FATWA (Sebuah Cerpen Pemikiran Islam) *)
Ayub Daud
**)
Jika
gigitan laba-laba mampu mengubah Peter Parker. Seorang pemuda kurus
sakit-sakitan, menjadi manusia laba-laba alias Spiderman nan perkasa, maka tugas kuliah ternyata mampu mengubahku
yang juga pemuda kurus sakit-sakitan menjadi manusia kelelawar. Tapi tidak
seperti Parker yang dianugrahi semua kemampuan laba-laba, yang berubah dariku
hanya pola hidup, yang tadinya siang untuk beraktifitas dan malam untuk tidur
layaknya manusia biasa, maka setelah proses perubahan dramatis itu malamku
menjadi siang dan siangku adalah malam.
Seperti
malam ini. Malam sudah sangat tua dan aku masih di sini, di posisiku sejak
ba’da isya tadi. Tinggal konser srangga di luar sana yang setia memecah
sepinya malam di kaki Merapi ini sehingga bunyi ketukan jemariku di tiap
tuts computer tidak menjadi bunyi tunggal. Sebenarnya, malam-malam
sebelumnya tik tok tik tok jam dinding juga turut serta,
tetapi apa boleh buat, ia telah tewas mengenaskan karena aku tidak mau
repot-repot mengganti baterenya.
Setelah
menjalani karir manusia kelelawar di Kaliurang selama beberapa minggu, aku jadi
tahu bahwa malam di sini memiliki hukum-hukum dan postulat-poslatnya sendiri.
Salah satunya adalah hukum perbandingan antara tajamnya gigi dingin dengan usia
malam. Jadi usia malam ternyata berbanding lurus dengan tajamnya gigi dingin,
semakin tua malam, semakin tajam juga gigi dingin. Dan bagiku yang setia
begadang demi tugas kuliah, tentu saja keadaan ini sangat mengganggu. Pasalnya
(entah ini berlebihan atau tidak) kadar dingin mala mini sepertinya telah
membekukan sebagian syaraf-syaraf otakku, akibatnya, lalu lintas impuls
pemikiranku menjadi macet total di beberapa titik, sehingga tak pelak
lagi. pikiranku buntu!.
Ohya,
sudah tiga paragraph tapi aku belum bilang apa sebenarnya tugasku itu.. hehe
maaf. Jadi tugasku mala mini adalah merumuskan fatwa untuk di sidangkan di
kantor PP Muhammadiyah besok. Kubaca sekali lagi pertanyaan dari mustafi
[1] ku tersayang, begini bunyinya : saya
adalah seorang karyawan swasta yang berdediksi tinggi. Tapi sampai sekarang ada
suatu hal yang mengganjal mengenai status penghasilan saya. Dulu ketikda
melamar pekerjaan saya menggunakan IPK palsu. Saya terpaksa, soalnya
tahun-tahun akhir kuliah saya tertimpa musibah yang menyebabkan perkuliahan
saya terbengkalai. Yang saya tanyakan bagaimana status hukum penghasilan saya
selama ini?. Karena walaupun saya masuk dengan IPK palsu, tetapi setelah
bekerja sya melakukannya dengan sangat bersungguh. Saya juga tidak punya
keteramilan dan tidak ada modal untuk membuka wirausaha.
Ah, persoalan yang benar-benar membumi.
Kucoba mencari-cari kaidah yang cocok di kitab-kitab qawaid
al-fiqhiyah terutama al-asybah wa an-nazhair dari
keemat madzhab. Dan inilah yang kutemukan, sebuah kaidah yang dirumuskan dari
hadis Nabi : laaisa li aqaarin zhalimin haqqun. Seseorang
yang mendapatkan suatu lahan pertanian dengan cara zhalim tidak memiliki hak
atas hasil yang ia peroleh, alias haram. Untuk konteks zaman Nabi, lahan
perkebunan/pertanian sama dengan lapangan pekerjaan saat ini, sehingga jika
diqiyaskan dengan klausa hukum adanya unsure kezhaliman dalam proses
mendapatkan pekerjaan, maka ia tidak berhak atas hsilnya, dengan kata lain,
gajinya haram.
Tapi
bagaiman dengan hidupnya nanti ya?, dia akan menjadi pengangguran dan beban
masyarakat. Hal itu tentu saja bukan sebuah maslahat. Hmmm perbuatannya yang
mendaftar pekerjaan dengan cara menipu memang sebuah dosa tentu saja. Tetapi
bagaimana dengan status penghasilannya?, apakah langsung saja aku katakana
haram ya?. Lalu bagaiman dengan hidupnya nanti?. Bisakah tindakannya memalsukan
IPK dianggap darurat sehingga berlaku kaidah ad-dharurratu tubih
al-mahzurat?. Keadaan darurat membuat hal-hal terlarang menjadi boleh.
Atau jika kita anggap pekerjaan hanyalah kebutuhan hajjiyat, lalu
berlakulah kaidah al-hajjiayatu tanzilu manzilata ad-darurah. Hadueh, tapi dia nanti keenakan jadinya.
Kasihankan orang yang sudah ia tipu?.
Pikiran-pikiran
itu berputar-putar di dalam kepalaku, memantul-manutul serupa bola karet yang
pejal. Aku pusing. Malam semakin tua……taring-taring dingin semakin rakus
menggigiti tiap inci tubuh kerempengku yang tidak terlindungi lemak ini…..dan
sebagai konsekuensi, datanglah tamu tak diundang itu. Ngantuk! ZZzzzz..!
**
Hey kamu,
yang baca tulisan ini, aku mau Tanya, pernahkah kamu bermimpi dan sadar bahwa
kanu memang tengah bermimpi? Sepertinya, itulah yang aku alami sekarang.
Keadaan ini sangat janggal sehingga dengan cepat aku dapat mengidentifiksinya
sebagai mimpi. Aku mendapati diriku sedang duduk di sebuah bangku panjang di
sebauh taman universitas nan rindang. Guguran dedaunan yang mirip daun singkong
tapi berwarna orange kecoklatan ada dimana-mana. Dan yang lebih meyakinkanku bahwa
aku sedang bermimpi adalah orang yang duduk di sampingku ini. Kumis, itu, mata
itu, tidak salah lagi, dia adalah Prof Syamsul Anwar ketua Majelis Tarjih dan
dosen fikih siyasahku!!. Ia tengah serius menelaah sebuah buku, kuintip
judulnya The State and The Individual in Islamic Law, N. J.
Coulson.
Sebenarnya
aku takut salah orang, meskipun ini di alam mimpi, tetap saja memalukan jika
aku sampai salah orang. Tapi tidak mau berlama-lama dengan asumsiku yang hanya
berdasar pada kesamaan kumis dan mata, aku langsung menyapanya.
“Pak Prof
Syamsul Anwar kan?” kataku sambik mengulurkan tangan hendak salaman. Orang yang kusangka Prof Syamsul itu
mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca. Ia sekilas ia
menatap tanganku yang tergantung minta salaman. Tatapannya lalu beralih ke
wajahku dan kusambut ia dengan senyum terbaikku tahun ini.
“Iya saya
Syamsul Anwar”, ia melepas kaca matanya, menutup bukunya dan menyambut
tanganku. Kami pun salaman.
“Dan kamu
Ayub kan?, nomor presensi lima di kelas putra PUTM?.”
“Mmm iya ustad, saya Ayub” Kataku agak
tersanjung, wah ternyata Prof Syamsul mengenaliku, tak sia-sialah dulu aku
serius mengikuti kuliah Syariah Lawnya.
Dari
percakapan kami setelah itu kutahulah bahwa kami sedang duduk di taman
universitas Mc Gill, Canada. Beliau sedang mengikuti kuliah singkat di sini dan
sedang menikmati waktu istrahat siangnya dengan makan sambil membaca di taman.
Aku mengguk-angguk saja mendengar penjelasannya, meskipun aku tahu semua ini
sepenuhnya rekayasa alam bawah sadar yang bernama mimpi. Ia menawakan
padaku sebuah makanan yang kelihatannya lezat, juga jus buah yang segar.
Lagi-lagi aku menikmatinya meskipun aku tahu ini semua hanya mimpi. Sebauh
mimpi indah yang aneh. Sambil menimati makanan, beliau[2] mengajakku berdiskusi.
“Ayub, kau
tahu buku apa yang sedang aku telaah ini?”, katanya sambil menujuk buku yang
tadi dibacanya. Tentu saja aku tahu, tadi kan sudah kuintiip judulnya.
“The
State and The Individual in Islamic Law,oleh N. J Coulson kalau
tidak salah, Ustadz” Aku pura-pura ragu.
“Yaa,
memang benar, kau tahu apa yang ia katakana tentang hukum Islam di dalam
bukunya ini Yub? Ah tentu saja kamu
belum tahu, pengarangnya saja kamu tadi agak ragu menyebutkannya, jadi saya
asumsikan kamu belum pernah membacanya, iya kan?”.
“he he iya
ustadz”. Aku hanya tersenyum mendengar kejujuran yang pahit itu. Beliau lalu
membuka-buka halaman-halaman yang telah ia tandai, di sana ada beberapa kalimat
yang telah ia berihighlighter[3].
“Nah, kau
bacalah beberapa bagian yang saya tandai ini, lalu katakan penilaianmu. Saya
mau tahu apa pendapatmu mengenai beberpa statemen
dari Coulson”.
Kubacalah
bagian yang beliau tunjukan itu. Hukum islam adalah hasil pemikiran
spekulatif para ulama yang bekerja pada tiga abad awal Islam untuk
mendefinisikan kehendak Allah. Dalam kererasingan diri dari kebutuhan-kebutuhan
praktis dan keadaan-keadaan riil, mereka menghasikan suatu system peraturan
yang komprehensif yang umumnya bertolak belakang dengan praktik hukum yang
mengekspresikan ideal agama[4]. Begitu
kata Coulson di halaman 56 bukunya itu. Aku juga heran kenapa buku Coulson ini
bisa berbahasa Indonesia, namanya juga mimpi. Satu yang pasti
aroma skeptisisme khas orientalis tercium jelas, jika mau disederhanakan,
Coulson ingin menyatakan bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang ideal dan sama
sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan yang nyata dalam masyarakat.
“Jadi
bagi Coulson hukum Islam itu tidak bisa menyentuh kehidupan yang riil ya Ustadz?.
Apa ia juga dipengaruhi alur berpikitnya Ignaz Goldziher?”. Kataku sok tahu.
“Ya
sepertinya begitu Yub, lebih tepatnya Coulson ini terpengaruh atau mengikuti
alut fikirnya Joseph Schahct.”.
Aku yang
tahu salah, Cuma bisa cengengesan, dan menunggu penjelasan berikutnya sambil
mengunyah makanan-makanan lezat yang tidak habis-habis ini. Benar-benar mimpi
yang indah dan aneh.
“Sebenarnya
sih, kamu tidak sepenuhnya salah. Godlziher kan memang guru TPA nya Schahct,
jadi bisa saja ada pengaruhnya hehe.” Pak
Syamsul versi mimpi ini mencoba menghiburku. Sebenarnua itu tidak perlu, toh
aku memang hanya sok tahu tadi itu.
“Coulson mempersepsikan adanya sejumlah
antinomy dalam hukum Islam, salah satunya ya ini. Ia menganggap ada
pertentangan antara realitas dan idealist dalam hukum Islam. Karena mengamini
Schahct, ia juga berpendapat kalau memang pada periode awal hukum Islam memang
terkait langsung dengan relaitas karena hukum langsung datang dari penjelasan
Rasulullah berkaitan dengan persoalan actual yang dihapai ummat”. “keadaan ini
terus berlanjut hingga masa khlifah rasyidah dan para kadi awal”.
“Jadi,
tidak membuminya hukum Islam bermula di awal abad ketiga ya Ustadz menutrut
orientalis-orientalis ini?”. Aku mencoba sedikit berkicau, semoga tebakanku
kali ini benar adanya, setidaknya dapat menutupi kebodohanku tadi.
“Benar
sekali” Yes! senangnya hatiku.
“menurut
gerombolan orientalis ini, pada akhir abad ke 2 Hijriyah para ulama Madzhab meramu hukum-hukum yang benar-benar
abstrak, sebauh system syariah in abstracto. Keadaan itu
katanya semakin parah pada awal masa Abbasiyah”.
Aku
sedikit kecewa. Tadi aku bilang di awal abad ke 3, ialah ternyata di akhir abad
ke 2 yang benar. Ah beda tipislah. Dari pada mencoba tampak pintar di hadapan
Professor versi mimpi ini, aku malah jadi benar-benar penasaran dengan wacana
tidak membuminya hukum Islam ini. Bukankan tadi aku tertidur gara-gara
menggarap tugas fatwa dimana sebenarnya aku sedang berusaha mempertemukan
antara realitas galau si penanya dan hukum Syariah
dengan instrument ushul fikih?.
Iya sih
memang ushul fikihku sangat miskin, tapi setidaknya aku sudah berusaha
melakukannya. Ulama-ulama dari zaman dahulu sampai sekarang juga telah
melakukannya, memberikan fatwa bagi penanya-penanya, dimaan hukum syariah
dipertemukan dengan realitas hidup setiap individu penanya.
“Apa
pendapat orientalis-oriantalis itu benar, Ustadz?”
“Tentu
saja tidak. Bukan hanya kita yang tidak sepakat dengan pendapat seperti itu,
bahkan para peneliti barat sendiri mulai tidak percaya lagi dengan anggapan
ini. Dan kamu tahu Yub, apa yang membuat mereka mulai percaya bahwa hukum islam
itu sebenarnya sangat realis?”.
Wah apa
lagi ini?. Tentu saja aku tidak tahu apa yang membuat para peneliti itu berubah
pikiran. Jika aku tahu aku tidak akan sepenasaran ini. Melihatku kebingungan,
Pak Syamsul Anwar tersenyum yang jika senyumnya itu diartikan artinya mungkin ;
dengarlah engkau wahai anak muda yang tidak tahu apa-apa, biar kujelaskan
padamu perkara ini.
“Tahun
berapa kamu lahir Yub?”.
“Eh?. Tahun 1990 ustadz, tapi apa
hubungannya?”.
“Sudah
kuduga, hehe. Pada tahun itu diadakan
sebuah forum internasional tentang fatwa dengan tema The Making of
Fatwa, di Granada, Spanyol. Salah satu pikiran pokok yang muncul dari
forum itu adalah bahwa fatwa adalah penghubung antara idealism hukum Islam dan
realitas kehidupan ummat”. Nah
lho!. Ternyata pikiranku dari tadi itu memang benar.
Pak
Syamsul kemudian melirik jam tangannya, sepertinya waktu istrahat beliau hampir
habis. Semua barangnya ia kemasi, kemudian ia mengambil sebuah buku dari dalam
tas kecilnya dan menyodorkannya padaku.
“From
Fatwa to Furu’, sebuah karya hebat dari Hallaq. Bacalah dan kamu akan
tahu betapa fatwa bukanlah hal yang remeh
temeh, ia adalah titik temu antara syariah
dah al-hayah,”.
“Buku ini untukku, Ustadz?”. Mataku
berbinar, kali ini aku benar-banar lupa bahwa ini hanya mimpi. Tapi kemudian
dengan cepat Pak Syamsul menarik tangannya dan memasukan buku itu kembali
kedalam tas. Aku kecewa berat, dan aku heran sendiri, bukannya ini hanya mimpi,
untuk apa kecewa?.
“Ya beli
sendiri lah, atau cari PDF gratisannya di internet.”. katanya sambil tertawa
kecil
“Lagipula,
waktumu hampir habis, sebaiknya kamu bangun dan kerjakan tugasmu itu. Yang
semangat, kan sekarang kamu sudah punya gambaran, betapa fatwa adalah institusi
penting dalam tubuh syariat”.
“Jadi,
Ustadz juga sadar kalau ini hanya mimipi?.”
“Tentu
saja, jika kamu yang hanya mahasiswa bisa menyadarinya, masa saya yang sudah
professor ini tidak bisa menyadarinya?”.
Ah, dasar mimpi memang ada-ada saja.
Setelah kepergian Prof Syamsul, aku masih sempat berjalan-jalan di taman itu
sambil menghabisi sisa-sisa cemilan kami tadi. Tidak lama kemudian, kurasakan
ada yang membangunkanku. Subuh telah tiba.
**
Keesokan
harinya, sepanjang jam kuliah Fikih Siyasah-nya
Prof Syamsul aku tersenyum-senyum sendiri sembari mengingat mimpi semalam.
Sebuah mimpi yang indah dan aneh, dan tentu saja hasil diskusi semalam pun
tidak telalu kupedulikan, itu hanya hasil konstruksi alam bawah sadarku. Bisa
saja data-data yang ada di dalamnya tidak benar. Hingga jam fikih siyasah
berakhir dan Prof Syamsul membaca presensi.
“Agus
Salim”
“Ada,
Ustadz”
“Ardiansyah”
“Labbaik”
“Ayub”
“Hadir,
ustadz”, Aku menyahut sambil tetap membolak-balik halaman-halaman al-Hukumatu
al-Islamiyahnya Husain Haikal.
“Oh ini
yaa Ayub, bagaimana, sudah baca bukunya Hallaq?”
“EH???” Aku
mengangkat wajahku cepat dan menatap usadz Syamsul. Beliau menyambutku dengan
senyum penuh arti.
TAMAT.
Cerpen ini
adalah eksperimen membungkus wacana-wacana pemikiran Islam di dalam sebuah fiksi,
biar enak bacanya. Maaf jika hayalannya terlalu aneh..
[1] Peminta
fatwa, pihak yang meminta kepada Mufti
agar dikeluarkan fatwa berkaitan dengan permasalahan dan kegalauan yang sedang
ia alami.
[4] Keterangan tentang buku ini bisa
dilihat di buku Ustad Syamsul Anwar Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta
: RM Books, 2007), Hal 306.
*)
Tulisan ini hasil repost dari blog penulis (Klik)
**) Sekbid
IMMawati IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta 2012-2013
0 komentar: