Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Perspektif IMM dalam Rekonstruksi Pemikiran Politik Muhammadiyah Abad Kedua


Oleh : Arif Widodo [2]

Menolak upaya-upaya untuk mendirikan
Parpol yang memakai atau menggunakan nama
atau simbol-simbol Persyarikatan Muhammadiyah[3]

Pendahuluan

Memasuki usia yang tidak muda lagi, Muhammadiyah telah mengalami banyak perubahan tidak hanya dalam masalah kuantitas tapi juga dalam masalah kualitas, dalam beberapa hal. Paruh abad pertama Muhammadiyah dengan sangat gemilang telah menjadi salah satu organisasi social-kemasyarakatan yang banyak “membantu” peran Negara dalam mencerdaskan dan meningkatkan harkat-martabat, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Melalui sekolah, kelompok bermain hingga Perguruan Tinggi (baik Sekolah Tinggi maupun Universitas) yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, Muhammadiyah turut membayar hutang-hutang kemerdekaan Republik ini. Tidak hanya itu, rumah sakit dan balai-balai pengobatan Muhammadiyah juga menjamur di segala tempat begitu halnya dengan panti-panti asuhan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Akhirnya, banyak orang sekarang menyebut ketiga peran penting itu dengan istilah schooling, healing dan feeding. Itulah yang penulis sebut peran Muhammadiyah sebagai gerakan civil society; yang memposisikan dirinya di luar Negara dan Pasar. Dalam posisi inilah Muhammadiyah bertahan hingga satu abad, meskipun dalam babakan sejarahnya, organisasi ini pernah beberapa kali, baik secara formal-organisatoris maupun personal, menjadi bagian dari Partai Politik.[4]

Membuka abad Kedua Muhammadiyah, banyak kalangan intern Muhammadiyah mulai memberikan saran dan masukan bagi Muhammadiyah dalam berbagai ranah; dari hal pemikiran sampai ke wilayah kekuasaan (real politics). Kita akan membatasi bahasan dalam wilayah Politik. Telah banyak seminar dan workshop yang diadakan dalam rangka menampung dan mensosialisasikan gagasan politik Muhammadiyah di abad Kedua ini. Banyak kalangan Muhammadiyah, baik yang sudah terjun ke gelanggang real politics atau bahkan akademisi, yang ingin merumuskan peimikiran politik Muhammadiyah abad Kedua. Hal itu tentu saja dilatar belakangi oleh absennya Muhammadiyah dalam mengisi kursi-kursi kekuasaan—paling tidak sepuluh tahun terkahir ini.

Islam Berkemajuan yang akan dibawa Muhammadiyah di Abad Keduanya ini mempunyai dimensi gerak yang maju, progress di semua bidang kehidupan. Karena muhammadiyah memandang Islam sebagai دين التنوير  agama yang mencerahkan; memberikan cahaya. Maka, cahaya yang mampu memberikan penerangan ke tempat yang gelap gulita, meskipun melalui lubang yang amat kecil. Hal semacam itulah yang seharusnya dilakukan Muhammdiyah dalam bidang politik, yang notabene-nya adalah tempat yang penuh dzulumat. Sampai pada titik ini, tulisan ini berusaha untuk melihat hubungan Muhammadiyah dengan Politik, sejak masa awal berdirinya hingga tahun-tahun selanjutnya. Bagaimana hubungan Muhammdiyah dengan politik praktis di masa lalu? Apa pola yang digunakan Muhammadiyah dalam hubungannya dengan politik? Bagaimana strategi Muhammadiyah dalam merumuskannya hubungannya dengan politik di Abad Kedua?

Hubungan Muhammadiyah dan Politik: tinjauan historis

Politik, sebagaimana didefinisikan oleh Giddens adalah “the means whereby power is used to affect the scope and content of governmental activities…..concept and the sphere of the ‘political’ may range well beyond that of government itself”.[5] Dari penejelasan politik menurut Giddens paling tidak ada dua hal yang menjadi point: pertama bahwa politik merupakan kekuatan untuk mempengaruhi kegiatan pemerintahan dan kedua, politik juga berhubungan dengan kegiatan kelompok-kelompok di luar pemerintahan.

Mengenai hubungan Muhammadiyah dengan politik, dalam hal ini adalah low politics—dalam istilah Amien Rais, ternyata mempunyai sejarah yang dinamis. Karena beberapa kali Muhammadiyah pernah menjadi anggota istimewa Masyumi dan bahkan pernah menjadi motor pendiri dari partai Parmusi, yang memnag pada akhirnya sejarah telah membuktikan Muhammadiyah banyak menelan pil pahit dengan dunia politik praktis. Maka, tidak heran sebagian besar warga Muhammadiyah bahkan Pimpinan (pusat hingg ranting) yang ‘trauma’ dengan politik. Politik praktis selalu dianggap negative, kotor, najis dsb., hal itu tidak bisa lepas dari kenangan pahit di masa lalu, yang secara ringkas akan dibahas dalam tulisan ini.

Haedar Nashir menggambarkan bahwa Muhammadiyah mempunyai paradoks dalam hubungannya dengan politik bisa dilihat dari dokumen resmi Muhammadiyah[6]: Kepribadian Muhammadiyah yang menyatakan bahwa “Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik….”[7], satu sisi Muhammadiyah adalah gerakan social-keagamaan non-politik tapi pernah juga bergumul dengan politik, sangat paradoks. Meskipun demikian, seyogyanya kita tinjau juga latar belakang sosiologis dari situasi yang paradoks itu. Lebih lanjut, Nashir dalam Dinamika Politik Muhammadiyah (2006) menjelaskan dengan baik perihal hubungan multivariasi Muhammadiyah dengan politik yang dibagi menjadi tiga:[8]

Pertama, hubungan formal dan langsung. Hubungan ini diartikan sebagai hubungan antara Muhammadiyah secara formal-organisatoris dan hubungan langsung, dimana Muhammadiyah terlibat dalam aktivitas konkret politik. Sejarah telat mencatat bahwa pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 7 November 1945 di Yogyakarta tidak bisa lepas dari peran langsung Muhammadiyah di dalamnya sebagai pilar dan anggota istimewanya. Oleh sebab itu, barangkali alasa mengapa Muhammadiyah tetap setia dengan Masyumi meskipun golongan yang lain, pada waktu itu, mulai keluar, sebut saja Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan NU. Namun, kesetiaan itu harus putus bersamaan dengan bubarnya Masyumi. Tidak bisa dipungkiri, peran kader Muhammadiyah pada masa ini sangat terasa, baik di kursi pimpinan Masyumi maupun di berbagai posisi dalam cabinet pemerintahan. Tokoh Muhammadiyah seperti KH Faqih Usman, Mr H Kasmat, A.R Sutan Mansur, K.R.H Hadjid dan masih ada beberapa nama lagi yang duduk dalam posisi elit. Kalau dibandingkan dengan masa sekarang ini, tentu sangat berbeda. Karena strategi politiknya pun jauh berbeda.

Kedua, hubungan personal dan tidak langsung. Hubungan ini ditandai dengan adanya tokoh-tokoh pucuk Muhammadiyah yang dengan dukungan dari anggotanya ikut membidani dalam melahirkan partai politik tertentu, hubungan ini tidak langsung secara organisatoris. Misalnya pada periode awal organisasi ini, KH Ahmad Dahlan mempunyai hubungan yang dekat dengan Sarekat Islam yang merupakan gerakan politik, yang pada 1924 berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), yang karena ketegangan kepentingan antara keduanya hubungan Muhammadiyah putus. Selain KH Ahmad Dahlan ada pula KH Mas Mansur yang tidak bisa dilepaskan dari pembentukan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Partai Islam Indonesia (PII) bersama KH Wahab Hasbullah, persitiwa ini terjadi tahun 1937-8. Begitu juga kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang merupakan hasil lobi KH Ahmad Badawi kepada presiden Soeharto waktu itu, tidak boleh menghidupkan Masyumi tapi menyarankan membetuk partai baru pada7 April 1967. Meskipun akhirnya Parmusi adalah eksperimen politik yang gagal, karena tidak mampu berkembang menjadi partai politik alternative di masanya.

Satu tokoh lagi yang masuk dalam hubungan muhammadiyah dengan politik secara personal ini adalah Amien Rais. Pada tahun 1998 yang bertepatan dengan momentum reformasi, Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), meskipun dalam pendirian itu terdapat perdebatan yang dinamis sesama anggota Muhamadiyah; apakah PAN merupakan hasil ijtihad politik Muhammadiyah atau memang hasil usaha personal seorang Amien Rais. Singkat kata, Amien akhirnya lepas dari Ketua Umum PP Muhammadiyah dan memilih beruang di partai yang didirikan oleh banyak aktivis Muhammadiyah itu. Namun, sama seperti Parmusi, PAN tidak begitu berhasil dalam pemilihan umum, karena berada di bawah PDI, PPP, PKB.

Hubungan ketiga, hubungan netral yang lebih murni. Setelah melihat dua hubungan sebelumnya yang cenderung sangat dekat dengan politik, hubungan netral inilah yang menjadi pijakan Muhammadiyah selanjutnya; hubungan yang “menjaga jarak” dengan partai politik dan lebih menfokuskan geraknya ke ranah social-kemanusiaan. Kebijakan untuk menjaga jarak dari parpol atau netral ini diresmikan dalam  pada mukatamar ke 38 tahun 1971 di Ujung Pandang dengan menuliskan khittah yang menyatakan bahwa Muhammadiyah: “….tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau orgniasasi manapun”.[9]

Realita Politik Kekinian: civil society, interest group dan pressure group

Sejarah Muhammadiyah dengan partai politik yang penuh haru-biru itu akhirnya menjadikan Muhammadiyah belajar akan rumitnya jika organisasi harus melebur-berjibaku ke dalam riel politics. Ada ungkapan-uangkapan yang sering dikatakan oleh pimpinan Persyarikatan yang berkitan dengan parpol: “menjaga jarak yang sama”, artinya Muhammadiyah berada ‘jauh’ dan tidak masuk dalam parpol tertentu, “menjaga kedekatan yang sama”, pernyataan yang membingungkan, bagaimana bentuk kedekatannya, pola komunikasinya dsb. Ada satu ungkapan yang agaknya sangat menarik, yaitu “mendirikan amal usaha politik” tentu ini banyak menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Politik akan disejajarkan dengan amal usahanya yang lain seperti pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.[10]

Lepas dari perdebatan mengenai ungkapan-ungkapan itu, Muhammadiyah saat ini absen dari panggung politik Nasional, sejak dari pemerintahan SBY (periode pertama dan kedua) ditambah lagi dengan cabinet Jokowi-JK yang tidak satupu menterinya berasal dari warga (anggota) Muhammadiyah. Apa posisi Muhammadiyah? Dalam kaitannya dengan realita sekarang ini, menarik untuk menyimak pernyataan yang optimis dari Ayumardi Azra dalam Seminar Pra-Mukatamar ke 47 di UMY, menyatakan bahwa Muhammadiyah sebaiknya tetap menjadi civil society dan interest group untuk tetap bisa menjadi kekuatan moral dan penekan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi. Di sini Muhammadiyah bersikap akomodatif terhadap Negara, artinya tetap menerima Negara tetapi dalam kebijakan tertentu sangat keras (seperti tercermin dalam Jihad Konstitusi). Lebih lanjut Azra menambahkan bahwa peran Muhammadiyah sebagai non-state actor—meminjam istilah Azra, telah membantu dan menjadi tulang punggung Negara dalam berbagai bidang baik keagamaan maupun kemasyarakatan.[11] Inilah yang dimaksud sebagai civil society a la Muhamadiyah yang telah dilakukannya sejak berdiri hingga abad kedua ini.

Baru-baru ini ada istilah Trisula Baru Muhammadiyah, yang terermin dalam MDMC, MPM dan LAZISMU sebagai kekuatan social-kemanusiaan Muhammadiyah abad kedua. Sedangkan feeding, schooling dan healing dimasukkan dalam Trisula lama. Keluar dari kategori-kategori itu, bagaimanapun Muhammadiyah telah menjadi sebuah kekuatan social yang patut diperhitugnkan. Dengan segala bentuk pengabdian yang telah dijalankan, Muhammadiyah bisa menjadi interest group; kelompok kepentingan dalam memajukan mutu amal usaha Muhammadiyah, SDM dan lembaga kemanusiaan lain. Interest group lebih dominan untuk membela kepentingannya sendiri, meskipun tidak secara langsung akan berdampak kepada masyarakat luas, sedangkan Muhammadiyah juga perlu untuk membela masyarakat luas dengan memposisikan dari sebagai Pressure group yang cukup diperhitungkan. Jihad konstitusi yang menjadi gerakan Muhammadiyah dalam posisinya sebagai kelompok penekan.

Strategi Politik Berkemajuan: Perspektif IMM

Sebelum membicarakan startegi, ada persoalan penting yang menjadi perlu diperhatikan untuk memahami kehidupan politik yang rasional, paling tidak ada hal yang harus dilakukan sebagai modal Muhammadiyah dalam merumuskan strategi politik abad kedua. Pertama, bebasnya Muhammadiyah dari mistifikasi politik,[12] seperti yang terjadi pada Sarekat Islam dan Partai Kebangkitan Bangsa. Bukan untuk menyamaratakan Muhammadiyah dengan parpol, hanya ingin menggaris-bawahi bahwa sepanjang Muhammadiyah mesra dengan politik praktis tidak pernah “tertular” mistifikasi politik. Mistifikasi politik bisa diartikan menjadikan politik sebagai semacam daya mistis yang diimani, seperti kasus “Ratu Adil” yang disematkan pada HOS Cokroaminoto ketika memimpin Sarekat Islam (SI), bisa juga terwujud dalam a patron-clients politics yang dulu pernah terjadi di NU. Muhammadiyah, sejauh ini tidak pernah secara organisatoris menjalankan—apa yang disebut Kunto, sebagai mistifikasi politik, tetapi lebih mengedepankan rasionalitas dan (seharusnya) juga objektivikasi.

Kedua, objektivikasi, “the act of objectifying”berlaku secara objektif.[13] Artinya, dalam perdebatan Islam sebagai ideology atau nilai substansial, itu haruslah dilihat melalui objektivikasi, sehingga tidak lagi berdebat panjang mengenai Politik Islam vis a vis sekuler, Negara islam vs Negara sekuler, dengan begitu bisa memahami lebih dalam mengenai realitas ke-Partaian, bahwa partai juga merupakan gejala objektif.[14]

Memasuki abad kedua Muhammadiyah tidak mungkin bisa terhindari dari kekuatan politk prakris yang akan mendekat, paling tidak hal ini dirasakan hanya, dan hanya jika kita berada di puncak tampun Pimpinan Muhammadiyah. Maka, perlu sekali untuk mencermati strategi politik yang harus dibuat Muhammadiyah. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah juga membebaskan kader-kader potensialnya untuk masuk dalam parpol manapun dengan berlatar belakang ideology mana pun, agar mampu menyuarakan aspirasi ummat Islam. Namun, ada hal yang harus dijawab Muhammadoyah, bagaimana jika kader tersebut membutuhkan dukungan dari Muhammadiyah, apa masih akan tetap netral? Pertanyaan yang sulit untuk dipecahkan.

Belajar dari berbagai pengalaman yang telah lalu, maka paling tidak ada beberapa strategi yang harus diajukan IMM dalam membangun strategi politik Muhammadiyah ke depan. Pertama, strategi structural. Startegi ini lebih diarahkan kepada pendidikan kader potensialnya yang concern dalam politik praktik. Setahu penulis, ada PTM yang mendidik kader-kadernya mulai dini untuk dipersiapkan menjadi politisi bermoral, kalau tidak salah UMM. Ini salah satu taktik, untuk memasukkan kader dalam berbagai lini structural pemerintahan, komisi dan lembaga tinggi Negara. Tentu saja, dengan waktu yang tidak singkat. Posisi structural penting perlu dikuasai dalam rangka ber-amar ma’ruf nahi munkar melalui struktur pemerintahan langsung,. Seperti yang sudah dan sedang dilakukan oleh saudara kita di Nahdhatul ‘Ulama. Strategi ini tidak mengahruskan Muhammadiyah untuk membetuk parpol, hanya saja perlu melakukan pendidikan politik, bisa dilakukan melalui PTM di seluruh Indonesia. Startegi ini lebih bersifat jangka pendek, meskipun prosesnya tidak pendek.

Kedua, strategi cultural. Kata kunci dari strategi ini adalah moral force. Artinya, pekerjaan yang telah lama berhasil dikerjakan Muhammadiyah melalui amal usahanya harus ditingkatkan dan dikembangkan lahan garapnya. Dalam strategi ini, selain Muhammadiyah melanjutkan misis kemanusiaan, strategi ini juga bertujuan merubah paradigm dari dalam mengenai pandangan terhadap politik praktis, akibat dari sejarah masa lalu yang kelam, seperti sudah dijelaskan di muka. Merubah pandangan warga Muhammadiyah terhadap politik harus dilakukan dengan cultural, dengan rasionalisasi, bukan pemaksaan politik yang pragmatis.

Ketika Muhammadiyah tidak ada yang duduk di kursi pemerintahan, banyak warga yang mengeluh “mengapa kader Muhammdiyah tidak ada satupun yang jadi DPR, DPRD dst?”. Adanya ungkapan itu juga karena banyak warga Muhammadiyah yang malah tidak memilih kadernya sendiri, dengan berbagai alasan, salah satunya; menganggap kader yang masuk politik tidak lagi bisa dipercaya dan pandangan negative lainnya. Paradoks? Ya, karena di satu sisi mereka menginginkan ada kader yang masuk ke dalam kekuasaan tapi sisi lain enggan memberikan suaranya. Hal ini tentu saja, membutuhkan penyadaran cultural kepada warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya.
Ketiga, Stategi mobilitas social, menjadi kerangka jangka panjang, yang bertujuan supaya ummat Islam naik dalam tangga social. Dilakukan dengan pendidikan Sumber Daya Manusia yang mumpuni, sehingga secara individu maupun kolektif ummat Islam terangkat. Hal ini seiring dengan tafsir bahwa politik Muhammadiyah tidak hanya memahami politik sebagai politik praktis (real politics; low politics) saja, tetapi juga politik adi-luhung; high politics.


Dalam strategi mobilitas social ini juga membuka kesempatan bagi semua kader Aisyiyah untuk memberikan kontribusi yang positif dalam kancah politik. Hal ini tentu saja sesuai dengan kapasitas dan capability yang bersangkutan, bukan hanya untuk mengisi 30 persen porsi perempuan. Peningkatan kelas social dalam hal ini juga harus diperuntukkan kepada semua perempuan, agar ‘keserasian’ dalam berpolitik juga dapat terwujud. Dan, harus menjauhkan dari women’s objectification (bukan objektivikasi ala Kunto), yang memandang perempuan hanya sebatas objek, lebih tepanya body , tubuhnya.[15] Pemenuhan Porsi 30 persen yang dipaksakan, tidak berbeda dengan women’s objectification tadi karena hanya menjadikan perempuan “alat” untuk memenuhi kuota. Wallahu A’lam Bis-shawab


[1] Disampaikan dalam acara Darul Arqam Madya (DAM) yang diselenggarakan PC IMM Abdul Rozaq Fakhrudin Kota Yogyakarta, Rabu 9 September 2015 di Pondok Pemuda Ambarbinagun, Kasihan, Bantul.
[2] Penulis Ketua Bidang Keilmuan PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta
[3] Lihat PP Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-45 di Malang, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005), hal. 9.
[4] Lebih jauh lihat Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, (Bandung: Penerbit Mizan, 2000).
[5] Anthony Giddens, Sociology, 5th Edition, (Cambridge: Polity Press, 1993), hal. 844.
[6] Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2006), hal. 34.
[7] PP Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, (PP Muhammadiyah, 1996), hal. 6.
[8] Haedar Nashir, Dinamika…. op.cit, hal. 33-56.
[9]  Isi lengkap dari Khittah Muhammadiyah pada Muktamar ke -38 adalah: (1) Muhamadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dengan segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisai manapun; (2) setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggararan Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah”.
[10] Lihat misalnya tulisan Hajriyanto Y Thohari, “Meletakkan Muhammadiyah dalam Dinamika Politik: Upaya Merumuskan Kembali Ijtihad Politik Muhammadiyah”, dan Bahtiar Effendy, “Lingkungan Sejarah dan Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah” hal. 10-11. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Muhammadiyah Civil Society dan Negara: Arah Pemikiran dan Gerakan Abad Kedua, yang diselenggarakan Panitia Muktamar Muhammadiyah ke-47, 25 April 2015, di UMY.
[11] Azyumardi Azra, ”Muhammadiyah, Civil Society dan Politik”, Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Muhammadiyah Civil Society dan Negara: Arah Pemikiran dan Gerakan Abad Kedua, yang diselenggarakan Panitia Muktamar Muhammadiyah ke-47, 25 April 2015, di UMY.
[12] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), hal. 343-8.
[13] Ibid., hal 301. Kunto membedakan ekternalisasi dengan objektivikasi, yang pertama berkaitan dengan pengamalan keyakinan seseorang menjadi usaha kongkret, karena perintah agama. Sedangkan yang terakhir, perintah agama yang sudah di-kongkret-kan dengan amalan tsb bisa memberi mashlahah bagi manusia apapun agamanya.
[14] Lihat penjelasan lebih lanjut Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hal. 76.
[15] Lihat Shaista Malik, “Women’s Objectification by Consumer Culture”, International Journal of Gender and Women’s Studies, Vol. 2, No. 4, Desember 2014, p. 88. Objectification bisa berupa “…treating a person as a tool for someone else’s purposes”, p. 90.

Sumber: repost dari blog penulis (klik)


0 komentar: