Satu Dekade MIM Indigenous School
MIM Indigenous School tanpa
terasa sudah memasuki satu dekade. Usia yang barangkali tidak sebentar bagi
sebuah lembaga creative minority. Berdirinya MIM Indigenous School
tidak terlepas dari hterbentuknya Madrasah Intelektual Muhammadiyah (MIM) pada
tahun 2004 di Kota Yogyakarta oleh para pengurus dan alumni aktivis Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta.
Secara kelembagaan kehadiran MIM diorientasikan sebagai lembaga
pengembangan intelektual, yang mampu berkontribusi dalam mendorong terciptanya
perubahan sosial, melalui aktivitas aksi-aksi sosial-kemasyarakatan. Sehingga
dalam perkembangannya MIM pun menjadi MIM Indigenous School atas usul Abdullah
Sumrahadi, yang saat itu mementori embrio kelahiran MIM. Selain itu, perubahan
nama tersebut dikarenakan MIM Indigenous School sudah menjadi lembaga semi
otonom dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta.
Lembaga non-profit yang bergerak
dalam pengembangan intelektual, riset dan publikasi berbagai kegiatan ilmiah
lainnya.
“Dalam rangka satu dekade ini, yakni 2004-2014. MIM
Indigenous School berencana
mengadakan rangkaian agenda. Salah satunya, menerbitkan buku IMM berbasis riset,
yang Insya Allah akan kami launching
di bulan Maret. Bertepatan pula dengan Milad setengah abad IMM” tutur Halim
Sedyo Prasojo.
Dekade MIM Indigenous School begitu sangat penting,
untuk menentukan peran lembaga dimasa yang akan datang ditengah problematika
masyarakat yang kian kompleks. Karenanya, satu dekade ini tidak hanya untuk MIM
Indigenous School, melainkan pula untuk IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta
dalam turut serta memproduksi kader intelektual yang berwatak inklusif, bersikap
parsipatoris-dialogis,
berkepemimpinan kolektif-kolegial serta bertindak secara
rasional—sebagaimana tercermin dalam nilai dasar intelektual dan gerakan MIM
Indigenous School.
“MIM Indigenous School dan IMM AR. Fakhruddin Kota
Yogyakarta, dua hal yang tidak bisa dipisahkan: dari keduanya, kader
intelektual itu ditempa dan dipahat. Buku yang sedang kami susun tersebut
adalah buah tangan kami bertiga yakni Makhrus Ahmadi dan Aminuddin Anwar. Penyusunan
buku tersebut hanya ikhtiar atas hal-hal yang sudah sering kami diskusikan secara
kelembagaan. Meskipun nanti hasilnya tidak bisa memuaskan banyak pihak” imbuh
Halim yang juga sebagai Ketua tim pembuatan buku tersebut. Minimnya referensi
yang membahas IMM juga menjadi faktor mengapa mereka perlu menyusun buku yang
berbasis riset—agar mereka yang menggap diri sebagai bagian kader intelektual,
tidak saja pintar berkomentar atas sebuah masalah. Melainkan, juga bisa
menganalisa secara empirik dan berdampak solutif.
“Judul bukunya kami rahasiakan dulu. Tunggu saja dibulan Maret. Berkaitan dengan rangkaian satu dekade MIM Indigenous School, sedang ingin kami diskusi dengan jajaran pegiat yang lain. Nanti kami kabari perkembangannya” pungkas Halim. (cm)
0 komentar: