Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Agar Ruang Tunggu Menyenangkan



Judul           : Rahim Perjuangan, Catatan Kecil Mahasiswa yang Rindu Perubahan
Kontributor : Makhrus Ahmadi, Aminuddin Anwar, Mas’udi Baharudin, Zulkifli Abu, Cehar Mirza, Halim Sedyo Prasojo, Kholis.
Editor          : Cehar Mirza
Penerbit      : MIM Indigenous School
Cetakan      : I, Agustus 2009
Tebal           : 157 halaman; 11,5 cm x 17cm
ISBN           : -
Peresensi    : Ahmad Janan Febrianto


“Terus dan teruskanlah perjuangan ini kawan, hingga akhir hayatmu datang. Jangan pernah takut, karena kita dilahirkan dari rahim perjuangan seorang pejuang kemanusiaan” Cehar Mirza (Dalam pengantar buku “Rahim Perjuangan, Catatan Kecil Mahasiswa yang Rindu Perubahan)

Kebanyakan orang, tidak suka menunggu. Oleh karena itu, ruang tunggu selalu didesain sedemikian rupa, agar yang menunggu tidak cepat merasa bosan. Ruangan ber-AC, televisi, serta beberapa bahan bacaan, sering kita jumpai di ruang tunggu. Bahkan ada, beberapa yang menyajikan sneck & minuman secara gratis. Semata-mata agar waktu tidak terkesan berjalan lambat di ruang itu.

Ruang tunggu, selalu menciptakan sebuah jarak, antara harapan yang di sana, dengan kita yang menunggu.

Rahim seorang ibu, tak ubahnya seperti ruang tunggu. Ia menghadirkan dialektika antara si jabang bayi dengan orang tuanya. Sama-sama menunggu momentum, yaitu kelahiran. Dan, setiap kelahiran membutuhkan perjuangan, serta teriakan dera rasa sakit. Seperti itulah makna rahim, yang saya terka, berada dalam benak para penulis buku ‘Rahim Perjuangan’, kala mereka menyusunnya. Buku yang berjudul lengkap “Rahim Perjuangan, Catatan Kecil Mahasiswa yang Rindu Perubahan” itu, berisi kumpulan tulisan para aktivis muda Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Dua belas percikan (bc: tulisan) kerinduan beberapa kader IMM saat mereka berada di rahim perjuangan (bc: PC IMM AR Fakhrudin Kota Yogyakarta), wajib dibaca generasi berikutnya. Sebab, ada pesan yang terkandung di dalamnya.

Setidaknya ada dua pesan yang hendak disampaikan. Pertama, di masanya, buku tersebut bertujuan sebagai wadah aktualisasi bagi para kader. Kedua, bahwa semangat berkarya seperti itu, harus ditularkan pada kader yang datang setelahnya. 

Dua belas tulisan itu disajikan dalam berbagai angle. Mas’udi Baharudin, dengan tulisannya yang berjudul “ Revolusi dan Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya” menginginkan agar IMM mampu memaksimalkan potensinya, ikut dalam proses perubahan yang terus bergulir. Hingga terciptanya gerakan yang revolusioner bukan parsial.

Zulkifli Abu, kader termuda diantara kontributor yang lain, menyajikan tulisan lebih reflektif, dengan judul “Jangan Terjerat dalam Jebakan Ekslusivitas”. Melalui tulisannya, Zul mengingatkan agar IMM jangan sampai terjebak sikap ekslusif, tetapi sebisa mungkin harus mampu keluar dengan membuat arus gerakan baru yang dapat diperhitungkan.

Kemudian Makhrus Ahmadi, dengan dua tulisan. Pertama “Sebuah Cerita Tentang Gerakan Mahasiswa”, merupakan tulisan reflektif dirinya dalam rahim perjuangan. Dalam tulisan ini, ada kalimat yang paling saya sukai ialah “seseorang yang hidup dalam dunia pergerakan, seharusnya tak terlampau khawatir dengan kenyataan sosial yang menghimpit…”. Penggalan kalimat itu menjadi terasa sangat jauh jika melihat realitas sekarang, yang justru menjadikan kehidupan pergerakan sebagai batu loncatan. Sedangkan pada tulisan kedua, Makhrus―dengan memplesetkan gagasan Piere Bourdieu, memberi judul tulisannya “Habitus X Ranah + Modal = Rokok” membuat buku ini semakin asyik dibaca, karena ia menggunakan gagasan Bourdieu untuk mengkritisi para perokok, meskipun dulu ia aktif merokok.

Kontributor keempat, ialah Nur Kholis, juga dengan dua tulisan. Pertama tulisan dengan judul “Agenda Gerakan Mahasiswa, Sebagai Pergerakan Oposisi Sosial”, kedua, tulisan yang berjudul “Implikasi Pengetahuan, Terhadap Reproduksi Kekuasaan”. Berbeda dengan Makhrus, Kholis mengawali tulisan pertamanya dengan menyitir Milan Kundera: perlawanan terhadap kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.Di tulisan ini, Kholis menganggap bahwa gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen penentu dari sebab-musabab perubahan sosial. Sedagkan pada tulisan kedua, Kholis menggunakan kerangka pikir Michel Foucault terutama tentang “micro pou voirs” dalam membaca dan memahami kekuasaan, juga hubungan-hubungannya dengan pengetahuan.

Kontributor tulisan yang kelima, merupakan kontributor paling banyak, dengan empat tulisan. Terdengar kabar bahwa kontributor inilah yang memprovokasi serta menodong tulisan kontributor lainnya, Ia jugalah yang mengumpulkan serta mengeditnya. Dia adalah Cehar Mirza yang saat itu sebagai Ketua Bidang IPTEK PC IMM AR Fakhrudin Kota Yogyakarta. Tulisan pertama, ia beri judul “Refleksi Gerakan IMM”, meski dalam judul terdapat kata ‘refleksi’, tapi percayalah bahwa ini refleksi ala anak IMM yang tetap harus mikir ketika membacanya. Terutama saat menjabarkan tiga konsepsi (Humanitas, Intelektualitas & Religiusitas) yang harus dimiliki IMM. Tulisan kedua “Kekuasaan Negara dalam Dinamika Sosial”, dalam tulisan ini, Mirza menilai, bahwa di segala bidang, kekuasaan negara telah menjelma sebagai sistem simbol yang diperankan oleh aparatur negara untuk melegitimasi kebenaran atas hak-hak negara, yang di sana juga timbul kekerasan negara terhadap rakyatnya. tulisan ketiga berudul “pendidikan yang Berkesadaran”, dalam tulisan ini, ia mengelaborasi kesadaran Poulo Freire dengan ruang publiknya Habermas. sedangkan tulisannya yang terakhir ialah “Jerat Neoliberalisme di Indonesia” Tulisan ini, mengabarkan kepada kita bahwa neoliberalisme telah menawarkan segalanya menjadi sederhana, kecuali apa yang ditentukan pasar dan pengusaha.

Kontributor tulisan yang keenam, Aminuddin Anwar, mengajak kita untuk ngobrolin kita sendiri, yang semakin lama semakin gandrung dengan budaya konsumtif. Oleh sebab itu, ia memberi judul tulisannya “Budaya Konsumerisme”. Ia menilai, bahwa budaya konsumerisme telah menjadikan mahasiswa lupa dengan posisi mereka sebagai intelaktual, dan justru menjebaknya dalam gaya hidup konsumtif.

Kontributor terakhir, Halim Sedyo Prasojo, juga sedang risih dengan neoliberalisme, hingga ia menulis dengan judul “Penjajah Baru Neoliberalisme”. Halim menganggap kehadiran neoliberalisme tak ubahnya seperti penjajahan yang datang dengan lebih baru dan lebih canggih. Sama menyengsarakannya dengan kapitalisme. Saking risihnya ia menuturkan: sejatinya, neoliberalisme merupakan anak kandung kapitalisme.Dalam tulisan ini, ia mejelaskan dua ironi yang perlu kita sikapi. Pertama, dominasi perusahaan-perusahaan multinasional yang malah mendikte berbagai kebijakan suatu negara. Yang kedua, negara semakin didesak untuk mundur, agar tidak lagi memainkan perannya dalam sektor ekonomi.

Demikian secara singkat tentang isi buku para kontributor yang sedang merindu itu. Sungguh unik memang, cara mereka menghalau kebosanan selama menunggu di ruang tunggu; rahim perjuangan. Sayangnya, karya itu pun tak bisa lepas dari cela dan kritik. Tentunya, agar buku mampu merubah suasana di ruang tunggu agar semakin menyenangkan. Diantara kekurangan buku itu ialah lay out buku yang kurang baik, terutama pada bagian dalam, tidak seragamnya format penulisan yang dapat menyebabkan pembaca menemui kesulitan dalam memahami. Tidak adanya ISBN. Dan yang terakhir, ini kekurangan yang mendekati fatal, ialah beberapa tulisan tidak menyertakan daftar pustaka, atau sekadar catatan kaki dari tiap kutipan yang telah disertakan. Ada baiknya jika buku dicetak ulang denagan edisi ‘refisi’ tentunya sebagai tanggung jawab moral intelektual, di dunia perbukuan.

Terlepas dari kekurangan itu semua, buku “Rahim Perjuangan, Catatan Kecil Mahasiswa yang Rindu Perubahan”, telah mampu memberi cambuk reflektif bagi kita—terutama kader yang datang setelah masa mereka. Dengan cambuk itu, kita dapat mencambuk ingatan kita sejenak untuk melihat: betapa dalamnya pemikiran, serta betapa membara semangat mereka untuk berkarya pada masa itu. Cambuk itu juga telah membekaskan rasa malu pada kita, sebab kita belum bisa tertular semangat menulis dan berkarya. Untuk itu, kita harus terus mengingat perkataan Cehar Mirza itu:

“Terus dan teruskanlah perjuangan ini kawan, hingga akhir hayatmu datang. Jangan pernah takut, karena kita dilahirkan dari Rahim Perjuangan seorang pejuang kemanusiaan”

Apakah ketujuh orang itu telah sampai dan berjumpa dengan apa yang mereka tunggu? Jawabannya ialah tidak dan tidak akan. Sebab, mereka telah benar-benar menjadi pejuang di ruang tunggu; Rahim Perjuangan, untuk terus berproses hingga ajal. Berproses kapan pun dan di mana pun. Tetapi, paling tidak, mereka telah berbuat selama menunggu di ruang tunggu itu. Lantas, apa yang kita lakukan saat menunggu di ruang tunggu; Rahim Perjuangan, tentunya agar ruang tunggu terasa menyenangkan?

Entahlah.


Sumber : Facebook penulis (Klik)

0 komentar: