Diposting oleh http://mimindigenous.blogspot.com/ | 0 komentar

Himpitan Hidup Sersan Kepala


Muhammad Fakhruddin*)

“Selamat HUT TNI.” Ucapan yang tulus ini saya sampaikan khusus kepada Sersan Kepala Aspam melalui sambungan telepon. Di tengah gegap gempita perayaan HUT ke-69 TNI kemarin, tiba-tiba saya teringat dengan babinsa yang ditempatkan di daerah perbatasan RI-Malaysia, tepatnya di Pulau Majang, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang saya temui dua tahun lalu itu. Aspam sudah lebih dari tujuh tahun ditempatkan di pulau terpencil tersebut. Pulau yang dikelilingi oleh Danau Sentarum. Untuk mencapai pulau tersebut pun harus menyeberangi danau menggunakan sampan. Sulitnya akses transportasi membuat daerah tersebut terisolasi. Sehingga, pelayan masyarakat biasanya enggan kedapatan bertugas di sana.  

Hal itu berdampak langsung pada kebutuhan pendidikan anak-anak pulau karena guru-guru menolak ditempatkan di sana. Hal itulah yang membuat Aspam terpanggil untuk melaksanakan tugas melebihi tugas pokok TNI yang dibebankan kepadanya. Aspam ikut mengajar di  sekolah menengah pertama di pulau itu. Bapak dua orang anak itu juga harus menjawab kesulitan masyarakat di sana. Aspam rela mengayuh sampannya untuk mengantar para siswa mengikuti ujian nasional di daratan. Hidup di Pulau Majang semakin sulit ketika musim hujan tiba. Hujan yang turun hampir setiap hari membuat air danau sudah menyentuh bibir dermaga Pulau Majang. Warga pun harus bersiap membuat panggung setinggi dua meter di dalam rumah untuk tempat tidur dan menyimpan barang-barang berharga. Hal itu untuk mengantisipasi banjir yang sulit diprediksi.

Letak Pulau Majang yang berada di tengah Danau Sentarum menjadi langganan banjir saat musim hujan. Sebab, Danau Sentarum menjadi muara dari lima sungai, yakni Sungai Seriang, Sungai Tangit, Sungai Seneunk, Sungai Sumpak, dan Sungai Ulu Buyan. Meningkatnya debit air di Danau Sentarum saat musim hujan seiring dengan pembukaan lahan sawit di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Apalagi, Danau Sentarum yang telah tercemar zat kimia dari pupuk dan pestisida kelapa sawit juga berdampak langsung pada menurunnya tangkapan ikan nelayan. Lagi-lagi Aspam harus menjawab kesulitan masyarakat itu. Dia pun menjadi penggerak masyarakat Desa Pulau Majang dalam budidaya ikan air tawar dengan menggunakan sistem keramba.

Prajurit seperti Aspam memang tidak pernah terlihat memegang senjata untuk menjaga kedaulatan negara. Aspam rela mengangkat kapur tulis di saat banyak anak-anak Indonesia di perbatasan yang tergerus jiwa nasionalismenya karena lebih memilih sekolah di Malaysia. Mereka lebih hafal lagu kebanggsaan Malaysia ketimbang lagu Indonesia Raya.  Bagi anak tersebut berprestasi, orang tuanya akan ditawarkan agar mengizinkan anaknya menjadi warga Malaysia. Apabila orang tuanya mengizinkan, maka akan diurus surat-suratnya. Sehingga resmi jadi warga negara Malaysia dan difasilitasi sampai bekerja. Namun sebaliknya, anak yang tidak berprestasi akan dikembalikan kepada orang tuanya.

Kendati tugasnya melebihi tugas pokok TNI, Aspam adalah potret prajurit yang belum sejahtera secara ekonomi. Barangkali banyak Aspam-Aspam yang lain yang tengah mengabdi untuk negara tetapi juga harus berjuang di tengah impitan ekonomi. Di tengah peremajaan alutsista TNI, mungkin gaji prajurit TNI juga harus diremajakan. Gaji Aspam mungkin tidak seberapa dibandingkan pengorbanannya di masyarakat. Namun, kesabaran Aspam menghadapi impitan hidup akhirnya berbuah manis. Dia mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa pertengahan tahun lalu, dari sertu menjadi sersan kepala. Selamat bertugas, Sersan!!!

*) Generasi awal/pendiri MIM Indigenous School. Wartawan Republika. Tulisannya ini sudah pernah dimuat di Kolom Republika (Klik sini)


0 komentar: