Masjid dan Kampanye Politik
Ahmad Syafii Ma'arif
Menjelang usia 20 tahun di pertengahan abad
ke-20, di kawasan Bantul, Jogjakarta, saya pernah turut serta dalam kampanye
Pemilu 1955 untuk mendukung partai tertentu. Rasanya bersemangat sekali,
sekalipun pengetahuan tentang politik kepartaian sangatlah minim. Di era
pertentangan ideologi politik yang sangat panas ketika itu, hampir semua ruang
publik, termasuk masjid, telah digunakan untuk meluaskan pengaruh kepartaian,
demi memenangkan partai yang digandrungi. Akibatnya, masjid telah berubah
menjadi ajang kampanye partai, khususnya partai-partai yang berideologi Islam
ketika itu. Adapun partai yang berideologi lain nyaris tidak punya masjid untuk
berkampanye, sekalipun anggotanya sebagian besar adalah Muslim juga.
Tokoh-tokoh partai Islam pada musim pemilu pertama itu sangat piawai
menggunakan dalil-dalil agama agar rakyat hanya memilih partai-partai yang
berasaskan Islam. Di luar itu, berdasarkan keputusan Kongres ‘Alim-Ulama tahun
1953 di Medan, haram hukumnya. Maka tidak pelak lagi, masjid-masjid telah digiring
untuk berpihak kepada partai-partai yang serba Islam itu. Perasaan saya kala
itu mengatakan bahwa penggiringan itu sah-sah saja. Bukankah partai-partai yang
tidak berdasar Islam itu oleh Kongres Medan di atas tidak boleh dipilih? Tak
terfikir bahwa warga partai-partai yang tidak resmi berdasar Islam itu juga
banyak umat Islamnya yang juga salat di masjid. Mereka sangat terganggu oleh
khutbah-khutbah Jum’at yang umumnya berisi kampanye yang menyudutkan partai
mereka.
Sekarang kita berada di awal tahun 2014. Dengan bergulirnya waktu, ada beberapa
fenomena menarik yang harus dicermati terkait dengan terjadinya proses
santrinisasi kualitatif. Fenomena ini terlihat di kampus-kampus, di lingkungan
partai politik, di kantor-kantor, dan di banyak tempat lainnya. Akibatnya,
jumlah masjid sekarang sudah tidak memadai lagi untuk menampung jamaah, sejalan
dengan ledakan demografis yang cukup mencemaskan. Dalam internet, saya gagal
mendapatkan data akurat tentang berapa jumlah masjid sebenarnya di Indonesia
sampai hari, karena memang belum ada angka statistik yang valid. JK misalnya
mengatakan bahwa jumlah masjid dan mushalla ada sekitar 850 rubu. Disebutkan
juga bahwa sebuah masjid diperuntukkan untuk 700 jamaah. Dengan demikian, masih
diperlukan ratusan ribu masjid lagi untuk menampung jumlah jamaah yang
semakin berjibun dari waktu ke waktu di Indonesia.
Kita ambil angka gampangan saja, katakan ada sekitar 600 ribu masjid yang
dipakai untuk salat Jum’at dengan 200 jamaah rata-rata. Maka yang turut dalam
salat Jum’at menjadi 120 juta dari 207 juta umat Islam Indonesia. Tuan dan puan
bisa bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai
tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh
suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari,
seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya
adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat,
jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang
beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya. Para khatib haruslah
belajar menjadi negarawan di lingkungan sosialnya masing-masing, hindarkan diri
dari sikap partisan. Di saat defisitnya jumlah negarawan sekarang ini, siapa
tahu dari lingkaran masjid mereka akan bermunculan.
Dalam Alquran (al-Taubah: 107-108) dengan tegas dikatakan bahwa masjid dibangun
atas dasar taqwa, bukan untuk mengejar kepentingan duniawi yang bisa membawa
perpecahan. Ayat inilah yang wajib dijadikan acuan dan pedoman dalam kehidupan
kolektif umat Islam, bukan sumber yang lain. Artinya, syahwat politik kekuasaan
jangan sampai dibawa-bawa ke dalam masjid, karena pasti akan mengotorinya dan
menyulut sengketa yang sangat ditentang Alquran (Âli ‘Îmrân: 103, 105, 112).
Pada bulan-bulan pemilu ini, umat Islam haruslah mendahulukan ajaran Alquran
tinimbang kepentingan politik yang umurnya sangat pendek, disamping sering
merusak. Maka jadikanlah masjid untuk memupuk taqwa dalam makna menjaga diri
dari murka Allah dengan senantiasa mendekatkan diri kepadaNya. Masjid haruslah
bersih dari suasana kampanye politik.
Sumber (maarifinstitute.org)
0 komentar: