Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

ADONIS, MENTALITAS ARAB, DAN KRISIS SURIA (II)


Ahmad Syafii Maarif  

Tetapi awal Mei 2011, berdasarkan laporan Reuter, Adonis telah melancarkan kritik telak terhadap semua penguasa tiran Arab melalui pernyataan berikut karena mereka: “…tidak meninggalkan apa-apa, kecuali kehancuran, keterbelakangan, kemunduran, kepahitan, dan penyiksaan. Mereka tumpuk kekuasaan. Mereka tidak membangun masyarakat. Mereka balikkan negeri-negeri mereka ke dalam sebuah ruang penuh slogan tanpa muatan kultural dan kemanusiaan.” Bukankah Adonis mengungsi ke Perancis sejak 29 tahun yang lalu karena perlawanannya terhadap rezim otoritarian di negerinya sendiri? Tetapi sebagai seorang Gandhian, perlawanan Adonis bercorak anti kekerasan yang tidak jarang juga ditunjukkan oleh kalangan oposisi Suria. Hampir semua sastrawan di muka bumi bersikap anti kekerasan.


Memang situasi menjadi serba runyam. Al-Qur’an telah berhenti menjadi panduan utama dalam pergaulan kolektif umat Islam, termasuk rupanya oleh penyair Adonis. Ini adalah sebuah tragedi intelektual. Di sisi lain, kalangan ulama yang fasih bicara al-Qur’an selama sekian abad, mengapa Kitab Suci ini tetap saja dibiarkan bertahta di langit, tidak kunjung dibawa turun ke bumi untuk dijadikan obat penawar (syifâ’) bagi penyakit kemanusiaan yang semakin parah dari waktu ke waktu. Saya tidak tahu apakah Adonis pernah membaca karya-karya Iqbal, Fazlur Rahman, atau Khaled Abou El Fdl, yang juga sangat kritikal terhadap konservatisme ulama, tetapi tetap setia kepada teks sebagai sumber ajaran.

Adonis juga mengeritik keras konsep monoteisme dalam praktik. Simak pernyataan berikut yang dikaitkan dengan keberadaan Jerusalem sebagai kota suci tiga agama: “Jerusalem is a city of three menotheistic religions….If there’s one God, it should be beautiful. Instead, it’s the most inhuman city in the world.” (Jerusalem adalah sebuah kota untuk tiga agama monoteistik….Jika Tuhan itu Tunggal, semestinya ia [Jerusalem] itu indah. Padahal yang berlaku sebaliknya, ia adalah kota yang paling tidak manusiawi di muka bumi.”(Lih. wawancara panjangnya dengan wartawati Maya Jaggi dari the Guardian, 27 Feb. 2012). Terasa di sini kemuakan Adonis sudah sampai di leher: antara teks dan realitas tidak saja telah pecah kongsi, tetapi sudah dalam keadaan perang.

Ketika bulan Juni 2012, di tengah pukulan berdarah atas pemberontak Suria, Adonis sebagai warga negara menulis surat terbuka kepada Presiden Bashar al-Assad dalam harian Lebanon al-Safir. Sambil menggambarkan Suria sebagai sebuah negara polisi yang brutal, Adonis menyerang partai Ba’ath yang sedang berkuasa, meminta presiden turun tahta, dan mengingatkan al-Assad: “…anda tidak mungkin memenjarakan bangsa ini seluruhnya.” Tetapi cara-cara kekerasan yang ditempuh penguasa dan pihak oposisi semuanya ditentang Adonis. 

Pernyataan berikut menunjukkan di mana posisi Adonis dalam konstelasi politik di Suria: “Mengingat saya telah meninggalkan Suria tahun 1956 [semula ke Beirut] dan saya berada dalam suasana konflik dengannya selama lebih 50 tahun. Saya tak pernah berjumpa dengan Assad [Bashar atau ayahnya, Hafez]. Saya adalah orang pertama mengeritik partai Ba’ath, karena saya melawan sebuah ideologi yang didasarkan atas konsep kemanunggalan gagasan.” Lagi doktrin monoteisme dijadikan sasaran: “Sayangnya, dalam tradisi kami, segala sesuatu didasarkan atas kemanunggalan---kemanunggalan Tuhan, kemanunggalan politik, kemanunggalan bangsa. Kami tidak mungkin sampai ke sistem demokrasi dengan mentalitas semacam ini, karena demokrasi didasarkan atas pemahaman terhadap yang lain sebagai yang mengandung perbedaan.” (Lih. the Guardian di atas).

Demokrasi dengan segala kelemahannya di mata Adonis, pasti lebih baik dari sistem diktatur, baik diktatur militer atau diktatur religius yang lebih berbahaya. “Diktatur militer menguasai fikiranmu. Tetapi diktatur religius menguasai fikiran dan fisikmu.” (the Guardian, di atas). Dunia Arab yang statis sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan diktatur, baik militer mau pun religius. Kedua corak kediktaturan itu telah memperbudak mentalitas Arab dengan segala akibat buruknya. Sebagai seorang yang berfikir bebas and berani, Adonis dalam seluruh karya tulisnya telah membongkar kerapuhan mentalitas yang semacam itu. Akibatnya, bagi Adonis, akan lebih aman bermukim di Eropa tinimbang di kampung halamannya sendiri. Tragis!

Sumber (maarifinstitute.org) Resonansi Republika 21 Jan. 2014 


0 komentar: