dengan saksama seluruh proses politik, mulai dari penetapan calon
presiden, masa kampanye, hari pemungutan suara, pengawalan suara dari TPS ke
KPU, sampai pada sengketa di Mahkamah Konstitusi dengan antusias. Relawan
muncul sebagai kategori politik baru yang malah lebih signifikan dari partai
politik pengusung calon presiden. Saluran partisipasi politik yang semula
terbatas pada partai dan organisasi politik kini jauh lebih terbuka tapi belum
menemukan bentuk yang lebih solid.
Antusiasme publik ini sebagian karena sosok Jokowi dan kemunculannya
yang spektakuler di panggung politik. Pada 2012 Jokowi menjadi Gubernur DKI
melalui proses yang sama menegangkannya. Baik dalam pilgub maupun pilpres
Jokowi berhadapan dengan representasi dari oligarki politik warisan Orde Baru.
Proses politik, termasuk kampanye media, membuat pembelahan antara kekuatan
perubahan di satu pihak dan oligarki politik di pihak lain semakin menguat
walau ada unsur oligarki politik dan juga kekuatan perubahan di kedua belah
pihak. Sebagian lain yang tidak kalah pentingnya dalam menjelaskan antusiasme
publik yang besar adalah adanya harapan akan perubahan yang sangat besar.
Harapan ini menguat di tengah frustrasi sosial akibat ekspansi kapital dan
krisis. Dari segi jumlah pelaksanaan pilpres tidak banyak bedanya dari yang
sebelumnya, tapi dari segi partisipasi aktif warga ada lompatan kualitatif yang
sangat besar. Ada pergeseran kesadaran penduduk menjadi warga yang
berkeentingan mengikuti proses politik yang semula tidak banyak artinya bagi
mereka.
Peran organisasi gerakan sosial ‘tradisional’ tidak signifikan dalam
ledakan partisipasi ini. Pengorganisasian relawan misalnya terjadi
lintas-kelompok yang melibatkan banyak aktor baru. Organisasi gerakan sosial
pada umumnya memilih tidak berpihak atau menunggu perkembangan sehingga gagal
mempengaruhi proses politik secara bermakna. Tantangan ke depan adalah
kemampuan dari gerakan sosial untuk menempa harapan akan perubahan menjadi
energi perubahan yang genuine dan bukan menunggu apakah Jokowi sanggup atau
tidak mewujudkan apa yang dijanjikan semasa kampanye.
KATA PENUTUP: GERSOS DALAM PERGULATAN CIVIL
SOCIETY & POLITICAL SOCIETY
Sejak 1990-an konsep civil society berperan besar dalam produksi
pengetahuan dan imajinasi politik gerakan sosial. Civil society dipahami
sebagai ranah di mana hak dan kebebasan dapat diwujudkan dan karena itu menjadi
bagian penting dan integral dari demokrasi. Di jantung civil society
adalah subyek politik yang bernama citizen. Di masa kediktatoran Orde
Baru civil society adalah konsep yang menegasi seluruh kerangka dan
praktek politik Orde Baru yang otoriter dan karena itu berperan dalam
memobilisasi kekuatan setidaknya di kalangan menengah terpelajar.
Masalahnya tidak semua elemen masyarakat memenuhi syarat sebagai citizen
yang merupakan bagian dari civil society. Penghuni jermal, buruh
perkebunan, bahkan TKI di luar negeri, dan banyak elemen lain hidup dengan hak
yang minim, bahkan tanpa hak. Sebaliknya mereka yang memenuhi kualifikasi
sebagai civil society hanya fraksi tertentu dari kelas menengah
terpelajar di perkotaan. Konsep yang sangat spesifik dan terbatas ini tentu
menghasilkan gambar yang sangat kabur ketika diproyeksikan ke masyarakat yang
luas, dan tidak punya kekuatan berarti secara politik, apalagi di masa hak dan
kebebasan relatif sudah diraih.
Agenda perubahan gersos dalam kerangka civil society adalah
masyarakat yang berdasarkan aturan dan kontrak yang jelas antara penguasa dan
yang dikuasai. Pemerintah dipilih secara berkala oleh orang dengan preferensi
sosial, kepentingan ekonomi, dan ideologi politik tertentu. Dalam kenyataan
empat kali pemilihan umum yang bebas dari 1999 sampai 2014 semua ini masih jauh
dari kenyataan dan tidak ada tanda bahwa akan mengarah ke sana. Money
politics, clientelism dan praktek politik yang brutal sangat
menonjol dalam pemilu terakhir. Konsep civil society tidak memadai untuk
menangkap gejala ini tanpa terperangkap dalam moralisme dan sikap anti-politik.
Perlu perangkat konseptual berbeda untuk keluar dari kebuntuan ini. Partha
Chatterjee mengingatkan –dalam karyanya The Politics of the Governed:
Popular Politics in Most of the World (Columbia University Press; 2004)– pentingnya
perbedaan antara citizen (warga) dan population (penduduk) dalam
konteks negeri bekas jajahan. Penduduk ini terbentuk karena adanya
governmentality dan tolak-tarik kepentingan berada di ranah yang kadang
mengabaikan hukum atau menciptakan aturan lain. Chatterjee menyebut ranah ini political
society. Dinamika politik yang berlangsung sekarang ini jauh lebih bisa
dimengerti dalam kerangka ini.
Akhirul kalam,
gersos tidak berpijak pada ide abstrak tentang apa yang baik tapi pada keadaan
politik yang konkret. Minimal imajinasi kita tentang gersos tetap hadir dalam
benak kolektif. Semoga!
Menarik
BalasHapus