Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Terhadap Tafsir Al-Manar Karya : Prof. Quraish Shihab, MA. (1)*


Ari Susanto
Pegiat MIM Indigenous School; 
Mahasiswa pasca-sarjana UII konsentrasi Ekonomi Islam


A.          Latar Belakang Masalah
Masyarakat Mesir (abad 19 M) digambarkan oleh Sayyid Quthbpada saat itu dengan ungkapan “ suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peran akal dalam memahami syariat Allah,… mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup pada masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurafat. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemua ilmiah yang sangat mengagumkan itu”.[1]
Sedangkan Abduh merasakannya atmosfir masyarakat Mesir seperti itu saat ia memasuki pintu gerbang al-Azhar, lembaga pependidikan tinggi yang terbelah ulamanya menjadi dua kelompok yaitu mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas, menganut pola taqlid,
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihafat, tanpa mengantarkannya kepada usaha penelitian, perbandingan, dan pentarjihan.Sedangkan kelompok yang kedua, menganut pola tajdid (pembaharuan) yang menitikberatkan uaraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[2]
Kondisi diatas yang telah berabad-abad menghantui sebagian besar masyarkat muslim, secara langsung memberikan pengaruh —tidak sedikit—terhadap corak pemikiran para mufasir terdahulu. Oleh sebab itu, Muhammad ‘Abduh melayangkan kritikan terhadap kitab-kitab tafsir terdahulu tafsir tersebut masih jauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut dinilainya sedemikian gersang dan kaku, dikarenakan penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Qur’an, adapun pengecualian yaitu tafsir al-kasyaf karya al-Zamakhsyari, serta juga ada mufasir terdahulu yang berusaha melepaskan diri dari belenggu taqlid seperti at-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, dan al-Qurthubi.[3]

Kritik itulah yang kemudian mengilhami Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an mengoptimalkan kerja akal (rasio) dan peranan kondisi sosial (ilmu) sebagai jalan untuk mencari petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, namun disini Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi (wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah ibadah.  Sedangkan terkait peran sosial Abduh membatasi pada wilayah yang umum dalam artian prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabarannya dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.Bukan, yang rinci yang sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan.[4]
Salah satu kitab tafsir yang popular adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim al-Syahir bi Tafsir Al-manar karya Muhammad ‘Abduh (al-fatihah – An-Nisa’ ayat 126) dan Sayyid Muhammad Rashid Ridha (an-Nisa’ 126 -Juz ‘Amma) yang terdiri dari 12 jilid.Tafsir ini dilahirkan sebagai jawaban atas realitas kehidupan keagamaan, sosial, politik dan kebudayaan.
Muhammad ‘Abduh (1848-1905 M) dikenal sebagai mufasir dengan nuansa rasional (akal). Kerasionalitasan itu dapat dilihat ketika ia berhujah bahwa ilmu dan iman tidak mungkin bertentangan, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman yang benar (al-iman al-shahih) dan sempurna. Inilah salah satu karakteristikpemikiran Abduh yaitu membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana salaf al-ummaah (ulama sebelum abad ketiga Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumbernya yaitu al-Qur’an.(h.19)
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1282–1354 H) merupakan murid dari Syikh Muhammad Abduh yang setia mendokumentasikan hasil kuliah tafsir Al-Qur’an yang diterbitkan dalam majalah al-Mannar yang dikelolah secara pribadi olehnya. Sehingga secara langsung Rasyid Ridha mewarisi corak penafsiran yang dikembangakan oleh Muhammad Abduh, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pandangan terhadap gurunya melalui tafsir al-Qur’an Al-Hakim, Rasyid Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi, sesuai dengan kebutuhan manusia di setiap zamannya.[5]
Dari keterangan-keterangan diatas, bagaimana pemaparan diawali dengan pengungkapan kondisi masyarakat Mesir yang diselimuti oleh kebiasaan taqlid (ikut-ikutan tanpa menganalisa), kurangnya peran akal serta meutup pintu Ijtihad (merasa puas dengan pendapat terdahulu).Kondisi tersebut ternyata mempengaruhi—tidak sedikit—para mufasir terdahulu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an (terkesan tafsir yang kaku dan gersang) di akibatkannya kurangnya peran akal dan ijtihad yang tertutup.Kemudian muncul pembaharu dalam dunia tafsir yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dengan mengedepankan corak tafsir dengan metode analisis (rasioa) yang mengoptimalkan kerja akal dengan pendekatan sosial kemasyarakatan (adabi al-ijtima’i).sehingga menarik untuk di kaji tafsir al-Manar tersebut di karenakan alasan bahwa penulis tafsir al-Manar menggunakan kerja akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan menggunakan pendekatan budaya kemasyarakatan.
B.           Rumusan Masalah
1)  Bagaimana Syiekh Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengoptimalkan kerja akal (rasionalitas) dalam penafsiran al-Qur’an al-Hakim (al-Manar)?
2)      Apametode dan prinsip-prinsip penafsiran Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridhadalamtafsir al-Manar?

C.          Telaah Studi Terdahulu
Telaah pustaka pertama karya Rif’at Syauqi Nawawi “Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat”.Nawawi merumuskan masalah, bagaimana corak rasional tafsir Muhammad ‘Abduh, khususnya dalam akidah dan ibadat?.Sedangkan metode yang digunakan adalah studi pustaka (library research), dengan mencari dan mengumpulkan bahan literatur yang terkait dengan pembahasan — disini menggunakan Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Juz ‘Amma, kemudian di deskripsikan dan dianalisa hingga menarik kesimpulan.

Kesimpulan dari telaah pustaka pertama ini yaitu, Muhammad Abduh merupakan seorang mufasir mandiri (al-mufassir al-munfarid), dengan corak pemikiran yang mengedepankan metode ilmiah (l-manhaj al-‘ilm) dan kebebasan akal (hurriyat al-‘aql) dalam menafsirkan al-Qur’an. Dapat terlihat bahwa penafsiran Abduh dalam bidang akidah ternyata sarat dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan (bukan makna harfi’ahnya tapi makna metaforismenya), yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional, sedangkan dalam bidang ibadat yaitu sarat dengan uraian-uraian tentang hikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syariat ibadat.[6]
Telaah pustaka yang kedua adalah karya A. Athaillah “Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar”. Rumusan masalah yang dimunculkan oleh Athaillah adalah bagaimana sebenarnya pemikiran teologi Islam dari Rasyid Ridha?. Athaillah menggunakan pendekatan dalam penelitiannya yaitu kajian kepustakaan (library research), dengan metode analisa komparatif analisis kritis (perbadingan dengan aliran-aliran teologi Islam lain) dan menuangkannya dengan deskriptif kritis analisis sebagai upaya untuk manarik sesimpulan.
Kesimpulan atas telaah pustaka kedua yaitu, Rasyid Ridha di suatu sisi pemikirannya identik atau sejalan dengan pendirian kaum Salaffiyah di sisi lain juga sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan pendiri Maturudiyah. Corak pemikiran teologi Islam Rasyid Ridha bercirikan dan bercorak rasional (dibuktikan dengan pengakuannya terhadap kemampuan akal dalam mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan meskipun wahyu belum turun menjelaskannya dan rasul Allah belum datang menyampaikannya, kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat, keniscayaan sunatullah atau hukum kausalitas dan keberaniannya dalam menakwilkan nas-nas dengan pengertian majasi apabila terdapat kesan pertentangan antara lahir nas dengan akal atau apabila terdapat kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nas) meskipun tidak setingkat dengan rasional Mu’tazillah.[7]
 
D.          Metodologi
Buku yang di sajikan Quraish Shihab ini merupakan kajian tentang tokoh (Mufassir) yang menggali keluasan dan kedalaman keilmuan Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang tafsir al-Qur’an. Metodologi yang digunakan untuk membantu dalam menggali informasi dan mencari temuan tentang kedua tokoh diatas ialah dengan studi kepustakaan (library recearch), yaitu dengan menghadirkan data primer dalam artian karya yang ditulis langsung oleh kedua tokoh tersebut dan juga data sekunder dalam artian karya yang ditulis oleh pihak lain tentang kedua tokoh tersebut, kemudian dilakukan analitis-kritis terhadap karya dua tokoh tersebut melalui data primer maupun sekunder tersebut.

E.           Ruang Lingkup Penelitian
1)            Metode dan Corak Pemikiran Muhammad ‘Abduh[8]
Metode dan corak penafsiran Syeikh Muhammad ‘Abduh ialah dengan metode analisis dengan corak pendekatan adabi ijtima’i (budaya kemasyarakatan). Corak penafsiran dengan pendekatan ini menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an dari segi ketelitian redaksionalnya, kemudia menyusun (kontruksi) kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat di butuhkan. (Qurais Shihab, 1994 : 25).
Prinsip-prinsip (ciri-ciri) Muhammad ‘Abduh dalam penggunaan peran akal dan peran adabi al-ijtima’i untuk menafsirkan al-Qur’an dapat terlihat sebagai berikut; 

a)      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Abduh wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan. Penafsiran ayat yang menggunakan akal tercerminkan hal tersebut (al-Baqarah ayat 255), Abduh berkesimpulan bahwaالْقَيُّومُ الْحَيُّ هُوَ إِلَّا إِلَٰهَلَااللَّهُ“tiada Tuhan selain Dia”bahwa tiada dalam wujud ini pemilik kekuasaan yang sebenarnya terhadap jiwa (kecuali Dia) sehingga jiwa terdorong untuk mengagungkan dan tunduk kepada-Nya, serta meyakini bahwa dalam genggaman kekuasaan-Nyalah penganugrahan kebajikan atau keterhindaran dan keburukan. الْحَيُّAl-Hayy (Maha Hidup) berarti Dia pemilik hidup dan sumber rasa, pengetahuan, gerak dan pertumbuhan. Abduh menolak pengertian hidup bagi Tuhan dalam arti Yang Hidup terus-menerus, tetapi arti “hidup” bagi-Nya adalah bahwa dia sumber pengetahuan, kekuasaan. 
Keluasan penggunaan akal serta meniadakan taqlid ini tercermin pula dari anggapan Syaikh Muhammad ‘Abduh bahwa kisah penciptaan Adam, dialog Tuhan dengan malaikat, keengganan iblis untuk sujud merupakan ‘kisah simbolik’ bukan cerita yang terjadi sebenarnya. ‘Abduh menafsirkan; a) pemberitahuan Tuhan kepada malaikat tentang rencana-Nya menciptakan khalifah, berarti: bahwa bumi dengan segala hukum yang menjadi ruh inti serta sumber ketergantungan telah disiapkan Tuhan dihuni oleh Manusia yang dapat mengelolahnya, sehingga akan tercapai kesempurnaannya. b) pertanyaan malaikat merupakan gambaran adanya potensi manusia untuk melakukan hal itu (merusak dan menumpahkan darah), walaupun potensi itu tidak bertentangan dengan arti kekhalifaan diatas. c) pengajaran Tuhan tentang nama-nama kepada Adam yaitu gambaran kemampuan manusia mengetahui segala sesuatu dalam alam ini, mampu mengelolahnya serta memanfaatkannya. d) pemaparan pertanyaan-pertanyaan kepada malaikat dan ketiadaan jawaban mereka menunjukan keerbatasan ruh-ruh yang mengatur alam ini (hukum-hukum alam). e) sujudnya malaikat kepada manusia menunjukan kemampuan manusia untuk memanfaatkan hukum-hukum alam, demi mengambangkan alam ini melalui pengetahuan sunatullah. f) keengganan iblis untuk bersujud, menunjukan kelemahan manusia dan ketidakmampuannya untuk menundukan jiwa kejahatan atau menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang mengantakan kepada perselisihan, perpechan, agresi dan permusuhan.
 
b)      Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits nabi saw.
Sikap Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahwa sanad (rangkaian perawi yang meriwayatkan/pengantar suatu teks) belum tentu di pertanggung jawabkan.Dapat kita lihat pengantar Syaikh Mustafa Abdur Razik dalam majalah al-Urwah al-wusqa “Sumber ajaran agama menurut Abduh adalah Al-Qur’an dan sedikit dari sunnah yang bersifat ‘amaliah”.Abduh mengajak bahwa manusia harus berpedoman (berimam) kepada al-Qur’an dan hadits mutawatir. 

Disini terlihat bahwa ‘abduh tidak menghiraukan segi-segi ma’tsur (riwayat), tidak pula memperhatikan cara pen-tarjih-an, serta sejarah yang menyangkut al-Qur’an. Didalam tafsirnya, banyak hadits – yang dinilai oleh ulama terknal sebagai hadits-hadits shahih – ditolak atau diabaikan oleh abduh karena dinilainya tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an.Sebaliknya, yang dianggap oleh ulama dha’if (lemah) – justru dikukuhkan oleh Abduh, hanya karena kandungannya (redaksi matan) dinilai dengan pemikiran logis. Seperti misalnya penolakan terhadap hadis Bukhari dan Muslim terkait wahyu pertama turun (iqra’), dan pengukuhannya terhadap riwayat dha’if yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan al-Fatihah adalah wahyu pertama.
 
c)      Mengaitkan penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama menilai Muhammad ‘Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang bercorak adâbi ijtimâ’i (budaya dan kemasyarakatan).Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong kearah kemajuan dan pembangunan.selain itu, mengarahkan pada perbaikan gaya bahasa arab—kemampuan bahasa bukan dinilai dari pengetahuan tata bahasa atau istilah-istilah ilmu bahasa, tetapi dinilai dari ‘rasa bahasa’ yang telah meresap kedalam jiwa seseorang—hal ini yang kemudian akan menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi bahkan mengasah penalaran.




* Tulisan ini merupakan bahan diskusi berkala dua-mingguan MIM Indigenous School #1: Seri Pemikiran Keislaman.
NB: Gambar utama diambil dari sini

[1][1]  Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. (Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 17
[2]Ibid. h. 17
[3]Quraish Shihab. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-manar. (Jakarta:Lentera Hati, 2006) h.20

[4]Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. (Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 22-24
[5] A. Athaillah. Rasyid Ridha’, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 1-3
[6]A. Athaillah. Rasyid Ridha’, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 203-215
[7] A. Athaillah. Rasyid Ridha, Konsep teologi rasional dalam Tafsir al-Manar. (Jakarta:Erlangga, 2006) h. 390-391
[8]  Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. (Bandung : Pustaka hidayah, 1994) h. 26-57

0 komentar: