ADONIS, MENTALITAS ARAB, DAN KRISIS SURIA (II)
Ahmad Syafii Maarif
Tetapi awal Mei 2011, berdasarkan laporan
Reuter, Adonis telah melancarkan kritik telak terhadap semua penguasa tiran
Arab melalui pernyataan berikut karena mereka: “…tidak meninggalkan apa-apa, kecuali
kehancuran, keterbelakangan, kemunduran, kepahitan, dan penyiksaan. Mereka
tumpuk kekuasaan. Mereka tidak membangun masyarakat. Mereka balikkan
negeri-negeri mereka ke dalam sebuah ruang penuh slogan tanpa muatan kultural
dan kemanusiaan.” Bukankah Adonis mengungsi ke Perancis sejak 29 tahun yang
lalu karena perlawanannya terhadap rezim otoritarian di negerinya sendiri?
Tetapi sebagai seorang Gandhian, perlawanan Adonis bercorak anti kekerasan yang
tidak jarang juga ditunjukkan oleh kalangan oposisi Suria. Hampir semua
sastrawan di muka bumi bersikap anti kekerasan.
Memang situasi menjadi serba runyam.
Al-Qur’an telah berhenti menjadi panduan utama dalam pergaulan kolektif umat
Islam, termasuk rupanya oleh penyair Adonis. Ini adalah sebuah tragedi intelektual.
Di sisi lain, kalangan ulama yang fasih bicara al-Qur’an selama sekian abad,
mengapa Kitab Suci ini tetap saja dibiarkan bertahta di langit, tidak kunjung
dibawa turun ke bumi untuk dijadikan obat penawar (syifâ’) bagi penyakit
kemanusiaan yang semakin parah dari waktu ke waktu. Saya tidak tahu apakah
Adonis pernah membaca karya-karya Iqbal, Fazlur Rahman, atau Khaled Abou El
Fdl, yang juga sangat kritikal terhadap konservatisme ulama, tetapi tetap setia
kepada teks sebagai sumber ajaran.
Adonis juga mengeritik keras konsep
monoteisme dalam praktik. Simak pernyataan berikut yang dikaitkan dengan
keberadaan Jerusalem sebagai kota suci tiga agama: “Jerusalem is a city of
three menotheistic religions….If there’s one God, it should be beautiful. Instead,
it’s the most inhuman city in the world.” (Jerusalem adalah sebuah kota untuk
tiga agama monoteistik….Jika Tuhan itu Tunggal, semestinya ia [Jerusalem] itu
indah. Padahal yang berlaku sebaliknya, ia adalah kota yang paling tidak
manusiawi di muka bumi.”(Lih. wawancara panjangnya dengan wartawati Maya Jaggi
dari the Guardian, 27 Feb. 2012). Terasa di sini kemuakan Adonis sudah sampai
di leher: antara teks dan realitas tidak saja telah pecah kongsi, tetapi sudah
dalam keadaan perang.
Ketika bulan Juni 2012, di tengah pukulan
berdarah atas pemberontak Suria, Adonis sebagai warga negara menulis surat
terbuka kepada Presiden Bashar al-Assad dalam harian Lebanon al-Safir. Sambil
menggambarkan Suria sebagai sebuah negara polisi yang brutal, Adonis menyerang
partai Ba’ath yang sedang berkuasa, meminta presiden turun tahta, dan
mengingatkan al-Assad: “…anda tidak mungkin memenjarakan bangsa ini
seluruhnya.” Tetapi cara-cara kekerasan yang ditempuh penguasa dan pihak oposisi
semuanya ditentang Adonis.
Pernyataan berikut menunjukkan di mana
posisi Adonis dalam konstelasi politik di Suria: “Mengingat saya telah
meninggalkan Suria tahun 1956 [semula ke Beirut] dan saya berada dalam suasana
konflik dengannya selama lebih 50 tahun. Saya tak pernah berjumpa dengan Assad
[Bashar atau ayahnya, Hafez]. Saya adalah orang pertama mengeritik partai
Ba’ath, karena saya melawan sebuah ideologi yang didasarkan atas konsep
kemanunggalan gagasan.” Lagi doktrin monoteisme dijadikan sasaran: “Sayangnya,
dalam tradisi kami, segala sesuatu didasarkan atas
kemanunggalan---kemanunggalan Tuhan, kemanunggalan politik, kemanunggalan
bangsa. Kami tidak mungkin sampai ke sistem demokrasi dengan mentalitas semacam
ini, karena demokrasi didasarkan atas pemahaman terhadap yang lain sebagai yang
mengandung perbedaan.” (Lih. the Guardian di atas).
Demokrasi dengan segala kelemahannya di mata
Adonis, pasti lebih baik dari sistem diktatur, baik diktatur militer atau
diktatur religius yang lebih berbahaya. “Diktatur militer menguasai fikiranmu.
Tetapi diktatur religius menguasai fikiran dan fisikmu.” (the Guardian, di
atas). Dunia Arab yang statis sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan
diktatur, baik militer mau pun religius. Kedua corak kediktaturan itu telah
memperbudak mentalitas Arab dengan segala akibat buruknya. Sebagai seorang yang
berfikir bebas and berani, Adonis dalam seluruh karya tulisnya telah membongkar
kerapuhan mentalitas yang semacam itu. Akibatnya, bagi Adonis, akan lebih aman
bermukim di Eropa tinimbang di kampung halamannya sendiri. Tragis!
Sumber (maarifinstitute.org) Resonansi
Republika 21 Jan. 2014
0 komentar: